Part 16 - Sebaris Pesan Pengantar

2.7K 355 55
                                    

Anak kecil seusia Zio memang terkadang sedikit sensitif. Dia bisa merasakan meskipun terkadang tak begitu paham pembicaraan orang dewasa. Dan Aidan juga menyadarinya. Dia merasa tak enak jika harus ingkar janji dengan pria kecil itu.

Ayana, Sang Mama masih berharap Aidan bisa bertemu dengan Selena. Ayana merasa banyak hutang budi pada Mama Selena. Dia menganggap, Mama Selena banyak membantu keluarganya sampai dia tak enak jika harus menolak perjodohan Selena dengan Aidan. Meskipun sampai sekarang tak ada respon dari Aidan sendiri.

"Om Aidan ada urusan bentar ya, Sayang? Zio di rumah sama Nenek," ujar Mama Ayana, dia ikut bingung ketika melihat cucunya yang tak mau ditinggal oleh Aidan.

Bibir Zio seakan ingin meletupkan tangisannya saat Aidan tak menjawab pertanyaannya sedari tadi. Zio berharap Aidan menemaninya bermain. Sangat berharap. Entah, urusan orang dewasa yang pelik membuatnya tak bisa selaras dengan jalan pikirannya sendiri.

Lama-kelamaan Aidan sendiri tak tega menatap bibir mungil keponakannya yang semakin lama semakin mengerucut sebal. Aidan segera memutuskan perkaranya. Tak enak juga dengan Gladys yang menunggunya sedari tadi. Jam mengajar Gladys jadi ikut terpotong karena urusan pribadinya.

Aidan lantas mengelus pundak Mamanya terlebih dahulu untuk meminta izin sebelum mengalihkan pembicaraannya ke arah Zio, "Bentar ya, Ma? Aidan ngomong sama Zio dulu," serunya.

"Iya," jawab Mama Ayana dengan nada lembut.

"Jagoan! Dengerin Om!" seru Aidan saat tangannya mengangkat tubuh anak laki-laki itu.

Zio masih enggan menguraikan bibirnya yang mengerucut. Sekumpulan tangan yang membentuk kepalan itu menonjok bahu Aidan dengan iringan perasaan kesalnya. Aidan malah terkekeh melihat tingkah keponakannya yang merasa sebal padanya, "Om Aidan mau pelgi kemana? Zio mau main sama Om Aidan. Om Aidan nggak boleh pelgi."

"Om Aidan ada urusan bentar. Bentar aja. Nggak lama. Nanti selesai les, main sama Zio. Zio belajar dulu sama Miss Gladys terus main sama Om Aidan," jelas Aidan sembari bibirnya menghujani ciuman pada tangan mungil milik keponakannya itu.

Kepala anak kecil itu menggeleng cepat. Seakan tak mau jika Aidan benar-benar mengingkari janjinya, "Tapi nanti nggak pulang. Nggak mau! Om Aidan nggak boleh pelgi!"

Bibir Aidan tersenyum lagi ketika melihat tingkah keponakannya yang masih tak mau melepas pelukannya dan malah mempererat kedua tangannya di leher Aidan. Tak mau jika Aidan benar-benar melepas gendongannya, "Nanti Om Aidan pulang. Zio main sama nenek dulu. Nanti dibelikan kakek mainan baru," bujuknya ke arah Zio.

"Nggak mau. Mau main sama Om Aidan sama Miss Gladys. Nggak mau Om Aidan pelgi!" sahut anak kecil itu lagi.

Melihat Mama Ayana yang menghela napas panjang karena cucunya sama sekali tak mau dibujuk, Gladys ikut kikuk berada di lingkaran itu. Ingin mengajak Zio belajar, namun Zio masih bergeleyotan manja dalam gendongan Aidan. Dan akhirnya dia ikut mencoba untuk membantu membujuk Zio, "Sini Pak, biar saya bantu bujuk!"

Kedua uluran tangan Gladys mengarah ke Zio. Namun anak laki-laki itu menggelengkan kepalanya spontan saat Gladys mengulurkan tangannya. Dia menepis tangan Gladys dan kedua tangannya masih enggan beranjak dari leher Aidan, "Nggak mau belajal. Mau sama Om Aidan!"

"Zio nggak mau belajal, Miss Gladys!" teriak anak laki-laki itu.

Gladys sempat beradu pandang dengan Aidan saat anak kecil itu sama sekali tak mau berpindah tangan. Tak mau putus asa, bibir Gladys masih ingin terus mencoba untuk membujuk Zio. Meskipun saat ini Zio sama sekali tak meresponnya.

"Loh, kalau nggak belajal nanti nggak dapat ranking di sekolah. Terus Zio nggak dapat hadiah dari Papa Mama. Zio kan mau jadi dokter, kalau nggak belajar nanti nggak bisa jadi dokter. Ayo belajar sama Miss Gladys dulu! Terus baru nanti main. Sambil belajar nanti main ular tangga sama Miss Gladys, mau?" Gladys berusaha membujuk dengan cara apapun.

Previous Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang