Tina tersentak mendengar ucapan anaknya, ia lalu mengatup wajah Tasya--menggeleng. "Enggak boleh ngomong gitu sayang. Mama itu sayang banget sama kamu, sayang banget."
Mata Tasya mengerjab polos menatap manik mata Mamanya. "Beneran, Ma?"
Tina mengangguk mantap sambil tersenyum kecil mengecup pipi anaknya gemas. Membuat Tasya tersenyum lebar dan dengan cepat memeluk Mamanya. "Tasya harap Mama enggak bohong."
"Kau beruntung, Tasya."
.....
Sesuai dengan permintaannya ia dibolehkan pulang dari rumah sakit, dan kini gadis itu sudah sampai di rumahnya. Wajah ceria itu belum pudar sedari tadi membuat Tina dan Roy sedikit canggung dengan tingkah anaknya ini, tapi tetap saja mereka senang melihat anaknya tersenyum ceria seperti itu.
Tasya melangkah naik ke kamarnya setelah berpamitan. Dengan cepat kakinya melangkah menaiki anak tangga tanpa mempedulikan orang-orang yang berteriak menyuruhnya untuk hati-hati dan jangan terlalu banyak bergerak, karna kodisi Tasya belum benar-benar stabil.
Namun, sekarang Tasya sedang tuli hingga ia melesat sampai di kamarnya lalu dengan cepat mengunci pintu. Gadis itu berbalik, berjalan pelan menuju kasurnya dengan nafas yang belum teratur.
Di sana ... Tasya dan Grisyel sedang berperang dengan alasan yang tak jelas. Menjadikan tubuh Tasya yang sekarang ini dilanda sakit yang hebat. Terlihat tubuh itu tak mampu lagi berdiri tegak, dan terjatuh. Tubuh itu benar-benar terjatuh.
"Sekarang, kita harus apa?" Itu suara Tasya yang sudah lelah.
"Bergelud lagi! Aku atau kau?!" Suara Grisyel meninggi.
"Huh! Kau sajalah! Aku ingin istirahat."
"Sialan!" maki Grisyel kesal.
Alhasil Grisyellah yang memegang kendali tubuh Tasya, walaupun hatinya masih membara dengan kekesalan. Aura Tasya seketika berubah, wajah dinginnya kembali. Kita panggil saja dia Grisyel, karna gadis itu terlihat berbeda. Grisyel tersenyum miring membangkitkan tubuh lemah ini. Lalu ia melangkah melihat pantulan tubuh Tasya dari kaca.
Gadis itu terkekeh jahat. "Jadi ini alasan Tasya tak punya teman," gumamnya. "Terlihat seram yah kalau berwajah datar."
Grisyel mengangguk-anggukan kepala. Sekarang ia mengerti, wajah Tasya adalah salah satu alasan kenapa ia tidak memiliki teman. Grisyel akui, wajah Tasya sedikit menyeramkan jika tidak tersenyum sama sekali. Juga, Grisyel tau pasti Tasya memintanya keluar karna tak ingin bertemu dengan Revan. Maksudnya, Tasya sedikit muak dengan drama ini. Sejujurnya Tasya belum percaya 100% dengan mereka. Namun, seperti ajaran Grisyel, ikuti saja alurnya.
Alhasil gadis itu mengikuti drama ini, walaupun ia tak bisa berbohong bahwa ia menyukai perannya. Karna inilah yang sedari dulu Tasya inginkan, kasih sayang dan keberadaan.
Grisyel tersenyum kecil melangkah ke balkon untuk menghirup udara luar, sepertinya itu tak buruk. Benar saja, udara sejuk langsung menerpa kulitnya.
Angin berhembus sepoi-sepoi dengan awan hitam yang beriringan dengan awan putih. Grisyel menegakkan kepalanya, sepertinya akan turun hujan.
Sontak senyumnya mengembang lebar. "I like it."
Grisyel memilih untuk duduk di bangku samping kanannya. Namun, saat ia hendak duduk, ekor mata Grisyel tak sengaja melihat postur tubuh seorang lelaki di ujung sana. Sontak keningnya mengerut dengan punggung yang kembali tegap menghadap ke depan--melihat seseorang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME AT THE END OF TWILLIGHT
FantasyApakah Grisyel itu anak yang terlalu perasa? Atau memang rasa patah hati itu sesakit ini? Dunia terasa kosong dan hampa, seakan memintanya untuk pergi berlari sejauh-jauhnya. Lalu, seperti selalu ada batu berukuran besar menghempit dadanya, membuatn...