Part 17 - Ditahan

2.7K 346 72
                                    

Hallo, sebenernya mau update kemarin tapi bukber wkwkw mau update tadi siang tapi kepala pusing belum bangun tidur. Jadinya malam deh padahal udah ngetik tinggal revisi tapi ada aja godaan pengen scroll sosmed sampai lupa update wkwkkw.

Kalian tim tau cerita ini dari mana?

💓💓💓

Gladys ternyata hanya membaca pesannya saja tanpa membalas pesan darinya. Bahkan hanya perkara itu, sedari tadi selama Aidan berjalan menuju rumah sakit, tangannya membuka-tutup ponselnya untuk mengecek notifikasi barangkali ada pesan yang masuk, "Ngapain buka tutup layar hp dari tadi. Fokus Aidan! Otak kamu kenapa sih?" gerutunya pada dirinya sendiri.

Aidan lantas cepat-cepat melupakan sikap anehnya. Dia kemudian melanjutkan langkahnya sampai kedua kaki miliknya ada di ambang pintu ruang rawat inap Melati. Dimana ruang rawat inap tersebut adalah ruang rawat jenis VIP yang ditempati oleh Selena. Ya, laki-laki dewasa itu tengah tersenyum ramah ke arah Mama Selena. Beberapa detik usai mengukir senyum ke arah wanita paruh baya itu, dia menatap perempuan cantik yang tengah terbaring di atas ranjang.

"Nak Aidan?" panggil wanita paruh baya itu.

"Sini Nak! Silahkan masuk! Dokter baru aja visit tadi," serunya ke arah Aidan saat Aidan mulai melangkahkan kakinya ke arah Selena.

Aidan tak pernah basa-basi terlebih dahulu. Dia langsung mengutarakan maksud kedatangannya, memberikan bingkisan buah titipan dari Mamanya untuk Selena yang terbaring di atas ranjang, "Ini titipan dari Mama Tante, buat Selena," ungkapnya.

Mama Selena terlihat sumringah saat Aidan memberikan bingkisan itu. Secercah harapan terbit dari perasaannya, "Aduh ... Bu Ayana kok repot-repot kasih ini itu. Makasih ya Nak?"

Aidan mengangguk menanggapi ucapan terima kasih dari Mama Selena. Kini, sorot mata laki-laki itu mengarah ke Selena. Kosong. Tak ada perasaan apa-apa dari Aidan seperti apa yang diharapkan oleh kedua orang tuanya. Aidan benar-benar hanya menganggap dokter cantik itu adalah rekan kerja Papanya dan bukan pujaan hatinya.

"Gimana kabarmu, Sel?" tanya Aidan pelan.

Perempuan cantik itu tersenyum lebar. Perasaannya yang kosong seketika terisi kembali saat Aidan menjenguknya. Sepotong harapan yang tadinya jatuh tersungkur, kini seakan berkumpul dalam satu di hati kecilnya, "Baik Dan, dari kemarin mau makan mual terus. Perut udah nggak enak dimasukin apa-apa," adunya pada Aidan.

Keduanya memang saat ini sudah tak ada rasa canggung untuk menggunakan sapaan non formal, baik Aidan ataupun Selena.

Terlihat tangan Mama Selena memegang pundak Aidan. Menepuk-nepuk pundak keras itu dengan lembut, "Dia itu kalau sakit lupa semuanya, Nak Aidan! Makan lupa, jaga kesehatan lupa. Bukannya apa-apa. Mama ini khawatir sama dia. Badannya pucet lemes dari kemarin. Untungnya ada Nak Aidan kesini jenguk, Tante sedikit tenang," ungkapnya pada Aidan.

Aidan tersenyum samar. Dia merasa tak ingin menjadi harapan bagi siapapun. Tapi keinginan orang tuanya semakin kesini semakin tak bisa Aidan gapai. Termasuk menikah dengan dokter cantik itu. Lambat laun, dia ingin membicarakan masalah ini pada orang tuanya agar orang tuanya tak berharap lebih padanya lagi.

"Sel, maaf nggak bisa lama-lama disini. A-aku ada urusan. Aku harap kamu jaga kesehatan tubuh kamu. Aku paham, semua orang pasti mengalami sakit. Nggak enak makan, nggak enak gerak. Tenaga medis ataupun orang biasa semua pasti pernah sakit," seru Aidan mengarah ke Selena. Dia sengaja memakai bahasa non formal pada Selena untuk menuruti permintaan Mama Papanya.

Tatapan Aidan tak berpindah dari mata Selena. Tapi tatapan itu sama sekali hanya tatapan biasa. Tak ada artinya apa-apa. Dia masih menatap Selena dan melanjutkan kalimatnya yang masih tersendat itu.

Previous Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang