Sebelum mentari menyembul di ufuk timur, Athena sudah bangun terlebih dahulu. Ia tak bisa tidur nyenyak karena flu. Kepalanya terasa berat dan sesekali berdenyut hebat. Telinganya berdengung. Mata ikut terasa nyeri saat dipaksa terbuka.
Oksigen susah payah mendobrak masuk. Bersin berkali-kali tak mampu membuat hidung Athena lega. Mungkin ini efek tenggelam kemarin serta diajak melihat bintang oleh Sam semalam.
El sudah mewanti-wanti agar Athena meminum obatnya. Namun, Athena tak ingin ambil pusing. Dipelukannya ada sekotak tisu. Itu saja sudah lebih dari cukup untuk mengatasi situasi ini.
Tiba-tiba terdengar suara gesekan sandal menuju kamar Athena. Ia masih belum tersadar akan menghadapi bahaya. Saat pintu kamar dibuka dari luar, barulah gadis itu terkesiap dan nyaris melompat dari tempat tidurnya.
Wajah dingin Sandrina menyembul dari balik pintu. Jantung gadis itu seakan berhenti berdetak melawan kodrat sebagai organ pemompa darah. Kehadiran sang mama tak pernah tidak menakutkan bagi Athena. Reaksi tubuhnya pun selalu berlebihan.
Athena ingat ini hari selasa. Wajahnya memucat seketika. Padahal baru kemarin Sandrina berangkat kerja. Akan tetapi, sekarang ia sudah kembali berada di rumah. Apakah ada hubungannya dengan kecelakaan yang menimpa Athena kemarin?
"Mama, kok, pulang nggak bilang-bilang?" cicit Athena sembari berusaha menenangkan diri dengan cara menyemprot ingus sekuat mungkin.
"Harusnya Mama yang ngomong begitu." Wanita itu mendekat dan duduk di tepian ranjang. "Kenapa nggak bilang sama Mama soal kejadian kemarin?"
"Maaf, Ma. Athena bukannya sengaja nggak kasih tau Mama. Insiden kecil kayak begitu nggak perlu dibesar-besarin lagi. Toh, Athena nggak kenapa-napa."
"Insiden kecil macam apa sampe bikin anak orang celaka dan hampir mati?"
"Ini yang bikin aku nggak ngomong sama Mama. Yang hampir mati aku, Ma. Bukan anak orang lain."
Gadis itu tersenyum getir. Percuma saja menceritakan kejadian separah apapun yang menimpa. Kesalahan tetap jatuh pada Athena.
Padahal seringkali ia hanyalah korban saja. Namun, di mata Sandrina putrinya adalah anak nakal tak tahu aturan. Susah dinasehati serta keras kepala. Tahunya menambah masalah saja.
Athena menunduk sekejab lalu perlahan turun dari tempat tidur. Ia mengambil handuk dan pergi membersihkan diri. Percuma tetap di sana, mereka akan bertengkar seperti biasa. Saat ini Athena sedang lelah beradu tinggi suara.
Sandrina masih diam di sana sampai Athena selesai mandi dan bersiap. Matanya menatap apapun yang dilakukan sang putri hingga selesai.
Sementara itu, Athena diam-diam mengeluh tidak nyaman. Keberadaan Sandrina membuat geraknya terbatas. Bahkan, kamar ini terasa lebih sempit sekarang. Seragam yang Athena kenakan pun mendadak mengecil hingga dirinya semakin susah bernapas.
Ujiannya sudah selesai. Ujian hidup yang masih akan terus berlanjut. Jika Sandrina bertanya soal ini, berarti Arya sudah meminta orang tua dirinya, El, dan Claire datang ke sekolah demi meluruskan masalah.
Wanita itu tak berkata apa-apa lagi selain, "Anak bodoh!"
Semalam ia ditelepon oleh pihak sekolah dan diberitahu perihal kecelakaan yang menimpa sang putri saat jam istirahat. Tak lupa tentang El yang hampir mencelakai anak orang karena tak terima Athena diperlakukan seperti itu.
"Mama nggak mau ke sekolah kamu, urus semuanya sendiri. Kamu udah dewasa dan masalah itu pasti kamu juga penyebabnya. Mama harus kerja dan nuntasin apa yang jadi niat awal," kata Sandrina.
"Iya, Ma."
Semua serba lega sekarang, itu erdengar lebih melegakan ketimbang Sandrina menyanggupi untuk datang ke sekolah. Athena bersyukur pada Tuhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TOXIC [Tamat]
ChickLitAthena tidak pernah meminta lebih. Gadis berusia tujuh belas tahun ini hanya menginginkan cinta dan kasih sayang. Saat El datang mengulurkan tangan, Athena ragu karena terlalu takut nanti akan kembali merasakan kehilangan. Ia belum siap menumpuk luk...