Nia tengah memangku Alana yang saat ini sedang fokus pada layar televisi. Sementara di sebelahnya ada sang suami yang duduk dengan santai memangku sosok Alea.
Saat ini mereka sedang berada di ruang keluarga menonton televisi padahal jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Sejak tadi Alana tidak berhenti menangis menanyakan keberadaan Arga yang tidak pulang-pulang. Meski Nia sudah menjelaskan jika Arga menginap di tempat lain, Alana akan tetap menunggu kakaknya itu pulang dan baru setelah itu ia akan tidur.
"Lana, Abang itu enggak pulang. Dia lagi bermalam di tempat lain. Soalnya Abang banyak tugas makanya enggak bisa pulang sekarang," ujar Nia dengan suara lembutnya. "Kita tidur sekarang, ya? Sudah malam. Anak kecil enggak baik tidur malam-malam," katanya, langsung mendapat gelengan dari Alana.
"Mau tunggu abang."
Bima yang melihat sikap keras kepala Alana hanya bisa menggeleng pelan kepalanya. "Ayo, Alana dan Alea tidur bareng Papa dan Mami. Mau 'kan?"
Alana segera mengangkat kepalanya. "Boleh, Pa?" Matanya berbinar menatap sang papa yang langsung mengangguk kepalanya sebagai jawaban.
"Ayo."
Nia menatap suaminya yang diam-diam mengangguk ke arahnya. Tidak masalah kedua bocah itu tidur bersama mereka malam ini. Itu lebih baik daripada menunggu Alana yang keras kepala tidak mau tidur kalau tidak menunggu abangnya pulang. Sementara Alea hanya mengikuti saja apa kemauan adik kembarnya.
Bima dan Nia memposisikan Alana serta Alea di tengah-tengah mereka. Sementara mereka berada di pinggir mengapit kedua anak kembar mereka agar tidak jatuh jika diletakkan di pinggir tempat tidur.
Kali ini posisi Alea berada di samping Nia. Di tengah ada Alana, dan di sebelah Alana ada sang papa.
"Tidur, ya, Sayang," bujuk Bima dengan suara lembut. Tidak lupa pria itu juga mengusap kepala Alana dengan sayang agar putrinya itu segera tidur.
Di sisi lain Alea sendiri sudah mulai memejamkan matanya. Anak itu meminta agar Nia mengusap kepalanya juga yang tentu saja langsung direspon baik oleh Nia.
"Pa, abang pulang besok?" Alana menatap papanya dengan penuh penasaran. Alana tidak bisa jauh-jauh dari Arga. Pasalnya, Kakak sulungnya itu selalu bernyanyi untuk mereka sebelum mereka tidur.
"Iya. Besok Abang udah pulang." Bima mencium kening Alana. "Sekarang Alana tidur. Jangan lupa baca doa dulu sebelum tidur," perintah Bima. Alana sendiri menganggukkan kepalanya setuju. Gadis kecil itu kemudian mulai memejamkan matanya membuat Bima yang melihat tersenyum.
Bima mengangkat sedikit tubuhnya menatap ke seberang di mana Nia sedang menatap ke arahnya juga.
Bima tersenyum. "Maminya anak-anak, malam ini libur dulu. Besok baru Mas kelonin lagi," kata Bima menggoda Nia.
"Baiklah papanya anak-anak. Malam ini kita libur dulu," balas Nia tak mau kalah.
Keduanya tersenyum penuh arti kemudian sama-sama merebahkan tubuh dan memeluk putri mereka masing-masing.
Bima merasa sangat bersyukur diberi keberkahan seperti ini untuk memiliki keluarga yang bahagia dengan istri dan anak-anak sebagai pelengkap hidupnya.
Keesokan paginya.
Suara tangis Alana terdengar di ruang keluarga. Anak kecil itu menanyakan keberadaan Kakak tertua mereka yang keberadaannya belum dilihatnya pagi ini saat bangun dari tidur.
Sementara Alea hanya menatap dalam diam adiknya yang terus menangis menanyakan keberadaan Kakak sulung mereka.
"Alana, Sayang. Ini Abang telepon pakai video. Mau ngomong sama Abang 'kan?"
Alana yang sedang menangis spontan berhenti kemudian beralih menatap maminya. Terlihat sang Mami membawa ponsel di tangan sambil menunjukkan layar di mana ada abangnya.
Alana kemudian mengulurkan tangannya meminta ponsel pada Nia yang langsung diserahkan oleh wanita itu.
Pipi gembul itu memerah dengan aliran air mata yang jatuh membasahi pipinya, membuat Arga yang berada di seberang sana berdecak.
Arga tidak suka melihat kedua adiknya menangis. Lihat saja ekspresi wajah Alana membuat Arga tidak tega pada adiknya itu.
"Abang, kapan pulang? Alana mau Abang pulang." Kembali Alana menangis menatap Arga dari layar ponsel. Anak kecil itu kembali sesenggukan membuat Arga jadi tidak tega.
"Alana, berhenti menangis, ya? Abang bakalan pulang cepat. Alana berhenti menangis. Kalau Alana berhenti menangis, nanti sore Abang bawa jalan-jalan sama Alea."
Dengan imutnya, Alana berusaha untuk menghapus air mata yang berada di pipinya. Matanya berbinar menatap Arga. "Jalan-jalan?" tanyanya antusias.
Arga menganggukkan kepalanya.
"Iya. Jalan-jalan. Makanya Alana berhenti menangis. Kalau enggak, Abang enggak mau ajak Alana jalan-jalan."
"Lana berhenti nangis. Tapi, Abang pulang, ya? Ya? Ya?" bujuk Alana. Gadis kecil itu membujuk Arga layaknya orang dewasa membujuk anak kecil yang sedang merajuk. Hal itu tentu saja membuat Arga terkekeh di seberang sana.
"Iya. Abang mau mandi dulu habis itu abang langsung pulang ke rumah."
"Yes!"
Nia hanya menatap dalam diam interaksi antara Arga dan Alana. Anaknya ini benar-benar tidak bisa jauh dari Arga. Sementara dengan Kello mereka memang akrab namun tidak sedekat seperti Alana dan Arga.
Arga menatap layar wallpaper di ponselnya yang menampilkan anggota lengkap keluarganya. Pemuda itu mengusap dengan sayang layar berukuran besar itu sambil tersenyum. Ini adalah keluarganya. Meskipun ia sudah menemukan keluarga yang sedarah dengannya, Arga tidak akan bisa lepas dari keluarga yang sudah bersamanya sejak ia lahir ditambah dengan kehadiran ibu tiri serta kedua adiknya. Arga tahu ia tidak memiliki hubungan darah dengan Bima, namun Arga merasakan keakraban lebih dari ikatan batin. Meskipun ia dan Jillo mau pun Kello memiliki satu ibu dan lain ayah, Arga tetap menerimanya karena ini memang sudah takdir yang ditetapkan.
Tak lama kemudian pintu diketuk membuat Arga segera keluar dan membuka pintu.
Pemuda itu menemukan sosok Dirman berdiri dengan canggung di depan pintu kamarnya.
"Ehem, kamu sudah mandi?" Dirman tahu ini pertanyaan konyol karena melihat wajah Arga yang baru saja bangun tidur. Maklum saja ia sangat canggung dan gugup berdiri di hadapan anak kandungnya seorang diri tanpa anggota keluarga lain.
"Belum, Pak. Aku baru saja bangun tidur." Arga menjawab dengan sopan. "Kenapa, Pak?"
"Oh, bapak mau ajak sarapan bersama."
"Ya sudah tunggu sebentar. Aku mau mandi dan bersiap dulu."
"Kalau begitu bapak tunggu di ruang makan."
"Iya."
Arga masuk ke dalam kamar setelah menutup pintu. Pemuda itu mengambil ransel yang terletak di atas sofa dan mengeluarkan satu set pakaian yang memang selalu ia bawa untuk berjaga-jaga.
Arga mandi dengan santai tanpa memedulikan empat orang dewasa yang sedang duduk di ruang makan sambil menunggu kehadirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIMA & NIA [3 YEARS LATER]
General FictionKehidupan Nia setelah menikah dijalani dengan santai dan tenang. Meskipun terkadang ada kerikil dalam pernikahannya, Nia bisa menyingkirkannya dengan mudah. Ada banyak yang menuduhnya sebagai perebut suami orang, menjadi istri kedua, dan mau bahagi...