Tasya membuka matanya perlahan. Ruangan ini lagi, pikirnya. Ia menoleh ke samping, terdapat Kak Revan di sana sedang memainkan handphone. Seketika senyum Tasya merekah.
"Ka-kak," panggilnya dengan suara serak nan lemah. Revan langsung menoleh padanya, seketika Revan menegang. Ia berjalan pelan menghampiri adiknya, duduk di bangku di samping brangkar.
"Ma-afin Grisyel ka-k.." ucapnya dengan lirih, tatapan matanya memohon harap pada Revan. Revan tersenyum, ini adiknya kan?
"Gausah di paksain sayang." Revan mengelus rambut adiknya sayang, dan tersenyum lembut menenangkan gadis itu.
Tasya tersenyum lembut. "Tas-ya mau du-duk b-oleh?"
Revan mengangguk, membantu adiknya untuk duduk. Ia juga mengatur brangkar adiknya agar Tania nyaman. Setelah selesai ia kembali duduk, dan tanpa Revan sadari ini adalah rencana Tasya untuk memeluknya. Dan, gadis itu berhasil.
Revan semula menegang, ia sangat jarang di peluk seperti ini. Ah, Revan ingin menangis rasanya. "Dek, kakak sayang sama kamu. Sayang banget. Jangan tinggalin kakak yah, kakak sakit kalo gak ada kamu," lirih Revan membalas pelukan Tasya. Bahkan ia sampai berdiri agar Tasya nyaman.
Tasya mengangguk, pelukan Revan memang sangat hangat. Sedari dulu, ia mengharapkan pelukan hangat ini. Pelukan yang sangat Tasya inginkan saat ia lemah. Tasya menutup matanya, setetes air mata keluar.
FLASHBACK ON
Tasya kecil berayun sendiri di atas ayunan yang terdapat di halaman belakang rumahnya, gadis kecil itu menangis dengan lirih. Tak ada tawa yang mengiasi, padahal ketika anak seusianya bermain ayunan, mereka akan tertawa bahagia. Namun, Tasya tidak.
"Mama... Asya au eyuk," monolognya sendiri, kembali meneteskan air mata. Gadis kecil itu kian tersiksa dengan keadaannya, bukan... Ia tidak terluka fisik, bahkan badannya sangat mulus. Namun, ia terluka dengan mental dan hatinya. Gadis kecil berumur 4 tahun itu memiliki hati yang retak.
Perihnya Tasya bermain ayunan sendirian, membuat Revan menghampiri gadis kecil itu. "Dek, ayo masuk. Ngapain di sini?"
Tasya menoleh, tatapan pedihnya beradu pandang pada tatapan khawatir Revan. Gadis kecil itu bukannya menjawab, melainkan menyulurkan kedua tangannya, mengkode untuk di gendong.
Revan yang paham langsung menggendong adik kecilnya ini. Di dalam gendongan Revan, Tania menenggelamkan wajahnya di bahu lelaki itu. Saat itu, Revan berumur 14 tahun.
"Kamu jangan suka main sendirian, nanti di culik hantu," peringat Revan yang sebenarnya adalah mitos. Sungguh lugu Tasya pada saat itu, maka karna itu ia mengangguk menaati perkataan kakaknya.
"api kak, Asya ndak ada emen," ucap gadis kecil itu polos. Revan menggigit bagian dalam bibirnya, menahan sesak saat adik kecilnya mengatakan hal menyakitkan itu.
"Kakak kan temen sama Tasya."
Tasya kecil menggeleng. "Akak ainnya ama kak imas aja, Asya kan asih kecil... Jadi ndak oyeh ikut ain."
Revan menegang. "Siapa yang bilang, dek?"
Tasya diam, memeluk erat kakaknya sambil memajukan bibir. Asya ndak oyeh iyang ma akak, pikir gadis kecil itu.
Revan menghela nafas, mengelus pelan rambut adiknya yang tidak terikat. "Siapa yang bilang, dek?" tanya Revan lagi.
Tasya menggeleng. "Asya ndak oyeh iyang," guman pelan gadis kecil itu, yang sialnya terdengar oleh Revan.
Revan menghela nafas, mengatur emosinya. Mereka sudah sampai di dalam rumah, segera Revan mendudukkan Tasya di atas meja agar mudah berhadapan dengan gadis kecil itu.
"Dek," panggil Revan masih menunggu jawaban.
Tasya menatap polos kakaknya, kemudian menggeleng kecil. "Endak oyeh iyang."
Astaga bocil, batin Revan.
"Dek?" Tasya tetap menggeleng, membuat Revan seketika mengeraskan suaranya.
"Dek!" Tasya langsung terperanjat kaget, bibirnya bergetar tanda ia ketakutan.
"Endak oyeh iyang," ucapnya lagi, kali ini dengan suara memelan.
Revan mengusab wajahnya kasar, mengapa adiknya tak menurutinya, pikir Revan. Revan adalah tipe yang tidak suka di tolak, dan tidak suka di bantah, tetapi ia sering membantah dan menolak.
"Serah dek! Serah! Cape gue! Lo tau gak?! Gue udah berusaha buat sayang sama lo! Gue berusaha buat bela lo! LO TAU KAN KALO GUE GAK SUKA DI BANTAH." saat melihat adiknya mengangguk, Revan kembali naik pitam. "TERUS KENAPA LO BANTAH TASYA!!"
Urat-urat kecil muncul di sekitar wajah Revan, matanya memancarkan amarah menatap adiknya. Raut wajahnya pun tak sebaik yang tadi, di mata Tasya, Revan terlihat sangat menakutakan.
"Asya ndak oyeh angis, anti akak akin alah," cicit pelan Tasya menghapus kasar setetes air mata di wajahnya.
"Dek, maafin gue. Gue pergi."
Tasya kecil mengangguk, masih berada di atas meja. Keadaan tadi sangat tegang, tetapi ia malah tersenyum sambil merangkak turun ke bawah. Dengan tubuh kecilnya, Tasya kecil pergi ke kamarnya.
Menutup pintu, lalu berjongkok di pojokan. Menangis keras di sana, ia memeluk erat tubuhnya. Seketika bulu kuduk Tasya meremang saat kilatan petir terlihat dari jendela menyinari seluruh kamarnya. Saat itu Tasya takut, sangat takut, dan ia tak tau bagaimana cara menenangkan diri sendiri.
"Kak Revan baik, enggak jahat." Bisikan itu terdengar mendengung di kepalanya. Sontak, Tasya langsung menggeleng.
"Kak Evan aat, api Asya ebih akal," gumam gadis itu pelan. Matanya menatap kosong jendala kamar. Gadis itu berakhir dengan pikiran Kosongnya.
FLASHBACK OF
Begitulah hidup Tasya kecil, semenjak kejadian itu. Tasya selalu menganggap, jika ia dekat dengan Revan, maka ia akan di benci lagi. Oleh karna itu, Tasya menjauhi Revan, menjadikan lelaki itu pria asing. Kadang, Tasya menatap benci lelaki itu karna selalu diam ketika ia di hina.
Perasaan Tasya selalu berubah. Namun, perasan sayang terhadap kakaknya tidak akan pernah hilang. Tasya tetaplah Tasya yang selalu menyayangi semua orang, dan menganggap ia lah yang bersalah. Tasya tetaplah Tasya yang selalu menyalahkan diri dan menganggap bahwa ia tak pantas, tak pantas bahagia, dan tak pantas di akui.
Namun, jauh dari itu. Tasya tetaplah Tasya yang rapuh, sedari kecil ia sudah merasa sendirian walaupun berada di keramain. Tasya yang sekarang, bukan lah Tasya yang dulu. Tasya yang sekarang, sudah mendapatkan perhatian kakaknya. Lihatlah, lelaki itu sedang mengelus lembut rambutnya. Meskipun ini perlakuan kecil, tetapi Tasya sangat menyukai ini. Rasanya sangat hangat, terlebih ia kekurangan kasih sayang.
"Jangan banyak pikiran, nanti kamu enggak sembuh-sembuh," ucap Revan lembut.
Tasya tersenyum kecil. "Tasya cuman mikirin dikit kok." Gadis itu menyengir kuda membuat Revan mengendus.
"Dek, makan dulu yah," pujuk Revan yang sebenarnya sedari tadi sudah berusaha membuat Tasya nurut untuk makan.
Tasya menggeleng. "Bayangin makanan aja Tasya udah mual kak." ia menutup mulutnya, meradakan mual saat membayangkan makanan. Entah kenapa, Tasya merasa mual saat memikirkan makanan, dia merasa perutnya sudah penuh.
"Yaudah deh, semerdeka kamu aja." Revan mengecup lembut kening adiknya.
...........
Kalo aku sih pribadi pingin punya abang yang baik :')
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME AT THE END OF TWILLIGHT
FantasyApakah Grisyel itu anak yang terlalu perasa? Atau memang rasa patah hati itu sesakit ini? Dunia terasa kosong dan hampa, seakan memintanya untuk pergi berlari sejauh-jauhnya. Lalu, seperti selalu ada batu berukuran besar menghempit dadanya, membuatn...