Empat: Marahnya MamSri

21.2K 2.5K 125
                                    

Sejak pulang dari pusat perbelanjaan sampai mereka masuk ke dalam rumah, suasana sungguh tidak mengenakkan. Terlebih lagi aura yang dibawa langsung oleh Mami mereka sungguh menyeramkan dan membuat sekeliling tampak kaku.

"Mi?"

Arga spontan mendelik menatap Kello yang dengan berani memanggil Mami mereka. Kell, please, ini mami lagi dalam mood Sri, jangan diganggu, gerutu batin Arga sebal.

"Kello, Arga, bawa Alea dan Alana ke kamar mereka. Biar barang-barang hasil belanja di bawa sama Bu Sari," ujar Nia dingin.

Tanpa perlawanan kedua pemuda yang mendapat perintah segera mengangguk dan melangkah menuju kamar di mana Alea dan Alana tidur.

Sementara Nia sendiri segera bergegas masuk ke dalam kamarnya diikuti oleh Bima yang sejak tadi tidak bersuara. Bima  melangkah berniat masuk ke dalam pintu kamar mereka, namun gerakannya harus tertahan saat hempasan pintu tepat mengenai wajahnya.

Bima melotot ketika mendengar suara pintu dikunci dari dalam.

"Mi, kenapa Mas dikunci di depan? Mas belum masuk." Bima tanpa sungkan mengetuk pintu kamar yang tidak mendapat respon dari Nia.  "Mi, Papa mau mandi, Mi. Tadi juga bukan salah Papa sepenuhnya. Salahkan saja Eren yang tiba-tiba pergi ke toilet dan lama."

Saat mereka di mobil tadi, Bima sudah menjelaskan jika ia bersama Eren--sekretaris Bima-- sedang meeting dengan Bu Fatma di restoran tadi.

Saat Nia dan rombongannya tiba, sebelumnya Eren pamit untuk ke toilet. Bima sendiri terkejut dengan tingkah Bu Fatma yang tidak biasa.

"Makan itu janda. Jangan tidur di dalam kamar. Enggak sudi aku tidur sama orang yang bawa aura pekat dari luar rumah," balas Nia bersemangat dari balik pintu.

Nia sendiri baru tahu jika Bu Fatma adalah seorang single parent yang memiliki dua anak perempuan dan ikut bersamanya.  Tidak salah kalau Bu Fatma berniat untuk menggoda Bima karena pria itu adalah tangkapan besar yang cocok untuk memenuhi kebutuhan hidup Bu Fatma dan anak-anaknya. Meskipun Bu Fatma sendiri adalah anak dari pemilik sebuah perusahaan, tidak menutup kemungkinan jika wanita itu juga mengincar harta Bima. Itu adalah spekulasi yang bermunculan di pikiran Nia hingga membuat tangannya mengepal tanpa sadar.

"Mas  enggak makan janda, Sayang. Tadi mas makan nasi sama lauk udang goreng. Itu aja," balas Bima.

"Bodo amat. Pokoknya jangan  tidur di kamar malam ini."

Setelah itu yang didengar Bima hanya langkah kaki Nia yang menjauh dari pintu.  Bima menghela napas pasrah dan melangkah menuju kamar si kembar yang terletak tepat di samping kamar mereka.

Saat Bima membuka pintu kamar si kembar, terlihat jika Arga sedang membuka sepatu kedua adiknya.

"Malam ini, Papa diusir dari kamar sama MamSri. Ha-ha." Arga dengan santai menyanyikan lagu dengan lirik yang sesuai dengan suasana Bima saat ini. Pemuda itu menyanyikan lagu dengan nada yang random hingga membuat telinga Bima terasa panas.

"Ehem!"

Tawa Arga menghilang seketika saat mendengar suara deheman Bima. Pelan tapi pasti, Arga kemudian memutar kepalanya sedikit untuk melihat Papa mereka sudah berdiri di ambang pintu.

Arga menelan ludahnya gugup saat menyadari jika papanya sudah pasti mendengar suara nyanyiannya tadi.

"Papa?" panggil Arga lirih. Pemuda itu mengalihkan tatapannya pada kedua adiknya yang menatapnya dengan senyum di bibir mereka.

"Kak Alga suara nyanyinya bagus. Ulang lagi," pinta Alana, dengan ekspresi menggemaskan.

Sementara kembarannya, Alea mengangguk setuju atas permintaan adik kembarnya. Suara Arga memang enak didengar saat bernyanyi. Tak salah jika mereka akan tidur dengan nyenyak dan nyaman saat mendengar Arga bernyanyi.

"Eh, kakak lupa lirik lagunya. Kapan-kapan aja Kakak nyanyi lagi." Arga tersenyum dan mencium pipi keduanya bergantian. "Sekarang, kalian berdua diam di kamar. Kakak mau balik ke kamar Kakak dan mandi."

Keduanya mengangguk dengan patuh. Kemudian Arga menghela napas lega saat keluar dari pintu dan melewati papanya. Sungguh,   ekspresi papanya tidak enak di pandang.

Bima menghampiri kedua putrinya. kemudian memberikan ciuman di pipi kedua gadis kecilnya.

"Malam ini papa tidur dengan kalian. Mami kalian lagi ngambek," ujar Bima pada keduanya. Bima duduk di samping Alea, sementara tangan yang lain juga mengusap kepala Alana.

"Beneran papa tidur di sini?" Alana berbinar menatap papanya. Sungguh bahagia jika ia bisa tidur bersama papanya. Pasalnya, sejak berusia 3 tahun mereka memang sudah biasa dipisahkan tidur dari kamar orang tua mereka.

"Iya. Papa tidur di sini. Kalau begitu papa mandi dulu."

Keduanya mengangguk. Sementara Bima segera bangkit dan membuka lemari pakaian di mana ada beberapa helai baju miliknya. Jika ia diusir dari kamar oleh Nia, Bima memang biasa tidur di kamar kedua anak kembarnya. Tidak heran jika Bima bisa menyimpan beberapa helai pakaiannya di lemari kamar anaknya.

Malam harinya.

Nia melangkah keluar dari kamar dengan pakaian tertutup tak lupa juga dengan jilbab yang menutupi rambut panjang indahnya.

"Ukhti dari mana ini? Cantik sekali everybody," goda Arga, saat melihat maminya.

Mendapat pujian dari Arga, membuat Nia mendengus. Tidak lupa ekspresi sombong yang ia tampilkan pada Arga yang diam-diam memutar bola matanya.

"Mami memang cantik. Tidak diragukan lagi."

"Mami mau ke mana?" Kali ini bukan Arga yang bertanya melainkan Bima yang baru saja keluar dari kamar Alea dan Alana. 

Pria itu terlihat tampan dengan celana kain sebatas lutut dan kaos hitam yang menutup otot tubuhnya.

Bukannya menjawab pertanyaan Bima, Nia justru menepuk telinga kanannya sambil mengernyit.
"Aduh, suara nyamuk bikin telinga sakit saja," ujar Nia pada dirinya sendiri. Tentu saja Bima mendengarnya dan diam-diam meringis dalam hati. Ternyata istrinya masih marah, pikir Bima.

Nia menegakkan tubuhnya dan menatap Arga. "Arga, Mami mau berangkat dulu. Mau ikut ibu-ibu pengajian yang kumpul di rumah Bu Romlah. Mami mungkin pulang malam. Tolong jaga adik-adiknya. Awas aja kalau Mami pulang Alana dan Alea nangis, kamu bakalan tidur di luar selama seminggu penuh."

Nia memang berbicara pada Arga. Bahkan, tatapan wanita itu menatap dengan mata tajamnya.  Namun, bagi orang-orang yang mengerti, saat ini Nia sedang berbicara pada Bima diselipkan dengan ancaman. Suaranya bahkan naik beberapa oktaf agar pria yang tidak peka itu bisa paham maksudnya.

Arga berusaha untuk tersenyum. "I-iya, Mi," kata Arga. Diam-diam pria itu melirik papanya yang berada di samping sang mami kemudian menghela napas saat melihat ekspresi wajah papanya yang datar saja.

"Kalau begitu mami pergi dulu." Setelah itu,  Nia bergegas pergi tanpa menoleh ke belakang, meninggalkan Arga dan Bima dalam posisi semula.

"Pa, MamSri kalau lagi marah memang seram. Jaga Alana dan Alea, ya, Pa. Aku mau ke atas dulu. Soalnya ada PR yang harus dikerjakan."

Arga segera melarikan diri, membuat Bima mendengus dengan alasan Arga. Memangnya Bima tidak tahu jika putranya tidak pernah mengerjakan tugas di rumah? Bahkan, Bima berani bertarung jika saat masuk ke dalam kamar, yang dituju Arga bukan buku tugasnya melainkan game yang baru dibeli kemarin lusa.


BIMA & NIA  [3 YEARS LATER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang