Part 47 - Mama Segalanya

1K 196 9
                                    

Dokter Jefri tak kuasa menahan langkahnya untuk masuk ke ruang ICU. Hatinya merasa bersalah pada istrinya sendiri. Sungguh, kaki Dokter Jefri seketika seakan kaku untuk melangkah masuk. 

Begitupun juga dengan Aidan. Melihat Papanya yang menangis tak karuan membuat Aidan ikut menahan kakinya masuk ruang ICU. Aidan benar-benar merasa bersalah pada Mamanya. Koper yang tadinya ia pegang erat kini terjatuh entah kemana. Dia benar-benar melupakan niatnya untuk pergi ke Malang, menemui Gladys. Tak peduli dengan tiket pesawat yang telah ia pesan.

"Papa nggak bisa. Papa nggak sanggup. Papa nggak sanggup, Dan! Kenapa bukan Papa dulu yang meninggal? Kenapa harus Mama kamu? Papa belum bisa terima ini," seru Papanya pada Aidan seraya menundukkan kepalanya di sebuah bangku tunggu.

"Papa udah banyak nyakitin dia. Papa udah banyak salah sama dia dari awal pernikahan sampai sekarang belum bisa jadi suami yang baik," tambahnya lagi.

Sangat terdengar jelas ke telinga Aidan bahwa Papanya tak baik-baik saja saat ini, "Papa udah dikasih kesempatan sama Mama kamu untuk memperbaiki pernikahan. Tapi Papa kadang merasa bersalah sama Mama kamu. Papa belum bisa jadi suami yang baik."

"Papa dititipi amanah untuk jaga Mama kamu tapi Papa belum maksimal jaga dia. Dia sering bolak-balik ke psikiater karena Papa—"

Aidan menggeleng. Ia menepuk pundak Papanya. Meskipun dadanya rasanya sesak ia masih terus menenangkan Papanya, "Bukan. Bukan salah Papa. Nggak, jangan salahin diri sendiri."

"Asal kamu tau, Dan! Kenapa Mama kamu marah sama Papa soal Azka hampir kritis di ICU dulu waktu bayi," seru Dokter Jefri.

"Dulu Mama kamu kekeuh pengen usut orang yang hampir mau bunuh Azka. Papa dulu sempat nggak percaya kalau itu susu soya dari Amira yang diminum. Papa sempat berdebat panjang sama kamu. Karena Papa yakin bisa jadi emang bukan Amira dan pelakunya orang lain," Cerita itu dilontarkan oleh Dokter Jefri pada anaknya meskipun cerita itu sebenarnya telah usang.

"Dari masalah itu Mama kamu bener-bener nggak bisa maafin Amira. Bukan Papa mau mengkhianati Mama kamu, tapi feeling Papa memang bukan Amira, Dan! Karena secara logika buat apa dia mau racun adik kamu? Dia udah punya keluarga sendiri. Dia nggak ada urusan sama keluarga kita. Nggak mungkin dia ikut campur urusan keluarga kita sampai mau bunuh keluarga kita," tambahnya lagi.

"Masalah itu udah lama. Dan berangsur seakan selesai sendiri karena Azka selamat dari masa kritis. Papa kira Mama kamu udah lupa masalah itu. Tapi ternyata sampai sekarang belum bisa. Harus gimana? Jelasin ke Mama kamu dalam kondisi seperti ini sekarang? Jujur Papa nggak mau ada perselisihan kayak gini, Dan! Papa bener-bener nggak ada perasaan apa-apa sama Amira. Susah jelasin ke Mama kamu. Papa harus gimana sekarang? Mama kamu udah meninggal," ucap Dokter Jefri lagi.

Perlahan kepala Dokter Jefri terangkat untuk menatap Aidan, "Papa merestui kamu sama Gladys. Bukan berarti Papa curi kesempatan dekat sama Mamanya. Papa bener-bener nggak ada pikiran picik itu. Tapi masalah ini yang jadi pertengkaran Papa sama Mama kamu. Papa juga mau kamu bahagia. Papa bahagia kalau kamu bisa bahagia dengan pilihan kamu sendiri."

"Kalian ngapain disini? Papa kenapa?" tanya Aviola yang tiba-tiba muncul dari hadapan Dokter Jefri dan Aidan.

"Papa shock karena denger kabar Mama meninggal dari suster yang lewat tadi," seru Aidan pelan.

Aviola sontak mencubit lengan Aidan dengan keras sampai laki-laki itu meringis, "Sembarangan kalau ngomong! Mama ada di ruang rawat. Enak aja. Tadi Aviola sama Mas Bagas yang mindahin atas izin Dokter! Karena permintaan Mama sendiri."

"Harusnya besok pindah ke ruang rawat. Tapi Mama waktu sadar mintanya sekarang! Dengan catatan tetep dipantau Dokter, hari ini Mama udah dipindah. Sekarang lagi sama Azka di Bangsal Melati VIP One," ucap Aviola menambahkan.

Previous Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang