19. Sandaran

19 3 0
                                    

Gadis itu menggeliat pelan seperti ular kobra. Punggungnya sakit sekali. Seluruh tulang-tulang yang ada di tubuh rasanya hendak patah. Ia bangkit dan melamun sejenak. Sisa-sisa nyawa yang beredar ke segala arah ketika terlelap berusaha dikumpulkan kembali ke tempat semula. Athena mengucek mata, lalu tersadar sedang berada di rumah El Hafiz.

"Gue masih hidup, ya?" gumamnya kecewa.

Tadinya, Athena berharap sudah tak ada lagi di dunia. Percuma saja masih bernapas bila yang dihembuskan adalah aroma neraka. Terlebih harus menghadapi amukan Sandrina setiap hari. Marah kepada siapa, yang kena pelampiasan emosi malah dirinya. Mungkinkah tugas anak adalah menjadi samsak hidup sebagai pelampiasan emosi orang tua?

Ada rasa ingin bunuh diri, tapi takut akan janji Allah yang memasukkan orang-orang mati bunuh diri ke dalam neraka. Ingin tetap hidup juga takut. Mungkin ini maksud dari kata pepatah, hidup segan mati tak mau. Sudah berdoa berkali-kali agar Tuhan mengambilnya pun, belum juga terkabulkan. Sampai detik ini, Athena masih bernapas walau ketakutan.

Permainan yang disajikan semesta begitu buruk. Taruhannya selalu saja masa depan manusia. Beberapa orang pernah bilang, saat mendapatkan ujian dari Tuhan lalu merasa putus asa, harusnya mampu berusaha untuk bangkit kembali. Bukan diam-diam merutuki takdir atau kecewa berhari-hari sampai menyakiti diri sendiri. Itulah alasan Athena tak mau ada seorang pun yang tahu tentang rasa sakit yang ia miliki.

Jujur, nasehat seperti itu hanya akan membuatnya muak. Percuma saja berusaha bangkit, sedangkan tangan-tangan itu sudah siap mendorongnya jatuh kembali dari sisi depan, belakang, kiri, dan kanan. Apa yang Athena lakukan hanya sia-sia. Ia tak mau mempersulit hidup dengan acara jatuh-bangun seperti itu. Athena benci direpotkan meskipun dilakukan oleh dan demi dirinya sendiri.

"Udah bangun lo?"

Athena menoleh dan hampir terpekik melihat keberadaan El. Bagaimana caranya sosok itu duduk di sebelahnya tanpa ia sadari?

"Kok lo ada di sini?" tanya Athena tak santai.

"This is my house, wajarlah ada di sini."

"Bukannya gue tidur di rumah, ya?" Athena berbisik bingung.

Perlahan, ia mencoba mengumpulkan kembali dalam ingatan, apa saja yang sudah terjadi hari ini. Tadi pagi, Sandrina membangunkan dirinya, lalu memberitahukan jika ada seorang teman sedang menunggu di ruang tamu.

Saat Athena selesai mandi dalam keadaan mengantuk dan mengenakan piyama kembali sebagai baju rumahan, ia pergi ke ruang tamu menemui orang itu. Lalu, dirinya diajak keluar menggunakan mobil dan orang itu adalah ... El.

"Baru inget sekarang?" sindir El gondok.

Tak ingin banyak bicara, Athena mengangkat bahu saja sebagai jawaban. Ia menyandarkan tubuhnya di sofa lalu memijat bagian belakang tubuh dengan pelan. Mulai dari tengkuk, hingga ke pinggang.

"Na, I want to ask you something."

Athena mengangkat alis sebelah, tatapan mata El mendadak lebih serius dari sebelumnya.

"Luka gores di pipi sama lebam di kaki itu kenapa?" tanya El.

Jantung Athena seakan berhenti berdetak. Darahnya juga mogok mengalir karena diberi serangan kejut secara mendadak. Wajah Athena pucat pasi. Pasti El melihat luka itu saat dirinya pingsan. Sekarang berbagai umpatan dilayangkan gadis itu pada diri sendiri yang tak berguna sama sekali.

Kenapa ia malah memberi celah untuk mereka masuk dan menanyakan hal yang selalu ingin ditutupi? Athena menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan dengan kuat.

"Nothing," jawabnya datar.

"Apa ada seseorang yang nyakitin lo di belakang gue? Tolong, jangan sembunyiin apapun lagi, Na! Gue udah janji mau lindungi lo," pinta El.

"Gue tau. Sangat tau tentang niat baik lo mau lindungi gue, El. But, it doesn't mean you can pressure me in anything!" seru Athena marah.

"Bukan gitu maksudnya, Athena."

Sesaat El terlihat frustasi. Ia bingung cara menjelaskan kalau dirinya tak mau Athena terluka sama sekali.

"Iya, maksud lo jelas kayak begitu. Dari awal, prinsip gue cuma satu dan itu berlaku dalam segala hal."

"What is that?"

"Terima gue apa adanya atau pergi!"

Selama beberapa saat, Athena mengurut pangkal hidung demi mengurangi pening. Ia tak boleh emosi di rumah orang. Sopan santunnya harus tetap dijaga. Maka dari itu, Athena mengikat rambut dengan benar lalu berniat pergi.

"Mau ke mana?" cegah El sambil menarik tangan Athena.

"Gue mau pulang, lepasin tangan gue!" Athena memberontak agar cengkeraman tangan cowok itu terlepas.

Secepat kilat El bangkit lalu memeluk Athena dengan erat. Ia telah berbuat kesalahan dengan mendesak dan menekan gadis itu berkali-kali. Athena tak bisa diperlakukan seperti itu. Orang istimewa hanya bisa diperlakukan secara istimewa pula.

Athena berbeda dari gadis lain. Ia adalah burung kecil yang terluka. Salah langkah sedikit, justru akan mematahkan kaki dan sayapnya. Lalu, Athena akan hidup dalam kesakitan seumur hidup.

"Maaf!" El berbisik tulus. "Maafin gue udah desak lo kayak tadi. Gue cuma bingung cara nyampein kalo gue gak rela lo terluka."

Mata Athena memanas. Sekalipun El tahu siapa yang membuat dirinya terluka, cowok itu tak akan pernah mampu melakukan apapun. Pelakunya adalah Sandrina, wanita yang telah melahirkan Athena ke dunia. El tak bisa menolong dirinya. Percuma saja.

"Jangan marah sama gue! Jangan tinggalin gue, Na!"

Hati Athena melunak. Bila sedang bersama El, hatinya selalu luluh. Amarahnya langsung berkurang meski suasana hati tetap buruk. Ia menurut saja saat tangan El membimbingnya duduk kembali ke sofa. Athena juga membiarkan El mengelus kepalanya, lalu menyandarkan ke bahu dia.

"Maaf, Na! Maafin gue udah bikin lo marah dan pusing. Harusnya rasa khawatir gue gak bikin lo tersiksa," gumam El tulus.

Ada satu ruang kosong di hati Athena yang menghangat mendengar penuturan El. Perlakuan lembut serta tidak menuntut terlepas dari sikapnya tadi, El tahu cara menenangkan dirinya. Tidak memilih marah, meneriaki Athena, atau membiarkan saja Athena pergi. Justru El akan memeluknya dan meminta maaf berkali-kali.

Athena tak pernah dipeluk seumur hidup. Akan tetapi, saat Lilia dan El memberi tempat terhangat mereka, Athena merasa nyaman.

Biasanya dia akan risih karena diperhatikan begitu baik oleh orang baru, kali ini Athena sangat berharap bila perhatian-perhatian dari mereka tak sama seperti embun pagi, menggelantung di pucuk pohon, lalu pergi saat mentari datang.

Bukan pula seperti keindahan bintang di langit malam--memberi ketenangan dengan kelip cantik saat langit kelam, lalu ketika siang datang akan menghilang. Bukan sengaja pergi, tetapi Athena yang tak mampu melihat mereka lagi.

Hal seperti itulah yang sangat dibenci oleh Athena--seseorang datang memberikan tawaran bersandar selama mungkin, saat sudah bergantung dan percaya tak akan ditinggalkan lagi, Athena terdiam sendiri. Dihantam telak kehilangan saat tak siap. Terluka berkali-kali saat tak ingin itu terjadi.

Lalu, Athena hanya bisa menangis memilah luka mana yang sempat tertabur garam. Perih, merintih, tak ada yang mendengar. Memiliki Sandrina sebagai harta satu-satunya juga tak bisa membuat Athena lega.

Penyumbang luka terbaik setelah sang papa justru adalah Sandrina. Bila ada niat baik terselubung di balik sikap kasarnya, Athena tak akan bisa mentolerir itu. Percuma dia tumbuh jadi gadis baik, sopan santun, pintar dan terpelajar kalau isi dalam hati sudah borok. Rusak permanen hingga Athena mati. Itu yang diharapkan Sandrina?

Bila iya, maka penghargaan terbaik untuk perjuangan seorang ibu harus jatuh padanya. Athena sungguh merasa tak punya masa depan lagi karena kata-kata jahat mamanya. Cita-cita Athena terasa kelabu. Ia tak tahu harus jadi apa nanti. Tamat sekolah harus melanjutkan ke mana? Jurusan apa? Minat Athena apa?

Kelabu. Ia tak bisa lagi melihat semua itu. Air matanya perlahan turun membasahi pipi. Inikah versi gagal yang sesungguhnya?

TOXIC [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang