Siang berkolaborasi bersama panas untuk membuat setiap orang merasa enggan berada di luar ruangan. Sayangnya, sekolah bubar tepat saat nol sepersekian persen hawa neraka itu menjilat-jilat bumi dengan garang.
Di antara ratusan murid SMA Pelita Bangsa, ada gadis manis berwajah murung di sana. Namanya Athena. Penyebab murung mulai mengungkung wajahnya dengan amat posesif tak lain dan tak bukan adalah karena kertas di tangannya.
Selain ada nama lengkap dan mata pelajaran matematika, ada dua angka di sudut kanan paling atas. Delapan puluh lima. Seharusnya, ia bangga karena jumlah itu menjadi nilai paling tinggi di kelas. Namun, ternyata menjadi pemenang tak selalu menjadikan seseorang senang.
Ia menyetop angkutan umum, lalu duduk di dekat pintu seraya menatap ke luar sepanjang jalan. Pikirannya begitu semrawut.
Mendung memang selalu menghiasi wajahnya, tapi kali ini berbeda. Warnanya semakin pekat dengan bibir lurus mendatar. Beberapa penumpang mencuri-curi pandang. Mereka menjadi tidak nyaman akibat aura sedih yang melingkupi gadis itu.
Saat sampai di depan rumah, Athena turun dari angkot dan membayarnya. Sandrina, Mama sekaligus orang tua satu-satunya, sudah menunggu di teras. Wanita itu langsung menarik kertas itu dan melotot penuh amarah.
"Apa ini, Athena? Kenapa nilai ulangan matematika kamu cuma delapan puluh lima? Kamu mau mempermalukan Mama?" tanya Sandrina.
"Ma, Athena baru sampai."
"Terus kenapa kalau kamu baru sampai rumah?! Kamu berharap Mama diam aja lihat nilai kamu kayak gini?!"
Gadis itu mendesah lesu. Padahal, ia baru saja menginjakkan kaki di pintu rumah, tapi Athena sudah mendapat bentakan dari sang mama. Pasalnya, nilai ulangan matematika tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh wanita itu, yaitu angka satu bergandengan bersama dua nol di belakangnya.
Padahal, Athena berharap Sandrina tidak ada di rumah. Dengan begitu, harinya akan sedikit tenang. Sayang sekali Tuhan tidak mengabulkan. Alih-alih disambut dengan senyuman, Sandrina langsung menyiapkan bombardir pedasnya di siang hari ini.
Athena sudah kebal, bahkan menganggapnya sebagai makanan sehari-hari. Dia memilih duduk di teras, lalu melepas sepatu dengan gerakan tenang.
Percuma meminta untuk diam, mamanya tidak akan berhenti sebelum rasa kesalnya terlampiaskan. Kalau sampai besok pagi masih ada ganjalan di hati, maka Athena akan mendengar makiannya hingga ke luar dari pintu rumah untuk pergi sekolah.
"Athena nggak ada niat mempermalukan Mama. Athena udah berusaha dan nilai ulangan paling tinggi di kelas cuma Athena," jawab Athena apa adanya.
"Delapan lima kamu bilang tinggi?! Apa kamu buta, Athena?! Tinggi itu seratus!" Sandrina semakin berang.
Tangannya sibuk mengacung-acungkan selembar kertas hasil ulangan di udara, seolah Athena belum melihat malapetaka macam itu. Matanya terus melotot disertai wajah memerah menahan emosi hingga Athena mengkhawatirkan bola matanya Sandrina ke luar dan menggelinding ke jalan raya.
Athena mengembuskan napas pasrah sembari meletakkan sepatunya di rak. Alasan malas pulang ke rumah adalah ini. Sambutannya sangat 'manis' sekali.
"Mama tahu sendiri tingkat kesulitan matematika anak SMA itu gimana. Kalau Mama mau nunjukin jenius matematika di luar sana sebagai contoh, oke. Mereka emang suka matematika dan didukung penuh sama orang tuanya. Gini aja, lah, Ma. Mulai sekarang aku fokus sama matematika aja, tapi nilai pelajaran lain biar biasa aja," tukas Athena.
"Oh, kamu berani menjawab Mama? Bener-bener anak nggak tahu diuntung. Udah Mama rawat sejak kecil, Mama kasih makan, Mama sekolahin, sekarang berani melawan Mama?"
KAMU SEDANG MEMBACA
TOXIC [Tamat]
أدب نسائيAthena tidak pernah meminta lebih. Gadis berusia tujuh belas tahun ini hanya menginginkan cinta dan kasih sayang. Saat El datang mengulurkan tangan, Athena ragu karena terlalu takut nanti akan kembali merasakan kehilangan. Ia belum siap menumpuk luk...