Tiga belas

12.7K 2.1K 108
                                    

Suara deru motor milik Arga yang terdengar sangat khas di telinga Nia membuat wanita itu segera keluar.

Tangannya sudah berkacak pinggang dan berniat untuk mengomeli Arga namun ia tahan ketika melihat seorang gadis yang duduk di belakang boncengan putra sulungnya itu.

Bola matanya terbelalak lebar menatap gadis yang sudah mulai turun dari motor putra sulungnya itu. "Ya ampun, Argano! Ini pasti ulah kamu yang bikin onty kamu nangis seperti ini 'kan? Pasti kamu ngebut bawa motornya. Makanya onty nangis."

Segera Nia menghampiri Arga kemudian mengomeli pemuda itu sambil mencubit lengannya.

"Aduh, Mi. Sakit! Bukan aku yang bikin onty nangis. Tapi cowoknya. Aduh, Mami, sakit!" Arga berteriak heboh ketika cubitan di lengannya semakin erat oleh sang mami.

Cubitan ala Capitan kepiting maminya memang tidak pernah di setting, rutuk Arga dalam hati.

"Bukan kamu?" Nia menatap putranya kemudian beralih menatap Dera yang sedang berusaha untuk menghapus air mata di pipinya. "Benar, Der, bukan Arga yang buat kamu menangis?" Nia memicingkan matanya menatap adik iparnya.

"Eh, enggak, Kak. Bukan Arga yang buat aku nangis. Arga cuma datang buat jemput aku aja," jelas Dera. Gadis itu tidak ingin kakak iparnya salah paham kepada keponakannya.

Mendengar itu Nia kemudian cengengesan menatap Arga yang kini wajahnya sudah cemberut.

"Aku selalu saja menjadi korban kesalahpahaman orang. Memangnya aku senakal itu apa?" Pemuda itu menggerutu sambil mengusap lengan yang menjadi korban kebrutalan maminya.

"Butuh kaca?" Nia menatap Arga sinis. Wanita itu kemudian beralih menatap Dera yang masih diam di tempat. "Kamu kenapa menangis? Mau cerita sama kakak?"

Ah, jika berhadapan dengan Dera dan Dirga membuat Nia merasa muda karena perbedaan usia mereka dan kedua adik iparnya ini wajib memanggilnya dengan sebutan kakak. Entah mengapa ia merasa jika usianya dengan kedua adik iparnya itu sama. Ah, Nia merasa muda intinya.

"Aku enggak apa-apa, Kak. Cuman tadi berantem sama teman aja." Dera mencoba menarik sudut bibirnya untuk membentuk senyuman.

"Bohong, Mi. Onty Dera berantem sama pacarnya. Masa iya pacarnya onty enggak percaya kalau aku ini keponakannya? Jadilah mereka ribut," sela Arga dengan suara lantang.

Kalau bukan karena onty, udah gue hajar itu manusia batu. Dibilangin enggak percaya, rutuk Arga dalam hati.

"Memangnya ada yang percaya kalau kamu ini keponakannya onty Dera yang usianya hanya selisih satu tahun dari kamu?"

Tidak akan ada yang percaya jika Arga adalah keponakan dari Dera dan Dirga karena memang usia mereka lebih muda satu tahun dari Arga. Bersama Jillo dan Kello saja orang enggan percaya, apalagi dengan Arga, pikir Nia.

"Ya sudah, Arga, kamu masuk. Dera, langsung pulang aja, ya, Dek. Takutnya mama nyariin kamu. Ingat mama kalau panik kayak gimana."

"Iya, Kak. Aku pulang dulu."

Dera kemudian pulang ke rumahnya yang memang terletak di samping rumah Bima dan Nia. Sementara Arga sendiri melangkah masuk bersama Nia yang mengekor dari belakang.

Di ruang keluarga terlihat kedua adiknya yang sedang asyik menonton televisi yang menayangkan sebuah acara kartun. Ide jail hinggap di kepala Arga kemudian diam-diam ia mengambil remote dan mematikan televisi tersebut hingga layar  menjadi hitam.

Keduanya terdiam sejenak. Kemudian mereka saling tatap lalu beralih lagi menatap layar televisi.

"Mati?" Suara Alana bertanya pada kakaknya yang langsung mendapat anggukan. "Kok bisa?"

"Bisa. Bang Arga yang matikan tivinya," jelas Alea kalem.

"Bang Arga? Tapi, bang Arga enggak ada."

"Ada. Di belakang."

Alana spontan memutar kepalanya ke belakang untuk memastikan apa yang dikatakan oleh kakaknya benar atau tidak.

"Dor!"

"Aaa!  Mami!"

Alana menangis kencang karena rasa terkejut ketika melihat kakaknya berada tepat di belakangnya dan mengejutkannya dengan suara kencang.

Arga tertawa melihat ekspresi terkejut yang ditampilkan oleh adiknya.

Nia yang baru masuk ke dapur dan mengambil segelas air minum untuk Arga spontan berteriak sambil menghampiri putra sulungnya kemudian mencubitnya kembali.

"Argano Sanjaya!"

"Ah, ampun, Mi. Sakit!"

Kericuhan terjadi dengan suara teriakan Arga dan tangisan kencang dari Alana. Sementara Alea diam-diam menutup kedua telinganya dengan telapak tangan mungilnya. Alea tidak mengerti mengapa banyak sekali orang yang suka berteriak? Apa mereka tidak takut kehabisan suara? Alea berpikir di dalam hatinya sambil menatap Mami dan kakaknya serta adiknya yang menangis.

Bima yang baru saja pulang dari kantor tersenyum melihat bagaimana ruang keluarga yang dihuni oleh suara berisik namun tidak membuat Bima merasa terganggu.

"Papa baru pulang juga?"

Bima spontan menoleh kepalanya ke belakang dan menatap Kello yang rupanya baru saja pulang dari bermain.

"Iya. Kamu baru pulang dari main juga?"

"Enggak, Pa. Aku baru pulang dari kerja kelompok sama teman." Kello kemudian beralih menatap di mana Kakak tertuanya sedang mengusap lengannya yang baru saja menjadi korban mami mereka.

"Kenapa, Sayang?" Bima menghampiri Nia dan berdiri di samping istrinya. Kemudian ia beralih menatap Arga  yang kini ekspresi wajahnya sudah merengut total. 

"Anak kamu ini, Mas. Pulang-pulang buat nangis adiknya. Padahal udah bagus mereka anteng di depan TV," adu Nia menunjuk Arga dengan wajah sengit.  Wanita itu tidak lupa memberikan segelas air putih pada Arga yang langsung disambut pemuda itu dan di tegak hingga tandas.

"Gano, jangan suka buat adiknya nangis. Kamu tahu sendiri kalau Alana sudah nangis,  bakalan susah berhentinya," kata Bima pada Arga.

"Iya, Pa." Arga hanya mengangguk saja tanpa mau memasukkan apa yang dikatakan oleh papanya ke telinga.

Lagi pula, menjaili Alana adalah  satu keharusan yang tidak bisa dihilangkan. Sementara untuk Alea-- Arga melirik adiknya itu dan menghela napas.  Alea sungguh tidak asyik untuk dikerjai. Gadis kecil itu bahkan tidak merespon ketika Arga dengan sengaja mengejutkannya atau menjailinya dengan menyimpan semua mainan miliknya. Gadis itu hanya menatap dalam diam kemudian menggeleng pelan kepalanya seperti orang dewasa yang menyaksikan kejailan anak kecil.

Arga heran sendiri dengan sifat adiknya yang satu ini. Alea bersikap bukan seperti anak seusianya. Bahkan, di usianya yang baru ke 3 tahun, Alea sudah bisa membaca dengan lancar. Arga pernah memergokinya beberapa kali. Namun, ketika ia mengadu pada mami mereka, justru tertawa dan menganggap jika Arga mengada-ngada.

Nia kemudian kembali ke dapur dan mengambil 2 gelas air putih lagi untuk Bima dan juga Kello. Ini sudah menjadi kebiasaan Nia sejak dua tahun terakhir memberikan air minum untuk orang-orang yang baru saja pulang ke rumah setelah beraktivitas di luar.

Sementara Bima berusaha untuk menenangkan Alana yang masih menangis.

Arga menghampiri Alea. "Dek, ada duit enggak?" Arga duduk di samping Alea ambil menatap adiknya.

"Punya," sahut Alea singkat.

"Mau traktir  Abang enggak? Nanti sore kita jalan-jalan beli es krim."

"Abang yang traktir aku."

"Kan, Alea yang punya duit bukan Abang."

Alea melirik Arga singkat kemudian fokus pada layar televisi yang sudah mulai menyala sejak tadi.

"Abang yang lebih tua dari aku."

Uh-oh skakmat sekali ucapanmu, Alea.










BIMA & NIA  [3 YEARS LATER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang