Arga menyantap sarapan paginya dengan sedikit terburu-buru. Ia sudah berniat untuk langsung pulang ke rumah karena sudah merindukan kedua adik kembarnya itu.
"Arga, pelan-pelan makannya. Jangan terburu-buru, nanti kamu tersedak," tegur Ratna pada anak tirinya.
Wanita itu memerhatikan cara Arga makan yang memang terlihat sangat terburu-buru seperti sedang dikejar sesuatu.
"Aku harus cepat-cepat pulang ke rumah, Bu. Adik bungsuku menangis dari tadi malam karena aku enggak ada di rumah," sahut Arga sambil tersenyum tipis.
Setidaknya, ibu tirinya ini memperlakukannya dengan sedikit baik. Jadi, Arga harus bersikap sopan.
"Adik kamu? Jangan terlalu dimanjakan dia. Masa iya kamu enggak boleh keluar dari rumah, dia langsung nangis. Bisa-bisa nanti kamu akan kesulitan untuk mencari calon istri kalau ketemu adik yang begitu posesif sama kamu," ujar Ningrum pada Arga. Sejak tadi ia memang memperhatikan cara makan Arga yang begitu terburu-buru dan membuat Ningrum tidak nyaman melihatnya.
Arga mencoba tersenyum dan menatap neneknya. "Dia masih kecil dan belum mengerti apa-apa."
"Setidaknya biasakan itu dari kecil. Kalau sudah besar, akan sulit untuk memberitahunya mana yang baik dan benar."
"Ma," tegur Husein menatap istrinya. Husein sudah melihat ekspresi tak nyaman yang diperlihatkan oleh Arga, cucunya. Jadi, tidak mungkin ia tidak menegur istrinya yang sibuk mendikte Arga.
"Aku benar, Pa. Arga harus bisa membiasakan adiknya itu biar enggak manja. Jangan sampai, Arga mau tinggal di sini aja harus direpotkan dengan tangisan adiknya itu. Lagi pula, cuma adik tiri 'kan?" Ningrum mengutarakan pendapatnya dengan keras tidak menyadari ekspresi wajah Arga yang mulai berubah.
Dirman menatap mamanya dan mencoba memberi kode agar wanita yang sudah melahirkannya itu diam. Namun, bukannya diam, Ningrum terus berceloteh hingga membuat Arga berdiri.
"Saya sudah selesai sarapan. Kalau begitu saya permisi."
Arga tidak lagi menggunakan kata 'aku' untuk memanggil dirinya sendiri. Pemuda itu segera mengambil ransel yang ia letakkan di belakang kursi kemudian mencantolnya di punggung.
Aksi tiba-tiba Arga tentu saja membuat semua anggota keluarga berdiri. Dirman bahkan sempat melirik piring nasi Arga yang bahkan tidak habis setengahnya.
"Nak, habiskan dulu sarapan kamu baru boleh pergi." Ratna menatap putra tirinya yang langsung menggeleng kepala sebagai jawaban.
"Saya permisi."
Pemuda itu tersenyum dan melangkah ke arah pintu utama. Sungguh, Arga tidak pernah nyaman jika ada orang yang mendikte dirinya. Apalagi ada orang dengan sengaja berusaha untuk membuat adik-adiknya jelek di matanya. Mau Arga memanjakan adik-adiknya atau tidak, tidak ada urusannya dengan orang lain. Arga belajar dari kedua orang tuanya untuk tahu bagaimana waktu untuk memanjakan adik-adiknya dan kapan ia harus bersikap tegas.
"Bapak antar kamu pulang ke rumah. Jangan menolak, Nak." Dirman menatap tegas pada sosok putranya.
Arga mengangguk kepalanya setuju dengan ucapan bapaknya. Pemuda itu segera bergegas keluar bersama Dirman yang ekspresi wajahnya sudah tidak sedap dipandang.
Setelah kepergian bapak dan anak itu, Husein menatap istrinya dengan tajam.
"Kamu memang enggak pernah berubah, Ningrum. Selalu seenaknya sendiri ketika berucap. Enggak belajar dari pengalaman. Semakin tua, bukannya semakin membaik, kamu justru semakin jahat." Setelah melontarkan kata-kata itu, Husein berbalik pergi meninggalkan Ningrum di tempat.
Sementara Ratna dengan sedih mulai merapikan meja makan yang makanan di dalam piring Arga bahkan tidak disentuh setengahnya. Ratna sendiri melihat anak itu dengan lahap menyantap sarapannya, sebelum akhirnya Ningrum mulai mengeluarkan ocehannya.
Jika Ratna ada di posisi Arga, dia juga pasti tidak akan nyaman berada satu ruangan dengan orang yang terus berusaha untuk mendikte dirinya.
____
Mobil yang dikendarai Dirman akhirnya tiba di sebuah rumah berukuran besar dengan halaman luas yang menjadi pemandangan pertama saat Dirman menurunkan kakinya keluar dari mobil.
Mobil sudah memasuki pelataran halaman rumah Bima. Arga dan Dirman berdiri di depan mobil dan pemuda itu baru saja akan meminta bapaknya untuk masuk ke rumah sebelum mendengar suara teriakan dari dalam rumah.
"Abang!"
Sosok itu berlari dari dalam rumah ke halaman teras depan dan berteriak dengan suara lantangnya. Tubuhnya yang berisi dengan pipi gembul mampu membuat orang melihatnya gemas. Rambutnya yang sebahu dengan poni menutup dahi membuat sosok kecil itu tampak imut dan menggemaskan. Belum lagi mata bulatnya bersinar terang ketika menatap di mana posisi Arga berada.
Baju kaos berwarna pink dengan celana pendek diatas lutut menjadi kostumnya. Sementara kakinya yang tanpa alas dengan betis yang gemuk membuat setiap orang yang menatapnya ingin meremasnya dalam pelukan.
Gemas adalah kata yang tepat menggambarkan perasaan Dirman ketika melihat sosok kecil kini berlari ke arah di mana Arga berada.
"Alana-nya Abang." Arga dengan gemas mengangkat tubuh Alana kemudian menggendongnya. Tidak lupa, pemuda itu juga mencium pipi gembul Alana hingga membuat wajah gadis kecil itu merah.
Mata gadis kecil itu sedikit bengkak karena menangis membuat Arga merasa sedih. Adiknya ini memang tidak pernah berpisah darinya karena setiap malam Arga akan menyanyikan lagu untuk kedua adik-adiknya sebelum mereka tidur.
"Abang, kenapa enggak pulang? Aku enggak mau Abang pergi lagi," ujar Alana sambil merengek.
Arga tersenyum mendengar rengekan adiknya. Pemuda itu kemudian berujar, "maaf, ya, Abang tadi malam tidur di rumah bapaknya Abang."
Tak lama kemudian sosok Alea keluar disusul oleh Bima yang sudah rapi dengan setelan kantornya.
Dirman tertegun menatap sosok kecil yang melangkah ke arah mereka sangat mirip dengan gadis kecil yang sedang berada dalam dekapan Arga. Betapa beruntungnya mantan suami Hera ini bisa memiliki istri yang cantik juga dikaruniai tiga anak laki-laki dan 2 anak perempuan kembar.
Andai saja masa mudanya tidak kacau, mungkin ia bisa memiliki keluarga bahagia seperti keluarga yang dimiliki Bima.
Dirman sendiri turut sedih atas meninggalnya Hera yang baru ia ketahui baru-baru. Mereka tinggal di 1 kota yang sama namun tidak pernah mendapat informasi satu sama lain.
"Alea." Arga menurunkan Alana kemudian bergantian memeluk Alea yang langsung mencium pipi kanannya.
"Lana nangis terus," lapornya pada sang kakak.
"Iya?" Arga menggoda Alea. "Alea ikut nangis enggak?"
Arga tersenyum menatap adiknya yang sudah tahu menampilkan raut wajah serius di usianya yang masih sangat kecil.
"Enggak. Alea bukan anak kecil lagi."
Semburan tawar hangat terdengar dari mulut Arga ketika mendengar ucapan adiknya. Usia mereka baru 3 tahun dan masih disebut sebagai batita. Namun, batita satu ini menolak kecil dan selalu bersikap layaknya orang dewasa.
Sementara Arga menghibur kedua adiknya, Bima menatap Dirman yang berdiri dengan canggung.
"Masuk dulu, Pak Dirman. Mau ngopi sekalian?" tawar Bima pada Dirman. Namun, pria itu tersenyum dan menggeleng pelan kepalanya.
"Terima kasih, Pak Bima atas tawarannya. Tapi, saya harus pergi ke kantor. Ada pertemuan penting pagi ini," tolak Pak Dirman halus. "Kalau begitu, saya permisi."
Setelah berbasa-basi singkat dengan Arga dan Bima, Dirman kemudian berbalik pergi masuk ke dalam mobilnya.
Sedangkan untuk Bima dan anak-anaknya memilih masuk ke dalam rumah guna menyelesaikan sarapan yang tersedia di atas meja. Jika tidak, suara raungan serigala dalam rumah akan terdengar hingga gerbang.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIMA & NIA [3 YEARS LATER]
General FictionKehidupan Nia setelah menikah dijalani dengan santai dan tenang. Meskipun terkadang ada kerikil dalam pernikahannya, Nia bisa menyingkirkannya dengan mudah. Ada banyak yang menuduhnya sebagai perebut suami orang, menjadi istri kedua, dan mau bahagi...