37. Tentang Maaf

25 3 0
                                    

Gundukan tanah merah itu masih basah. Gerimis baru saja berhenti setelah selesai mencumbu bumi. Angin dingin bertiup sesekali, tapi mendung di langit tak jua pergi. Pun mendung di hati Athena yang gelap, segelap malam tanpa cahaya.

Taburan kelopak bunga berbagai warna masih segar. Sesegar ingatan Athena tentang kenangan bersama sang mama. Kerudung hitam yang awalnya menutupi kepala Athena, jatuh mengenai tanah. Ujung gamis hitamnya kotor, tapi ia masih betah.

Beberapa orang yang melayat sudah kembali ke rumahnya masing-masing setelah mengucapkan sebaris kata penyemangat dan memberikan tepukan hangat di pundak. Athena tak jua beranjak.

Tangannya masih setia mengelus nisan itu. Di sana ada nama wanita mulia. Wanita yang pernah melahirkan dirinya ke dunia dengan bertaruh nyawa.

Wanita yang pernah membesarkannya tanpa seorang suami sekaligus ayah bagi sang putri. Wanita yang pernah membanting tulang demi memenuhi kebutuhan sehari-hari agar bisa makan meski hanya ada nasi dan garam. Wanita yang juga telah menorehkan luka dengan tujuan menjadikannya bekal menghadapi kejamnya dunia.

Athena tidak mau meninggalkan Sandrina sendirian di bawah sana. Ia khawatir, sekaligus takut mamanya kesepian.

"Ma, Athena nggak mau pulang. Nanti Mama tinggal sendirian. Athena enak-enakan tidur di rumah pake selimut, sedangkan Mama kedinginan. Athena temenin Mama di sini, ya? Jangan takut. Athena nggak akan pergi," ujar Athena, hampa.

Athena harap Sandrina mendengarkan suara yang keluar dari bibirnya. Wanita itu harus tahu, Athena akan selalu menemani dia, dalam kondisi apapun.

Sama seperti ketika Athena kecil sakit dan terbaring lemah di kamar, mamanya menemani sepanjang waktu dengan cerita penuh makna serta pijatan lembut di kepala.

"Mama baik, kok, sama Athena. Kemarin Mama bukannya jahat. Athena udah paham sama maksud dan tujuan Mama keras sama Athena. Sekarang, Athena bacain yaasin buat Mama, ya? Biar Mama tenang."

Tanpa peduli pada El yang berdiri menunggu di kejauhan, Athena membuka Alquran di ponsel dan membaca surah Yaasin sebagai hadiah bagi Sandrina. Dengan khusyuk penuh penghayatan, hingga tanpa sadar sudah menangis sesenggukan.

"Athena."

Tiba-tiba, sebuah suara yang hampir saja asing di hidupnya memantul di gendang telinga. Athena menoleh dengan gerakan kaku, lalu membatu.

"Ya," jawab Athena singkat sambil menatap Hardian dengan sorot dingin.

"Papa turut berdukacita, ya? Semoga Sandrina tenang di alam sana."

Athena menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, lalu membiarkan bisu menunggangi udara di sekitar mereka. Ia tak mau banyak bicara. Takutnya Sandrina kesal melihat Hardian mendatangi dirinya di makam tanpa merasa bersalah. Gadis itu mau mamanya beristirahat tenang.

Namun, diam-diam benak Athena mengutuk kehadiran tamu tak diundang itu. Apa belum cukup memutuskan mimpinya di sekolah, dengan berniat menghalau kenyamanan hidup yang tengah Athena raih?

Tanpa sadar, gadis itu menggunakan kesempatan untuk memandangi wajahnya. Wajah yang tak lagi sama. Keriput sudah memenuhi seluruh wajahnya. Tak lagi gagah seperti dulu saat beliau masih muda.

Mata dengan kantong yang sudah menebal itu menatap Athena dengan raut wajah bersalah. Mereka kembali bertemu secara tak sengaja setelah sekian lama dipisahkan oleh ruang dan waktu di tempat berbeda. Tempat yang tak pernah Athena ketahui letaknya.

Sekarang, gadis yang ia tinggalkan telah tumbuh menjadi remaja tangguh penuh luka. Belum lagi sembuh dari luka lama, hatinya kembali tergores ditinggal sang mama.

TOXIC [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang