Derap langkah diiringi ketukan sepatu pantofel hitam mengkilap mengisi keheningan tengah malam itu. Lorong rumah sakit terlihat sepi. Sesekali beberapa orang lewat menuju ke arah kantin. Mungkin keluarga dari pasien yang mendadak lapar di malam hari, setelah bergantian berjaga dengan keluarganya yang lain.
Pria yang ditaksir berusia kepala empat itu memiliki wajah tampan seperti aktor India. Tubuhnya tinggi tegap. Wajah tampak sangat berkharisma. Ditambah lagi gaya rambutnya yang rapi, tapi tidak menunjukkan ciri-ciri penuaan seperti bapak-bapak pada umumnya.
Rasanya, perempuan dari kalangan usia berapapun akan terpikat bila berlama-lama mengobrol dengan pria itu. Pelan-pelan akan tenggelam dalam pesonanya, lalu tak bisa pergi lagi meskipun ingin.
Kedatangannya ke rumah sakit ini dikarenakan ada seseorang yang amat dikasihi tengah terbaring lemah tak berdaya. Orang yang rela celaka karena melindungi dirinya. Padahal kesalahan yang telah ia lakukan sejak dulu tak layak untuk dimaafkan.
Entah dari bahan mana Tuhan menciptakan hati orang itu. Bahkan, hingga detik ini pun pria itu masih belum mengerti akan keputusan yang dia ambil.
Saat sampai di depan sebuah ruang khusus yang terpisah dari ruangan lain, ia mengintip dari balik kaca. Hardian terenyuh, tak mampu menahan air mata. Seluruh persendiannya melemah demi menyaksikan sang putri sedang berjuang bertahan hidup dengan bantuan alat-alat medis.
Sampai hari ini, ia belum mendengar kabar baik tentang Athena. Kabar terakhir yang Hardian dapat, Athena sempat siuman. Mata penuh luka itu sempat terbuka, lalu kembali terpejam.
Hardian tak berani masuk ke dalam. Kesalahan fatal yang selalu ia lakukan dari dulu hingga sekarang, membuat hatinya melarang mendekati Athena. Terlebih lagi, Gloria, sahabat Athena mengecam dengan serius agar Hardian tak lagi menjumpai Athena.
Pria itu menoleh saat mendengar ada langkah lain mendekati Hardian. Ternyata El, teman lelaki Athena. Wajah anak itu kuyu dan sendu. Akan tetapi, matanya menajam seiring jarak di antara mereka terkikis. Menyisakan ruang sejauh dua meter. Hardian menganggukkan kepala, menyapa.
Namun, El tak berniat membalas dengan sikap serupa. Hatinya sakit melihat kedatangan Hardian. Di mana ada dia, di situ ada luka untuk Athena.
"Gimana, Om? Senang liat Athena kayak gitu?" sinis El, tak dapat menahan diri.
"Saya ... saya minta maaf karena sudah membuat Athena seperti ini, tapi jangan lupakan siapa saya dalam hidup dia. Athena pasti butuh papanya sekarang," kata Hardian dengan suara bergetar.
El tertawa kering. Ia sudah sering bertemu dengan orang tak tahu malu. Akan tetapi, pria di depannya ini sangat lain daripada yang lain. Antara tidak tahu malu, tidak sadar diri, dan tidak bisa berkaca. Mana mungkin Athena mau menerima penyumbang luka terbesar di hidupnya.
Berpikir dua ratus ribu kali pun keinginan Athena tetap sama. Namun, mengusirnya pun tidak mungkin. Tak dapat dipungkiri Hardian memang orang tua Athena, meski tak layak disebut begitu. El tidak bisa terlalu ikut campur masalah keluarga Athena. Apalagi sampai mengatur-atur Hardian. Ia masih sadar diri.
"Om pulang aja. Ada saya di sini yang bakal jagain Athena sampe dia bangun. Seharusnya, Om ingat kesalahan berulang yang udah Om lakukan, dan instrospeksi diri. Maaf kalau saya kurang sopan, tapi Om emang harus melakukan itu," kata El sembari melihat ke dalam ruangan.
"Saya hanya sedang berusaha melindungi Claire tanpa nyakitin Athena!" balas Hardian, terdengar ragu.
Demi Tuhan, El bersumpah di dalam hati, pria ini tidak akan menyadari kesalahannya meskipun Jibril membalikkan kota ini. Emosi yang tadinya ditekan agar tidak muncul ke permukaan, kembali bergolak dan meronta untuk dilepaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TOXIC [Tamat]
Chick-LitAthena tidak pernah meminta lebih. Gadis berusia tujuh belas tahun ini hanya menginginkan cinta dan kasih sayang. Saat El datang mengulurkan tangan, Athena ragu karena terlalu takut nanti akan kembali merasakan kehilangan. Ia belum siap menumpuk luk...