Athena terbangun saat cahaya matahari hampir terbenam. Kepalanya terasa berat, efek terlalu lama menangis. Saat berusaha duduk, bumi terasa berputar lebih cepat. Perlahan-lahan Athena mengingat semua yang terjadi, lalu mendesah pasrah. Bisa-bisanya dia lepas kontrol di hadapan orang asing.
Benaknya bertanya-tanya, jika sisi lain dari seorang Athena sudah terlihat, akankah akan meninggalkan dirinya karena terlihat seperti orang tidak waras? Pasti, El pasti akan melakukan itu. Mana mungkin ada remaja yang ingin hidupnya bahagia mau menampung orang gila.
Matanya melirik jam dinding. Ia tidur sangat lama. Saat pergi ke dapur, ia melihat ada yang berbeda. Rak piring dihiasi banyak benda baru, menggantikan yang sudah hancur tak berbentuk ulah dirinya.
Dapur juga sudah bersih dari pecahan beling. Athena mengendikkan bahu. Pelakunya pasti El.
Meskipun sempat merasa tak berguna, Athena tak ingin kembali stress. Ia lekas mandi dan mengenakan pakaian santai. Athena berniat pergi menenangkan diri sebentar sebelum kembali menghadapi masalah baru di sekolah besok.
Rasanya lebih baik ia keluar daripada berdiam diri di rumah. Berjalan kaki menelusuri jalanan yang biasanya selalu dipenuhi para pejalan santai. Mereka juga sedang menikmati senja sambil berolahraga kecil.
Setelah mengambil tas selempang dan sandal jepit, Athena mengunci pintu rumah, lalu menyimpannya di saku celana kain hitamnya.
Sandrina memiliki kunci cadangan. Jika ia pulang dan pintu sedang terkunci, maka tidak akan terlantar seperti anak kucing kehilangan induknya. Athena pernah mengalami itu. Alhasil, sepanjang hari gadis itu hanya bisa menunggu di kursi teras hingga ketiduran.
"Tumben Senin nggak panas," gumam Athena.
Gara-gara Claire memiliki dendam kesumat padanya, Athena malah celaka dan tidak mengikuti ujian terakhirnya.
"Semoga ... kalau nilai gue turun, Mama nggak marah. Kalo tetep marah, ya udah," gumam Athena pasrah.
Dua jam sudah Athena berjalan tak tentu arah. Sebelumnya, ia sudah menyelesaikan shalat maghrib di mushalla kecil sebelah kantor pos. Walau iman sering naik turun, ibadah tak khusyuk, Athena berusaha menjaga salat lima waktunya. Hanya dengan itu ia bisa berbincang dengan Tuhannya.
Jalanan yang ia lalui cukup lengang. Hanya ada beberapa motor yang lewat, setelah itu lengang lagi. Malam yang sunyi tak membuat Athena ketakutan. Pikirannya belum tenang.
Athena sudah melupakan bangunan sepuluh lantai tempat biasa dirinya menenangkan diri. Kalau pergi ke sana, pasti akan bertemu Gabriel. Kepalanya bisa tambah sakit disesaki pertanyaan tak berguna.
Waktu terus berlalu, tapi gadis itu masih sama kacaunya. Meski tersamarkan oleh wajah datar, hati dan pikiran masih saja berkecamuk. Berperang satu sama lain. Tak berhenti meski sang raga sudah letih.
"Capek. Pengen naik angkot, tapi males. Maunya jalan kaki." Gumamnya sebal.
Athena berdecih. Ia duduk di samping trotoar, dipayungi oleh rimbunnya pohon Asam Jawa yang tumbuh berderet sepanjang jalan. Ia menutupi wajah, dengan tangan menahan tangis yang akan segera pecah.
"Woi, jalanan lagi sepi. Berdebu juga, terus udah malem. Jangan duduk di pinggir jalan sendirian!" tegur seseorang.
Athena mendongak saat mendengar suara seseorang menegurnya. Ia menghela nafas lelah. Pemilik suara itu adalah Sam. Kenapa sekarang pendatang baru itu terlihat di mana-mana?
"Lo lagi stress, ya?!" tuding cowok itu seenaknya.
Athena menatapnya malas. "Kalo iya kenapa? Kalo nggak kenapa? Kalo nggak dua-duanya juga kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
TOXIC [Tamat]
ChickLitAthena tidak pernah meminta lebih. Gadis berusia tujuh belas tahun ini hanya menginginkan cinta dan kasih sayang. Saat El datang mengulurkan tangan, Athena ragu karena terlalu takut nanti akan kembali merasakan kehilangan. Ia belum siap menumpuk luk...