Konflik antar Mama Ayana dan Ibunya Gladys sampai saat ini masih menyisakan luka yang mendalam. Mama Ayana masih tak bisa berdamai dengan keadaan. Begitupun juga dengan Gladys, dia tak memberi kabar sedikitpun pada Aidan. Seakan melupakan Aidan.
Bahkan Aidan hampir gila. Setiap kali dia menghubungi Gladys, tak ada sautan apapun dari nomor yang dituju. Kemungkinan besar nomor Gladys sudah tak aktif lagi atau mungkin Gladys sudah benar-benar melupakan Aidan sampai-sampai nomor Aidan tak diberi akses untuk menghubunginya.
"Gladys! Angkat telfonnya!" serunya menghela napas saat jemarinya gagal menghubungi Gladys lagi.
Di tengah-tengah koridor rumah sakit, Aidan mengacak-acak rambutnya sampai berantakan karena gagal menghubungi kekasihnya, "Aku mau bicara sama kamu. Ayo selesaikan masalah kita dengan baik. Aku yakin kita bisa selesaikan semuanya secara baik-baik! Aku mohon angkat telfonnya! Aku butuh kamu," lirih Aidan seolah-olah berbicara dengan ponselnya sedari tadi.
Malam yang dingin ini, Aidan tampak sendirian duduk di kursi koridor rumah sakit. Ia masih belum berani masuk ke dalam ruangan Mamanya. Beberapa jam yang lalu Mamanya dilarikan ke rumah sakit karena drop. Dan sampai detik ini, Mamanya masih berada di ruang ICU.
"Aku bener-bener butuh kamu, Dis!" lirihnya pelan menatap samar-samar wallpaper ponsel yang menunjukkan foto selfie dirinya dengan Gladys saat berada di butik.
Samar-samar ketika Aidan ingin menatap pintu ruang ICU, terlihat Papanya tengah keluar dari pintu tersebut dengan wajah lesunya.
Sulit bagi Aidan berada di titik ini. Dia harus memilih antara keluarganya atau kekasihnya. Tak bisa memilih salah satu. Melihat Mamanya yang terbaring di rumah sakit, hati Aidan benar-benar hancur. Apalagi bersamaan dengan itu, kekasihnya hilang seakan ditelan bumi. "Aidan," panggil Papanya.
"Papa," jawabnya pelan.
"Mama gimana? Mama masih belum sadar?" tanyanya pelan pada Sang Papa saat Sang Papa duduk menghampirinya dengan senyum kecut.
Laki-laki paruh baya itu menggeleng pelan seraya tersenyum getir, "Belum," jawabnya.
Aidan menghela napas lagi. Belum tuntas ia mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Mamanya saat ini masih belum sadarkan diri karena drop. Harus bagaimana Aidan? Semuanya serba salah, "Sebenernya ada apa, Pa? Kenapa Aidan nggak pernah tau cerita yang Mama maksud? Ada apa? Ada apa sampai Mama masih menyimpan cerita itu sampai sekarang? Kenapa ada hubungannya sama Mamanya Gladys?"
Aidan berusaha bertanya pada Papanya. Karena satu-satunya kunci saat ini adalah Papanya. Tapi Papanya seakan enggan memberitahu Aidan. Hal itu membuat Aidan benar-benar diambang keputus-asaan, "Papa ... Papa nggak tau."
"Pa tolong cerita ke Aidan biar Aidan bisa memperbaiki semuanya. Aidan mau memperbaiki hubungan Aidan sama Gladys tanpa menyakiti hati Mama," pinta Aidan pada Papanya. Namun Sang Papa hanya meresponnya dengan gelengan pelan.
***
Di tempat dan waktu yang berbeda, kedua mata Gladys terlihat sembab. Tangannya tampak mengemasi sisa barang yang ada dalam Kosnya. Barang-barang pemberian Aidan sengaja tak ia bawa sedikitpun. Hanya sisa kepingan kenangan yang mungkin sulit untuk Gladys simpan.
Terlalu menyakitkan menjalin hubungan dengan Aidan. Memang Gladys bukan setaranya. Sampai kapanpun tak akan pernah bisa bersatu jika masa lalu orang tuanya masih tersimpan rapi. Bagaimana bisa? Sedangkan restu orang tua adalah jalan nomor satu mereka menjalin hubungan. Mungkin sampai kapanpun hubungan mereka tak akan membaik seiring berjalannya waktu.
"Dis, kalo lo pergi dari sini. Gue tinggal sama siapa? Ini udah dibeli Mas Aidan buat lo. Kenapa harus lo tinggalin. Kos-kosan ini gratis. Kita tinggal pakai aja nggak perlu bayar," Dita berusaha menahan Gladys agar sahabatnya itu tak benar-benar pergi.
Tapi Gladys sudah membulatkan tekatnya bahwa ia harus pergi dari rumah itu, "Nggak. Sampai kapanpun gue nggak ada hak sama sekali tinggal disini. Gue masih mampu bayar Kos di tempat lain," jawab Gladys pada Dita.
Dita memang belum sepenuhnya tahu apa masalah Gladys sampai ia memutuskan meninggalkan rumah yang mereka tempati. Dia juga tak begitu banyak tahu soal masalah Gladys dan Aidan karena Gladys tak pernah terus terang padanya. Walaupun dia seolah tak tahu apa-apa, tapi mata batin Dita sangat hapal apa yang dirasakan sahabatnya itu sampai kedua mata Gladys sembab semalaman menangis.
"Dis, kalau Mas Aidan nyari kesini gue harus bilang apa?" tanya Dita seakan masih ingin menahan Gladys agar tak beranjak dari tempat itu.
"Bilang aja Gladys udah mati. Biar dia dan keluarganya puas!" sahut Gladys pelan namun menusuk di hati Dita, seraya tangannya masih menata baju-baju yang belum sempat ia bawa kemarin.
"Lo ngomong apa sih? Mas Aidan baik. Nggak mung—"
"Bacot! Kebaikan dia nggak ada artinya apa-apa kalau keluarga dia injak-injak Mama kemarin," seru Gladys lagi dengan emosinya yang meletup-letup. Bibirnya menahan amarah meskipun matanya tak bisa dibohongi, tampak mengeluarkan cairan bening lagi.
"Gladys!"
Gladys menenggelamkan kepalanya di sela-sela lututnya. Tangannya menghentikan aktivitasnya yang tampak memasukkan beberapa baju di koper. Kedua sorot mata Gladys sengaja ia sembunyikan agar Dita tak mengamati buliran bening yang perlahan jatuh dari kelopak matanya.
"Lo nggak tau apa-apa, Dit! Kalau gue cerita sama lo juga nggak bakal paham. Nggak ada urusannya sama lo. Percuma juga gue cerita. Hubungan gue sama dia udah putus. Udah nggak bisa diperbaiki," serunya lirih di sela-sela isak tangisnya.
Dengan sorot mata sayunya, Gladys mencoba untuk menatap Dita, "Bilang ke dia! Kalau dia masih sudi ke tempat ini, suruh ambil barang-barang dia di kamar gue. Gue nggak butuh barang-barang itu. Terserah dia mau bakar barang-barang itu atau mau diapakan. Gue nggak peduli."
Usai mengemasi barang-barangnya. Gladys perlahan berdiri dari tempatnya dan pamit ke Dita bahwa kemungkinan dia tak akan kembali ke Jakarta lagi, "Terus lo mau kemana sekarang?" tanya Dita.
"Gue udah nggak bisa tinggal di Jakarta lagi. Gue mau ikut Mama. Lo nggak perlu khawatir, Dit! Gue nggak akan lost contact. Nomor gue baru, nanti gue kasih. Asal lo jangan sebar kemana-mana," seru Gladys pada sahabatnya.
Gladys memeluk Dita dengan erat. Bagaimanapun juga Dita sangat banyak membantunya selama di Jakarta. Dia tak akan bisa melupakan kebaikan Dita walaupun akhirnya harus seperti ini, "Mama gue sendirian. Emang harusnya gue jaga Mama dari dulu. Nggak jauh dari Mama. Bukan malah merantau nggak jelas kayak gini."
"Mama single parent ngehidupin gue sendiri. Papa meninggal. Mama yang kerja keras waktu Papa meninggal. Masih aja difitnah Mamanya katanya Mama pembunuh. Pembunuh dari mana? Mama nggak pernah bunuh siapa-siapa. Masih aja diinjak-injak sama Mamanya dia. Mentang-mentang orang kaya. Bisa seenaknya," seru Gladys dalam hati, dia masih tak bisa melupakan apa yang dikatakan oleh Mama Ayana.
"Nyesel banget pernah hadir di kehidupan dia kalau endingnya kayak gini. Mending dari awal nggak usah kenal sama dia sekalian," tambahnya lagi dalam hati.
Gladys perlahan menguraikan pelukannya dari tubuh Dita. Dengan berat hati, tangannya memegang gagang kopernya untuk ia tarik. Walaupun berat meninggalkan Dita, tapi ini adalah keputusan terbesar Gladys.
Gladys melangkahkan kakinya keluar kamar, disusul Dita yang mengekor di belakangnya. Sungguh, dia masih terasa berat harus berpisah dengan Dita. Sebelum benar-benar beranjak, di teras depan rumah, Gladys memeluk sahabatnya lagi sebagai tanda perpisahannya, "Gue pamit ya, Dit?" serunya pada Dita.
Sebelum Gladys pergi. Sebuah panggilan menggema di teras rumah seakan menahan Gladys agar tak pergi, "Gladys!"
Bersambung ....
Sapa tuh!!! Wkwkwkwk hallo akhirnya aku update lagi. Kurang 8 part lagi ending dan aku masih bimbang ini harussss happy end apa sad end 🤣🤣
Oke karena tgl 1 Januari Aviola dan Bagaskara debut, jadinya sebelum desember atau sebelum tahun baru Aidan ending ya .... Maap kalo update lama baru kena mental kemarin sampai sakit dan nggak bisa nulis samsek. Semoga sebelum ending 8 part aku tulis sebelum tahun baru ekwkw. Yey!
KAMU SEDANG MEMBACA
Previous Love (END)
RomanceGanti cover ~~ Comeback update [Tiap Hari) Tak mencari pasangan hidup karena masih ingin membahagiakan orang tuanya adalah alibi Aidan Lavindo Alfareza. Sungguh jika disandingkan dengan saudaranya, dia sudah layak menikah karena usianya yang begitu...