Arga mendekatkan tubuhnya untuk mengamati wajah Gladys lebih intens sampai Gladys lagi-lagi mendorongnya untuk menjauh, "Nggak Ga, kita udah sama-sama dewasa. Kita tau resikonya kalau melakukan hal itu. Kamu yang bener aja. Gimana perasaan Mama kalau tahu aku melakukan hal itu sama kamu?" bentak Gladys dengan degup jantung yang berpacu kian tak normal.
Tubuh Gladys bergetar. Napasnya terengah-engah. Kepalanya menggeleng seraya membiarkan Arga tak mendekat ke arahnya lagi. Arga tetaplah Arga. Dia merasa Gladys adalah miliknya. Pikirannya sedari tadi dipenuhi laki-laki lain yang ditakutkan menelusup di hati Gladys. Arga tak akan membiarkan hal itu terjadi. Dia ingin dialah yang menjadi laki-laki satu-satunya yang Gladys miliki.
"Sayang, aku udah bilang ribuan kali ke kamu, kalau 6 bulan lagi kita menikah. Apa salahnya? Toh, melakukannya atau nggak, nggak jadi jaminan kamu hamil sebelum menikah. Belum tentu hamil kan? Kalau bukan dengan cara itu, pakai cara apa hubungan kita terikat? Tolonglah, kamu dewasa sedikit. Jangan apa-apa dijadikan hal yang tabu," ungkap Arga memberi alasan pada Gladys.
Gladys bungkam. Dia sama sekali tak beranjak dari tempatnya.
Sampai Arga meredakan pendapatnya lagi di hadapan Gladys, "Oke ... Oke ... Aku minta maaf, mungkin kamu belum terbiasa dengan situasi seperti ini. Atau mungkin aku yang terlalu memaksa kehendak tadi karena terpengaruh lingkungan. Aku minta maaf, Dis!" serunya dengan enteng. Tanpa merasa bersalah sedikitpun.
"Tapi kamu harus ingat, aku seperti ini karena mencintaimu. Sangat. Maaf, kalau aku bikin kamu takut tadi. Ya? Besok mau aku antar ke makam Papa kamu?" tanya Arga pada Gladys.
Arga sengaja mengalihkan pembicaraan agar Gladys melupakan permasalahan tadi. Dia juga menawarkan bantuan untuk mengantar Gladys berkunjung ke makam Papanya. Meskipun makam Papa Gladys sedikit jauh dari Jakarta. Tapi setidaknya, dengan cara itu Arga bisa menghalangi Gladys untuk tidak bekerja lagi sebagai guru private. Tau kan alasannya? Meskipun tak tersirat oleh mulut Arga.
"Aku mau pulang," Gladys tanpa aba-aba mengambil Sling bag yang ia letakkan di pinggir sofa apartemen itu. Dia tak memindai sorot matanya ke arah Arga sedikitpun. Raut wajahnya masih terlihat marah pada kekasihnya. Diam adalah satu-satunya cara untuk dia mengekspresikan amarahnya ke arah Arga.
Namun Arga dengan cepat mencekal tangan Gladys yang ingin beranjak dari tempatnya. Dia menahan Gladys sampai Gladys menatapnya dengan tatapan tajam, "Hujan. Lihat aja di luar hujan deras. Kamu mau basah kuyup? Kita kesini naik motor bukan mobil," seru Arga.
Gladys masih tak menanggapi kalimat dari Arga. Dia terus berusaha melepaskan genggaman tangan itu, "Mau hujan batu mau hujan meteor aku nggak peduli. Aku mau pulang," tegas Gladys pada Arga.
Arga mengunci tangan Gladys agar tangan itu tak bergerak sedikitpun. Ia menghela napas panjangnya karena meladeni Gladys yang tak mau menuruti apa yang dia perintahkan. Ingin melampiaskan amarahnya tapi masih bisa ia tahan saat ini, "Aku bilang hujan di luar. Kamu keras kepala banget. Aku larang kamu pulang karena takut kamu kehujanan. Kalau kamu sakit, siapa yang khawatir? Aku Dis! Pacar kamu yang khawatir," ungkap Arga menegaskan kalimatnya ke arah Gladys.
"Aku tetep mau pulang. Lepas!" Gladys masih berusaha untuk tetap melepaskan genggaman tangan Arga yang ada di pergelangan tangannya. Gladys marah. Benar-benar masih marah pada Arga. Mungkin perdebatan ini jika dihitung selama mereka pacaran memang sangat sering terulang. Bodohnya, Gladys masih terus memaafkan laki-laki brengsek itu sampai sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Previous Love (END)
RomanceGanti cover ~~ Comeback update [Tiap Hari) Tak mencari pasangan hidup karena masih ingin membahagiakan orang tuanya adalah alibi Aidan Lavindo Alfareza. Sungguh jika disandingkan dengan saudaranya, dia sudah layak menikah karena usianya yang begitu...