Setelah mengambil jatah libur untuk berdamai dengan rasa sakit hati, akhirnya Azura memberanikan diri untuk mematikan flight mode benda pipih nan canggih itu. Awalnya hanya proses pengembalian sinyal saja tanpa ada notifikasi apa-apa. Azura tersenyum sinis karena tak ada yang mengkhawatirkan dirinya, pikirnya begitu. Tetapi baru saja Azura hendak menekan tombol power, layar handphonenya menghitam dan menampilkan sebuah panggilan masuk.
Mey is calling...
Azura kaget karena entah kebetulan yang sudah digariskan begitu saja, ia hanya menatap layar itu hingga nada deringnya selesai. Azura bingung hendak berbicara apa tetapi ia terlalu kesal karena tak ada satu pun pesan masuk yang seperti spam. Hanya barusan sebuah panggilan masuk tapi tak ada lagi panggilan ulang.
"Kayaknya gue emang ga penting deh" monolognya sambil menghempaskan handphone tersebut asal-asalan di atas kasur kakak nya, Calya. Calya tengah berkuliah, gadis itu sedang menyusun skripsinya agar bisa dimajukan untuk kompre, wajar saja sibuk dan Azura sering ditinggal.
Padahal mood nya sedang buruk ditambah pula lambungnya berbunyi seolah-olah alaram yang mengingatkan Azura untuk makan padahal ia sama sekali tak bernafsu untuk mengunyah bahkan tenaga untuk berjalan ke arah dapur saja tak ada kekuatan. Sehingga Azura entah kenapa lebih memilih untuk tidur saja dengan membiarkan handphone nya menyala tanpa koneksi wifi.
Kali ini Azura tinggal di apartemennya Calya yang berada di gedung yang berbeda dengan milik Azura, dulu. Wajar gadis itu sering ditinggal Calya karena sibuk yang kadang saja Calya lebih memilih di kosan dari pada apartemen.
Gadis yang tengah porak poranda hatinya itu mencoba memejamkan matanya yang memang sudah menghitam seperti panda. Seketika memori menyakitkan yang telah terjadi dalam kurun waktu hampir satu tahun membuat dada Azura perih. Bagaimana semua orang membanggakan Sayang, Fulan yang dingin kepadanya, hingga Fulan yang memilih Sayang dari pada dirinya sampai pada puncaknya ia adalah alat bagi Adriansyah. Cairan bening itu jatuh perlahan dari mata kiri membasahi bantal.
Mata boleh saja terpejam tetapi hati dan akal pikirannya hanya dihiasi oleh bayang-bayang sakit hati tak berkesudahan.
Sesuatu yang paling menyakitkan bukanlah tidak mencintai atau dicintai, tetapi belenggu memori atas kejadian saat aku dan kamu selalu bahagia disaat tak ada kata kita.
Sebuah untaian kata yang sangat cocok bagi Azura itu terasa lebih menyayat beribu kali dari pada ia sedih mendapat nilai C dari dosen killer pelit nilai.
Awalnya hanya tangis biasa, kemudian berubah menjadi isak-isak kecil hingga Azura mulai merasakan yang namanya kelelahan mental dan berakhir pingsan, tanpa ada siapa-siapa.
Selang dua puluh menit kemudian, Azura pun terbangun dan dengan gesit Tassa langsung memberikan minyak kayu putih pada titik-titik penting yang hanya bisa digapai oleh Tassa, sehingga sisanya, Azura mengolesi dirinya sedkit demi sedikit dengan minyak kayu putih.
Azura masih belum berdiri tegak antenanya sehingga masih belum terlalu sadar bahwa dua puluh menit yang lalu, ia merasa sakit hati oleh kelima sahabatnya.
"Minum teh nya Ra" ucap Mey yang prihatin melihat kondisi sahabatnya itu, bukannya Mey tidak peduli hanya saja mereka memang tak bisa memanggil Azura.
Satu tegak, dua tegak, tiga tegak, "Udah Tay" ujarnya lemah yang membuat lima pasang mata menatapnya nyaring.
"Kalian tau darimana alamat ini?" tatapannya sinis dan cenderung datar seolah-olah Azura sebenarnya mengisyaratkan mereka untuk tak usah berada disini.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Love Is My Universe
Fanfiction[Selesai] Azura hanya menanamkan hal-hal standar dalam dirinya karena gadis itu memang kurang minat untuk menjadi sorotan. Memasuki radio kampus dan berakhir resign di tengah jalan adalah pilihan terpaksa yang harus dilakukan Azura. Namun siapa sang...