20. Arti Kehidupan

19 3 0
                                    

Kondisi Athena sudah lebih baik dari sebelumnya. Gadis itu sudah mandi dan berganti baju. Jujur, ia agak terkejut melihat ada kamar cewek di rumah El. Ternyata, itu milik almarhumah adiknya. Lumayan pas di badan Athena, meskipun saat meninggal adik El masih berusia lima belas tahun. Mungkin, badannya termasuk jangkung. Sedangkan Athena tak jua bertumbuh sejak kelas dua SMP.

Kini, gadis itu sedang menemani Lilia menyiram pohon-pohon stoberi di kebun. Wanita itu tidak mempekerjakan orang lain. Semua diurus sendiri dari awal menanam hingga masa panen. Lilia tersenyum melihat wajah Athena lebih ceria. Gadis itu mulai terbuka dan berusaha menerima kedatangan dua orang itu di hatinya.

Sejak makan siang tadi, Athena sudah banyak berbicara. Itu merupakan kemajuan yang cukup pesat. Lilia sampai tak henti-hentinya tersenyum melihat Athena, bahkan tertawa.

El duduk bersantai di teras belakang. Bibirnya terus menyunggingkan senyum bahagia menyaksikan keakraban dua perempuan yang menghuni hatinya. Inilah yang cowok itu inginkan. Maminya senang, Athena senang, dan dirinya ikut senang.

Saat Athena tak sengaja melihat ke arah El, mata mereka bertemu dan terkunci--saling menyelami meski berjauhan, dan berbagi rasa yang meletup dalam dada. Lalu, semua buyar saat Lilia mengajak Athena bicara.

"Na, Tante pengen tau, deh. What is the meaning of your version of life?" tanya Lilia sembari menggunting stroberi yang gendut dan matang.

"Me?" ulang Athena.

"Iya. Kita harus terbiasa saling ngobrol biar kamu gak kaku lagi sama Tante."

Athena menghela napas gugup. Ia jarang bicara banyak dengan orang, kecuali saat bertengkar dengan Sandrina. Tidak pernah sekalipun Athena berdiskusi semacam ini Matanya memejam sesaat, lalu kembali terbuka menatap Lilia.

"Life is like a canvas. You are the painter and many ignorant hands are trying to destroy," jawab Athena mantap.

Lilia memiringkan kepala. "Wow, indah sekali perumpamaannya. Boleh dijelaskan, Sayang?"

"Kanvas itu ibarat hidup dan pelukisnya adalah Tante sendiri. Tangan-tangan itu adalah orang tua, sahabat, saudara, teman, keluarga, musuh, siapapun itu. Pasti ada salah satu di antara mereka yang jahil yaitu menyakiti Tante dan membuat Tante tertekan. Perlahan, Tante mulai trauma dan lelah dengan kehidupan. Kanvasnya perlahan menghitam seiring dengan banyaknya luka yang Tante terima."

Gadis itu baru sadar tengah menggunakan Lilia sebagai contoh. Seakan tahu pikiran Athena, wanita itu mengusap bahunya berusaha menenangkan--memberi tahu tak masalah dengan itu.

Senyum hangat Lilia justru semakin membuat Athena merasa tidak enak. Ia menggigit bibir dan menunduk pelan. Saat tangan lembut Lilia mendongakkan wajahnya, mata mereka bertemu. Lilia mengangguk pelan tanda menyemangati.

"Menurut Tante, apa yang harus Tante lakukan?" tanya Athena ragu.

"Melindungi kanvasnya, dong. Tante akan sekuat tenaga melindungi hidup dari tangan-tangan itu," jawab Lilia sungguh-sungguh.

Sudah Athena duga jawabannya akan seperti itu.

"Bukan, Tan. Makna melindungi adalah menyingkirkan mereka. Sudah jelas itu salah. Mereka adalah latar belakang hidup kita, Tan. Background si kanvas," terang Athena.

Takjub. Itulah arti dari tatapan berbinar Lilia. Ia semakin tertarik mengetahui arti kehidupan versi gebetan putranya ini. Dengan semangat membara Lilia meminta Athena menjabarkan semuanya.

"Cara memperindah hidup bukan menyingkirkan, Tan, tapi menerima. Ketika kanvas sudah benar-benar hitam, itu adalah saat di mana Tante kembali menghias ulang kanvasnya dengan kekuatan dan keyakinan baru."

TOXIC [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang