10. Sabetan Rotan

28 6 0
                                    

Athena membuka pintu rumah saat azan Magrib berkumandang. Sandrina sudah menunggu di ruang tamu. Wajahnya memerah karena marah. Matanya melotot geram. Ia langsung mendekati sang putri dengan rotan di tangan.

"Bagus, ya! Kelayapan gak jelas seharian sampe kerjaan rumah gak dikerjain. Kamu itu sadar diri, Athena! Apa kamu pikir hidup jadi pemalas bakal diterima masyarakat?!" cerca Sandrina murka.

Di tengah azan Magrib yang sedang dikumandangkan oleh muazin, Sandrina membuka pertengkaran.

"Athena gak kelayapan. Mama bisa gak, sih, sekali aja gak nuduh sembarangan tanpa bukti? Athena itu abis dari sekolah, hari ini ada acara perpisahan anak kelas tiga!" jawab Athena tanpa sadar meninggikan suara.

Ia capek dituduh tanpa alasan terus menerus. Mamanya bertingkah seolah menyesal sudah melahirkan anak nakal tak tahu aturan. Lalu keesokan harinya, ia akan berkeliling kompleks untuk menceritakan ke orang-orang tentang putrinya yang pemalas, tak seperti anak-anak lain yang bangun pagi buta dan langsung membereskan rumah. Lantas, yang dilakukan Athena selama ini tidak terlihat sedikit pun, kah?

Bangun Subuh, langsung cuci piring, menyapu, mengepel, cuci baju kalau ada, membersihkan kompor gas dan kulkas hingga kinclong. Athena melakukan itu semua tanpa sarapan terlebih dahulu. Jika seperti itu disebut pemalas, maka ada ribuan orang di dunia yang lebih tidak berguna daripada dirinya.

"Kamu itu kalo dibilangin sama Mama jangan menjawab aja! Liat anak orang lain! Gak malas-malasan, selalu bantuin orang tua dari pagi sampe pagi! Kamu sengaja mau nyiksa Mama, ha?" Sandrina mengayunkan rotan itu ke kaki Athena.

Sakit sekali saat rotan itu mengenai betis. Mungkin pembuluh darah bocor atau pecah bila dihantam tanpa henti, dan bekas lebam membiru akan tertinggal di sana selama berhari-hari. Athena mungkin perlu memakai kaus kaki panjang untuk menutupi lukanya. Bila tidak, pasti akan mengundang kehebohan seisi kelas.

Sandrina sekarang seperti seorang ibu yang tak punya hati. Rotan itu berkali-kali dipukul ke betis sang putri. Sekuat tenaga Athena menahan air mata agar tak jatuh sesakit apa pun kakinya sekarang.

"Pukul aja, Ma! Pukul sampe Mama puas. Athena juga capek diomelin tiap hari tanpa alasan jelas!" tantang gadis itu.

"Rasanya lebih baik Mama bunuh kamu, Athena! Biar Mama hisap semua darah yang mengalir di tubuh kamu! Anak pembangkang! Keturunan kotor! Keturunan gak tau diri! Kalian itu cocoknya hidup di kampung kumuh dan makan sampah!"

"Kalo Athena bisa milih, Athena bahkan gak akan pernah mau dilahirkan dalam keluarga kayak gini!"

"Terus kamu pikir Mama mau? Hah? Menikah sama Papa kamu cuma bikin mama sakit hati! Dasar j*lang!"

Athena memejamkan mata. Lihat, Sandrina mampu mengatai buah hatinya sebagai j*lang. Dinilai dari sudut manapun kata-kata itu terlalu kejam diucapkan pada anak. Akan tetapi, wanita itu sudah menutup hati rapat-rapat.

Ingin sekali Athena menanyakan pada Sandrina, pernah melihat anaknya mangkal di mana? Sampai-sampai tega menghina dirinya seolah Athena benar-benar seorang gadis murahan.

"Athena gak pernah nyuruh Mama nikah sama Papa. Athena gak ada waktu Mama melawan nenek yang larang Mama nikah sama Papa! Athena muak karena Mama mikirin luka Mama sendiri! Athena pusing! Capek!" teriak Athena frustasi.

Ia tak peduli akan menjadi anak durhaka. Tuhan pun harus membuka mata pada kondisi yang diberikan pada Athena, sebelum merajam dirinya di neraka.

"Gak usah bawa-bawa nenek, Anak Siaan! Masuk ke kamar dan belajar sampe pintar! Kalo nilai kamu turun, pergi dari rumah Mama! Kamu gak ada hak di sini. Kamu cuma numpang, jadi turuti semua kata-kata Mama!" Sekali lagi rotan itu bertemu dengan kaki yang untungnya dilapisi rok panjang.

Gadis itu segera meninggalkan Sandrina yang terduduk di lantai sembari menatap rotan. Hatinya gamang.

Benda itu baru saja digunakan untuk memukuli harta peninggalan mantan suami. Anugerah yang Tuhan berikan sebagai hadiah terindah dalam hidupnya. Sandrina memegangi kening yang terasa pusing. Ia tak bermaksud melukai hati dan tubuh Athena. Dirinya sedang emosi karena saudaranya terus saja menyindir soal keluarganya yang timpang. Maka dari itu, Sandrina memilih pulang ke rumah.

Saat melihat lantai belum disapu serta piring teronggok di wastafel, emosinya sampai ke titik akhir. Terpaksa wanita itu memukuli Athena agar gadis itu hidup menjadi gadis yang baik dan tidak pemalas. Sandrina tahu caranya salah. Hal itu justru semakin memperparah sifat keras kepala sang anak.

Akan tetapi, selama ini Sandrina menyimpan ketakutan besar. Bila suatu saat nanti dirinya pergi dan tak kembali, Athena sudah mampu mengatasi semua sendirian.

Dengan nilai baik, pendidikan Athena akan terjamin. Dia akan lulus dengan cepat saat menimba ilmu di perguruan tinggi, lalu diterima bekerja di tempat yang layak. Hidupnya tak akan serba kekurangan lagi meski tanpa Sandrina.

Namun, setan justru selalu mengambil kesempatan. Mulut wanita itu dengan mudah mengata-ngatai Athena dengan kata yang menyakitkan. Seandainya Athena tahu hati Sandrina tak tega saat memuntahkan rentetan kalimat jahat acapkali melampiaskan kemarahan, mungkin dia akan mengerti. Ia yakin sekali.

"Semua ini salah pria brengsek itu, Athena. Salahkan dia atas kehidupan kamu yang kekurangan dan diliputi kesedihan. Salah kamu juga kenapa harus memiliki wajah yang sama, walau dalam gender yang berbeda," gumam Sandrina dengan wajah benci.

Ya, semua salah mantan suaminya itu. Andai dia menuruti apa kata sang ibu saat melarangnya menikah dengan pria itu, pasti hidupnya akan bahagia sekarang.

Pria miskin yang mengaku kaya, memiliki motor dan mobil serta rumah mewah di kampung halaman membuat Sandrina tergiur. Ia pikir bila hidup dengan orang tuanya susah, maka harus menikahi orang kaya agar tak terus-terusan hidup melarat.

Padahal, nyatanya hidup papa Athena lebih susah dari dirinya. Ketika sudah menikah, mendapat pekerjaan lumayan bagus, malah bersenang-senang dengan wanita lain. Tak hanya satu ada banyak sekali selingkuhan di berbagai tempat. Sandrina bangkit dan melempar rotan itu ke sembarang arah.

Ia masuk ke kamar, mengambil ponsel, lalu bertelepon ria bersama sahabatnya yang tinggal di luar kota. Saling bercerita tentang kehidupan masing-masing lalu beralih membicarakan Athena.

Di kamarnya, gadis itu sedang menatap luka lebam hijau kebiruan di betisnya. Saat ditekan, rasanya sangat sakit. Ia tak mau keluar untuk mengambil salep atau es batu. Biarlah seperti ini hingga hilang sendiri.

Kalau boleh berharap, seharusnya luka ini mengeluarkan darah sebanyak mungkin. Agar dirinya tewas dan tak perlu menghadapi semua kepahitan ini. Agar dirinya bebas menjalani hari sendiri. Di sana, dalam pangkuan Tuhan.

Air mata Athena tak mampu keluar. Ia sudah lelah. Lelah menangisi takdir. Lelah menangisi hidup. Lelah menangisi diri sendiri. Lelah menangisi kelahiran yang diwarnai cat permanen berwarna hitam.

"Tuhan, Athena benci semuanya. Athena takut, takut untuk terus hidup, tapi Athena juga takut buat mati sendiri. Pasti neraka beneran bakal panggang Athena di sana." Gadis itu berbisik pilu.

Ponsel di tangannya berdering menampilkan nama El. Saat itulah tangisan Athena pecah. Ia memeluk dirinya sendiri dengan tragis dalam suasana kamar yang gelap dan sunyi. Meraung dalam diam, dengan tangan yang tak berhenti memukuli dada yang sesak berkali-kali.

"Harusnya lo gak deketin gue, El! Gue gak pantes punya temen. Lo sama Gloria bakal kerepotan karena udah mungut sampah kotor kayak gue!" isaknya pedih.

Athena membiarkan saja ponsel berdering sampai benda itu mati sendiri. Ia menumpukan wajah pada lutut. Tubuhnya bergetar hebat. Perlahan, ia kembali merasakan seperti ada kegelapan menyelimuti di ujung-ujung mata.

Badan Athena semakin berguncang hebat. Airnya bercucuran begitu deras. Ia kembali melewati malam dengan kondisi mengenaskan. Sementara di luar sana, Sandrina tertawa riang bersama teman melalui sambungan telepon. Athena tetap di sini menikmati kesendirian dan pasrah ditelan kegelapan yang mencekam.

TOXIC [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang