Alea sedang duduk di sofa menonton tayangan kartun di laptop milik sang papa.
Gadis kecil itu kemudian diam-diam mulai mengoperasikan layar laptop hingga menampilkan sebuah tayangan sci-fi yang ia cari di pencarian.
Bima yang fokus pada pekerjaannya tidak mendengar suara dari laptop tersebut karena memang telinga putri kecilnya ia pasang headphone agar tidak terganggu dengan suara-suara lain.
Suara ketukan pintu terdengar membuat Bima segera memerintahkan untuk masuk.
Tak lama Eren masuk dengan sebuah map di tangannya. Sebelum mencapai meja kerja Bima, ia sempat menatap gadis kecil yang duduk di sofa tengah menatap serius pada layar laptop.
"Pak, ada berkas yang harus bapak tandatangani." Eren menyerahkan map tersebut pada Bima.
"Oh, oke. Terima kasih." Bima mengambilnya dan membacanya sebentar, lalu meletakkannya ke sisi lain untuk ia periksa dengan cermat.
Sementara Eren sendiri penasaran dengan apa yang ditonton oleh anak atasannya, segera mendekat dan sedikit terkejut dengan apa yang ditatap oleh gadis 3 tahun tersebut.
"Pak, anak bapak kok dikasih tontonan seperti ini? Apa enggak meluber otaknya? Saya yang orang dewasa saja, pusing melihatnya." Eren menegur Bima sambil menggeleng kepalanya.
Apa yang diucapkan oleh Eren tentu saja membuat Bima menatapnya bingung. Tak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh sekretarisnya.
"Kamu bicara apa?"
"Bapak lihat sendiri."
Eren bergerak menjauh dari sofa dan menggantikan posisinya dengan Bima agar pria itu bisa melihat apa yang ditonton oleh putrinya.
Saat melihat apa yang ditonton oleh putrinya, kelopak mata Bima melebar.
Segera pria itu melepaskan headphone dari telinga sang putri kemudian berjongkok di depannya.
"Sayang, kok Alea nonton acara seperti itu? Itu enggak baik untuk kamu tonton. Papa tadi 'kan kasih kamu tontonan kartun."
Alea mengerjap matanya polos. Gadis kecil itu kemudian berkata, "Alea suka lihat orang buat robot."
Bima menelan ludahnya kemudian melirik ke arah Eren dan memberi kode pada sekretarisnya untuk keluar.
Baru setelah Eren keluar, Bima kemudian duduk di sofa setelah menyingkirkan laptop lebih dulu.
"Alea, entah mengapa kalau Papa boleh jujur, kamu ini seperti bukan anak-anak umur 3 tahun. Kamu mirip orang dewasa, baik secara perilaku ataupun kecerdasan kamu." Bima menatap Alea dengan tatapan seriusnya. "Papa suka kamu menjadi anak yang pintar. Papa malahan bersyukur dan bangga. Tapi, kalau Papa boleh minta, kamu harus hidup normal seperti anak-anak lainnya. Papa enggak mau, di usia kamu yang masih kecil ini, kamu udah memikirkan dan melihat hal-hal yang seharusnya enggak kamu lihat."
Kecerdasan Alea sudah berada di tingkat yang sedikit mengkhawatirkan bagi Bima. Mungkin yang lain tidak sadar, namun ia dan istrinya selalu memperhatikan anak-anak mereka dengan detail. Termasuk kepribadian mereka. Hal yang ditunjukkan anak-anaknya yang lain masih sangat dalam batas normal. Namun, berbeda dengan Alea.
Belum ada yang mengajari anak ini cara membaca, namun ia sudah tahu cara membaca dengan lancar. Bahkan, terkadang diam-diam istrinya bercerita pernah melihat Alea mengerjakan tugas Arga dengan benar. Awalnya Bima tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh istrinya. Namun, dia juga sempat beberapa kali memergoki putrinya mengerjakan tugas Kello dan di salin ke buku yang lain.
Bima dan Nia bukan tidak senang anak mereka terlahir cerdas. Namun, mereka tidak mau anak-anak mereka tertekan di usia yang masih sangat dini. Mereka ingin anak-anak mereka hidup dengan normal selayaknya anak-anak yang lain.
"Papa, kalau Alea cerita, Papa percaya?" Alea menatap serius pada papanya.
Bima membalas tatapannya tak kalah serius. "Alea mau cerita apa?"
Alea terdiam sejenak terlihat memikirkan sesuatu yang akan ia ucapkan. Namun, sepertinya memberitahu sang papa tentang apa yang terjadi padanya, tidak masalah.
"Sebenarnya, Alea ingat kalau Alea pernah lahir dan besar di negara lain. Alea juga ingat, terakhir kali Alea ada di rumah sakit karena sakit jantung pada umur 22 tahun."
Bima diam mencerna apa yang diucapkan oleh putrinya. Entah mengapa, Bima rasanya ingin tertawa menganggap jika apa yang diucapkan oleh putrinya agak tidak masuk akal.
"Di dunia Alea sebelumnya, Alea sudah bisa membuat robot. Alea juga bisa hafal apa pun yang ada di dalam buku. Alea juga bisa ingat nama-nama bahan obat yang dibuat dalam farmasi."
"Alea pernah lihat istilah ini di internet. Namanya hyperthymesia itu yang Alea alami saat ini."
Bima tercengang mendengar apa yang diucapkan oleh putrinya. Ini tidak masuk dalam nalarnya.
"Jadi, maksudnya, Alea pernah meninggal pada umur 22 tahun. Terus, lahir lagi di perut Mami Nia. Tapi, Alea masih ingat tentang hal-hal di kehidupan sebelumnya?" Bima bertanya beruntun menatap putrinya dengan tidak percaya.
Alea menganggukkan kepalanya dengan tatapan serius yang ia miliki.
Bima terkekeh singkat dan menepuk kepala putrinya beberapa kali. "Anak Papa bisa aja ngarang ceritanya. Kamu padahal baru tiga tahun, lho," ujar pria itu takjub. Ia berusaha untuk menyangkal apa pun yang diucapkan oleh putrinya. Lagi pula, siapa yang akan percaya jika ada orang lain yang mendengarkan ceritanya.
Tahu jika papanya tidak percaya, Alea segera turun dari sofa dan mengambil laptop yang di letakkan papanya di atas meja. Gadis kecil berusia 3 tahun itu dengan santai mulai mengoperasi laptopnya untuk membuktikan jika saat ini ia sedang tidak mengarang cerita.
Melihat apa yang dilakukan oleh putrinya, Bima menatap serius sebelum akhirnya ia terkejut saat tahu yang dilakukan oleh putrinya adalah meretas jaringan perusahaannya dan mengambil alih jaringan tersebut dari tim IT miliknya.
"No-no, Alea." Segera Bima mengambil alih benda segi empat itu kemudian mulai mengoperasinya dan mengembalikannya ke bentuk semula setelah bekerja lebih dari 15 menit.
Perusahaan Bima memang bukan bergerak di bidang teknologi canggih. Namun, data rahasia milik perusahaan tidak boleh bocor. Apalagi ini dimainkan oleh anak umur 3 tahun.
"Alea, duduk. Papa telepon mami dulu."
Pria itu segera bangkit berdiri kemudian mengambil telepon di atas meja kerjanya dan membawanya ke sebuah ruangan yang terdapat di sebelah ruang kerjanya.
"Mami ada di mana sekarang?" Bima langsung bertanya tanpa basa-basi. Jantung pria itu berdebar kencang, dan ia tanpa sadar menggigit bibirnya membayangkan apa yang dilakukan oleh putrinya tadi.
"Aku ada di rumah sakit, Mas."
"Papa, Sayang. Bukan Mas," koreksi Bima. "Sekarang Papa minta kamu datang ke kantor. Ada yang mau papa bahas sama mami. Sekarang. Ingat, Mami datangnya sendiri jangan bawa yang lain."
Tanpa menunggu respons dari istrinya, Bima langsung menutup telepon dan bergegas keluar menghampiri di mana putrinya duduk.
Sedangkan Nia sendiri menatap aneh ponselnya. "Kok Mas Bima aneh?" Wanita itu bertanya pada dirinya sendiri.
"Kenapa, Nia? Kamu sepertinya kebingungan?" Rana yang melihat kebingungan menantunya segera mendekat dan menatapnya.
"Aku disuruh Mas Bima datang ke kantornya sekarang, Ma. Katanya ada sesuatu yang mau dibahas." Nia berdiri dan mengambil tasnya. "Ma, aku titip Alana sama mama dulu ya. Nanti aku jemput Alana pulang.
"Oke, Sayang. Hati-hati di jalan."
"Iya, Ma." Setelah pamit pada putri kecilnya, mama mertuanya, dan juga Dirga, Nia segera melangkah pergi meninggalkan rumah sakit menuju kantor suaminya.
Wanita itu cukup penasaran hal mendesak apa yang memintanya untuk datang ke kantor sesegera mungkin. Jika itu tidak terlalu penting, dia berjanji akan membuat Bima tidur di luar malam ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIMA & NIA [3 YEARS LATER]
General FictionKehidupan Nia setelah menikah dijalani dengan santai dan tenang. Meskipun terkadang ada kerikil dalam pernikahannya, Nia bisa menyingkirkannya dengan mudah. Ada banyak yang menuduhnya sebagai perebut suami orang, menjadi istri kedua, dan mau bahagi...