Teruntuk semua yang kadang merasa lelah menapak di atas bumi Tuhan, tak apa. Jangan ragu untuk beristirahat sekejap. Ya, kita semua butuh istirahat. Kalau tidak, semua akan terus merasa lelah. Kita bukan Ironman atau Superman. Jangan memaksakan diri karena bisa saja luka itu akan membesar tanpa kita sadari.
Duduk sejenak, lalu tatap tangan dan kaki. Mereka yang selama ini kita gunakan untuk menyingkirkan duri. Kita semua hebat, hebat sekali. Mampu berdiri hingga hari ini dan berkarya dalam kesepian yang menyelimuti diri.
Jika menangis meraung bisa membuat kita tenang, lakukan saja. Tak ada yang berhak melarang. Kita adalah manusia, bentuk nyata dari kebebasan. Jangan pikirkan apa kata orang. Kebanyakan dari mereka adalah racun yang akan menghambat kita terbang menggapai bintang.
Mereka hanyalah pemberat kedua sayap yang mulai mengepak. Jangan sia-siakan benteng dan topeng yang selama ini kita gunakan untuk melindungi diri.
💕
Di ketinggian lantai sepuluh, Athena terpaku menatap jalanan kota yang masih lengang karena gelap masih menggelayut. Semalam, Athena tidur di sini. Ia memilih pergi dari rumah untuk sementara karena sudah tak kuat.
Jam tangannya menunjukkan angka empat. Masih terlalu subuh. Sebentar lagi, ia akan pulang dan menyelinap masuk melalui jendela. Sandrina tak tahu Athena pergi karena pintu kamarnya dikunci. Tadi malam, ia juga mengirimkan pesan permintaan maaf pada Anisa dan tetap mengabaikan ratusan pesan lain yang berasal dari Gloria, El, Sam, dan Gabriel.
"Gue tau lo pasti ke sini."
Athena menoleh. Matanya menemukan Gabriel sedang menatap tajam. Keningnya berkerut. Bagaimana bisa cowok itu ada di sini, sedangkan hari masih sangat pagi?
"Bingung?" tebaknya. "Pas gue liat semua pesan udah lo baca, hati gue langsung bilang kalo lo lagi gak baik-baik aja. Semalem, gue susah tidur. Gak tau kenapa, tiba-tiba gue pengen nenangin diri di sini dan ... ya, ada lo."
"Maaf, Gab. Gue harus pulang."
Athena membenahi cardigannya lalu buru-buru pergi. Ia sempat menangkap ada gurat kecewa di wajah Gabriel, tapi itu bukan urusannya. Ketika dirinya sudah menerima El sebagai tempat bersandar, tak mungkin sekarang berdekatan pula dengan sahabat dekat dia.
"Kenapa, Na?"
Langkah Athena terhenti. Ia memejam kuat sembari mengepalkan kedua tangan di sisi tubuh.
"Kenapa lo nolak gue? Kenapa lo gak mau deket-deket sama gue? Kenapa lo malah nerima El, padahal dia udah bikin lo celaka? Kenapa, Na?" Suara Gabriel terdengar begitu terluka.
"Gue gak mau bahas itu, Gabriel. Tolong jangan persulit gue!" ucap Athena menahan emosi.
"Na, tolong!" Gabriel memohon. "Jangan sakitin gue kayak gini."
"Bukan gue, Gab. Lo yang nyakitin diri lo sendiri. Dari awal, gue gak pernah ngasih harapan sama lo. Jadi, lo gak bisa salahin gue kalau lo kecewa atau sakit hati karena itu. Berhenti nemuin gue, jangan bersikap seolah-olah kita dekat. Lupain perasaan lo, gue nggak layak buat nerima itu."
"Tapi, lo nerima El, Na. Itu yang bikin gue gak ngerti sama jalan pikiran lo."
Gadis itu memandang lurus ke semen yang dipijak. Haruskah ia mengatakan El adalah pilihan hatinya? Jawaban itu akan lebih menyakitkan. Athena tak berhak menyakiti siapapun.
"Sekalipun gue jelasin, lo gak bakal ngerti."
"Belum juga lo jelasin ke gue, tahu dari mana kalau gue gak bakalan ngerti? Apa cuma El yang boleh dengerin semua keluhan lo? Na, tolonglah. Anggap gue ada."
"Gab, lo bener-bener mau tahu jawabannya?" Athena menatap Gabriel dengan sorot lelah.
"Ya!" balas Gabriel mantap.
"Alasan gue milih El, karena dia gak pernah sekalipun nanya apa kelebihan orang lain dibanding dirinya. Dia gak pernah nuntut gue buat jawab semua pertanyaan dia. Dia juga gak pernah maksa gue buat anggap kehadiran dia. Itu jawabannya!"
Jawaban Athena membuat Gabriel tertohok. Secara tidak langsung, gadis itu tengah mengatakan, bahwa dirinya membuat Athena tertekan dengan berbagai pertanyaan. Seketika, Gabriel kehilangan kata-kata. Menyanggahnya pun ia tak bisa. Tak ada yang salah dari kata-kata Athena.
"Giliran gue yang minta tolong sama lo!" kata Athena lagi. "Tolong, selagi lo belum mampu menahan diri buat bikin gue pusing dengan pertanyaan-pertanyaan gak bermutu kayak gitu, jangan ajak gue bicara! Cara kita mandang kehidupan itu beda. Lo gak akan pernah ngerti posisi gue dan gue juga gak mampu bayangin kehidupan yang lo punya!"
"Sorry!" sesal Gabriel.
"Udahlah!" putus Athena.
Tak ingin memperpanjang masalah, Athena berlari menuruni anak tangga. Begitu sampai di lantai dasar, larinya semakin laju. Lalu, ia menyetop angkot yang mengangkut pedagang pasar pagi dan mengatur napas di sana. Ada rasa sesak karena terlanjur banyak bicara. Kata-katanya tadi terdengar amat menyedihkan, padahal tidak ada niat sedikitpun untuk menunjukkan sisi lemah yang ia punya.
Gadis itu berjanji dalam hati akan menghindar dari Gabriel. Tak akan ada celah untuk cowok itu mendekatinya, lalu menanyakan hal yang membuat ia sakit kepala--bertanya perihal rasa yang tak terbalas dan penyebab dirinya menerima kehadiran El.
Athena tak bisa menjawab semua itu. Ia hanya mampu mengutarakan jawaban singkat, yakni Athena tak bisa bersama Gabriel.
Sesampai di rumah, ia melompati pagar dan menyelinap masuk ke kamar. Athena langsung tidur dengan harapan, saat bangun nanti suasana hatinya kembali membaik. Tak ada Gabriel, tak ada amarah Sandrina.
💕
Di atap klinik milik orang tuanya, Gabriel masih terpaku. Ia menatap jalanan yang mulai terang, dijejali kendaraan bermotor berbeda ukuran, lalu beralih menatap mentari pagi di ufuk timur. Matanya kosong. Ia tak bisa melihat semua keindahan itu. Untuk apa mengagumi keindahan alam, sedangkan wujud dari keindahan manusia menolak dirinya berulang kali?
Menjawab semua pertanyaannya saja Athena tak mau. Gabriel mulai membanding-bandingkan apa kelebihan El dan apa kekurangan dirinya. Cowok itu tak mengerti. Sama sekali tak mengerti.
Di tempat berbeda, sebelum benar-benar terlelap Athena menatap pantulan sinar matahari yang membias di dinding kamar. Seperti dirinya, jiwa lemahnya berupa bayangan yang bersembunyi di balik topeng tegar.
Siapa saja yang hendak merusak topeng itu, akan Athena lawan, kecuali sang perusak sudah sanggup menggantikan peran topengnya. Menjaga Athena, melindungi Athena, dan menyayangi Athena sepenuh jiwa.
"Lo gak ngerti, Gabriel. Siapapun gak bakal ngerti. Orang-orang terluka kayak gue butuhnya pelindung. Ngeliat El begitu baik menjaga Tante Lilia, gue tau dia gak bakal ninggalin gue, sekalipun tau kondisi gue udah gak waras."
Bisikan itu terbawa angin hingga ke kaki gunung. Menyentuh hati cowok berambut cepak yang sedang mengkhawatirkan Athenanya, gadis yang akan dia jaga. Si Ratu Introvert yang selalu butuh dia lindungi.
El melirik kebun stoberi tempat di mana mereka pernah duduk berdua. Saat El menceritakan rahasia terbesarnya, lalu merasakan kelegaan terbesar karena Athena tidak pergi menjauh lagi darinya.
"Izinin gue jagain lo, Athena. Gak ada siapa pun yang bisa nyakitin lo saat gue masih ada di dunia. Mami dan lo. Kalian berdua adalah orang-orang istimewa yang Tuhan hadirkan dalam hidup gue," gumamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TOXIC [Tamat]
ChickLitAthena tidak pernah meminta lebih. Gadis berusia tujuh belas tahun ini hanya menginginkan cinta dan kasih sayang. Saat El datang mengulurkan tangan, Athena ragu karena terlalu takut nanti akan kembali merasakan kehilangan. Ia belum siap menumpuk luk...