3. Ribut

67 10 0
                                    

Athena terus menangis dalam posisi berjongkok dalam waktu lama. Menginjak menit ke lima belas, isakan itu mereda. Dia mengangkat wajahnya, hingga membuat Gloria nyaris meringis melihat mata bengkak Athena.

Sahabatnya itu langsung berdiri. Rambutnya yang kusut kembali dibenahi. Setelah itu, dia berangsur-angsur tenang dan menarik napas dalam-dalam. Tanpa sadar, Gloria ikut mengambil napas panjang.

Pergelangan tangan Gloria memerah sebab tak sengaja dicengkeramnya karena bimbang. Sekarang dia merasa gamang.

Mereka terjebak dalam kebisuan, hingga membuat seseorang yang bersembunyi di balik tembok merasa tak nyaman. Menurutnya, aura Athena semakin kelam.

Sejak gadis itu mulai kacau, cowok itu sudah berada di sana. Padahal, awalnya dia berniat membantu Gloria membawa Athena ke unit kesehatan sekolah.

Barangkali, Athena mengalami vertigo atau merasa tidak sehat, begitu pikirnya. Akan tetapi, melihat penolakan yang diterima Gloria yang notabene adalah sahabat Athena, dia pun jadi ragu.

"Ath-Athena, lo nggak apa-apa?" cicit Gloria takut.

"Nggak. Maaf, kalau gue bikin lo khawatir." Athena menjawab singkat, matanya kosong menatap lurus.

"Gue bisa antar lo pulang, lo nggak usah ikut kerja, nanti biar gue aja yang atur. Kayaknya, lo butuh istirahat lebih banyak hari ini."

"Gue nggak selemah itu. Gue masih bisa ngelakuin apapun sendirian. Lagian, gue baik-baik aja. Gara-gara barusan, lo jadi ngeremehin gue, gitu?" Suara Athena mulai meninggi.

Setiap mengalami stress, emosi Athena jadi tidak stabil. Ia akan memarahi siapa saja yang berbicara dengan dirinya. Athena tak peduli, apakah itu orang tua atau remaja seumuran dirinya.

Ini bukan pertama kali Athena bersikap aneh. Sebagai sahabat, Gloria selalu berusaha mengerti walau tetap terkejut ketika mengalaminya berulang kali. Dia hanya bisa mengangguk maklum dan meminta maaf atas sikapnya yang membuat Athena tersinggung.

"Kalau gitu, kita ke ruangan Pak Arya sekarang," putus Gloria, sembari menyugar rambut sebahunya.

Athena mengangguk kecil. Dia berjalan bersisian dengan Gloria, untuk meninggalkan tempat di mana dirinya sempat hilang kendali. Embusan napas kasar dikeluarkan berkali-kali.

Semakin lama, kontrol dirinya semakin mudah terlepas. Mungkin benar, Athena butuh mengunjungi psikolog atau psikiater.

Namun, uangnya masih belum cukup dan pasti tidak akan cukup, karena sering dipakai ketika keadaan terdesak. Seperti membeli beberapa bahan yang dibutuhkan saat belajar, butuh buku ataupun memberikan sumbangan.

"Akhirnya kalian datang juga. Ke mana aja, sih? Lama banget, udah Bapak tunggu dari satu setengah jam yang lalu juga!" cerocos Arya saat keluar dari ruangan dan mendapati murid-murid kepercayaannya. Satu persatu, ia menyambut uluran tangan muridnya. "Athena, tangan kamu dingin. Mata kamu juga sembab. Kamu sakit?" tanyanya perhatian.

"Saya baik-baik aja, Pak. Mungkin efek baju saya yang kurang tebal. Jadi, saya agak kedinginan," elak gadis itu sambil menunduk.

"Kamu yakin baik-baik aja? Kita akan kerja sampai malam. Kalau kamu sakit mending pulang aja istirahat, pasti yang lain maklum," saran guru seni itu.

Hampir saja Athena mengumpat kesal, bila tidak ingat siapa pria di depannya. Terlalu banyak bicara hanya akan membuat Athena pusing.

Gloria sendiri memilih diam karena takut salah bicara, selama tidak ditanyai Arya. Ia juga sempat melihat Athena memejamkan mata erat-erat pertanda mulai kesal.

"Ya udah, nanti kalau ngerasain pusing atau apa, bilang sama Bapak, ya? Soalnya tugas kamu lumayan berat." Guru seni itu menghitung lembaran yang ada di tangan. "Ini naskah yang baru aja Bapak copy. Tolong, kamu bagikan ke teman-teman ekskul drama."

TOXIC [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang