Usai melakukan pertemuan dengan wali murid di sekolah, Nia akhirnya dijemput oleh sang suami untuk makan siang bersama. Tentunya, masih bersama Yuni dan kedua batita kembar yang masih ikut dengan mereka.
Mereka tentu saja memilih restoran yang berada tak jauh dari kantor Bima.
Setelah memesan menu makanan yang mereka inginkan, barulah Nia mulai bercerita tentang apa yang ia lakukan pagi ini.
"Aku sengaja bohong ke Alex sebelumnya kalau Bella sudah mengurus surat perceraian mereka. Memang 'sih Bella berniat untuk mengurus perceraiannya dengan Alex, tapi untungnya aku berhasil bujuk dia biar mau pikirkan matang-matang."
"Terus apa yang mami lakukan pada perempuan yang mengganggu rumah tangga Alex dan Bella?"
Nia dengan semangat menceritakan bagaimana ia mempermalukan Astrid di depan banyak anggota keluarga wanita itu. Ada kepuasan tersendiri yang terlihat dari raut wajahnya hingga membuat Yuni sebagai pendengar menggeleng kepalanya.
Mendengar itu, pria yang memiliki lima orang anak itu menghela napas dengan kelakuan sang istri.
"Enggak boleh begitu lagi. Apalagi sampai kamu mempermalukan perempuan itu di depan orang banyak. Kasihan," ucap Bima, sambil mengusap sayang kepala Alana.
"Oh, jadi Mas bela pelakor itu? Mas enggak suka kalau aku kasih pelajaran sama pelakor itu? Memang ya, laki-laki pasti banyak milih bela pelakor daripada bela istri sendiri," sindirnya tajam.
"Ya Tuhan, bukan begitu maksud Mas, Sayang. Maksud Mas itu kamu jangan terlalu vulgar seperti ini. Itu enggak baik. Takutnya perempuan itu dendam dan membalas apa yang kamu lakukan ke dia. Mas enggak mau istri Mas ini kenapa-napa."
Nia memicingkan matanya. "Mas yakin hanya karena itu? Bukan karena Mas suka dengan perempuan itu?"
"Melihatnya saja mas enggak pernah. Enggak mungkin mas suka." Pria itu menggeleng kepalanya melihat perilaku sang istri.
"Bagusnya kalau Mas enggak membela pelakor itu. Kalau sampai Mas membela pelakor-pelakor di luar sana, awas aja," ancamnya. "Argano Sanjaya!" Nia berteriak saat melihat sosok yang ia kenali melewati pintu restoran.
Orang yang dipanggil mundur ketika mendengar suara yang amat ia kenali.
"Mami!"
Tidak tahu malu adalah definisi dari kedua orang yang berteriak di dalam restoran sehingga mereka menjadi pusat perhatian orang-orang yang sedang duduk santai dan menikmati hidangan mereka.
Arga dengan semangat masuk ke dalam restoran kemudian menghampiri meja di mana maminya, papa, kedua adiknya serta Yuni berada.
"Mami dan Papa makan di restoran ini?"
"Memangnya kamu lihat kalau Mami dan Papa lagi makan di restoran luar negeri?" Wanita itu memutar bola matanya mendengar pertanyaan putra sulungnya yang menurutnya tidak masuk akal.
Arga tertawa singkat mendengar ucapan maminya. Pemuda itu kemudian pamit pada teman-temannya di luar karena ia tidak bisa ikut nongkrong bareng mereka di cafe. Baru setelah itu ia masuk ke dalam dan duduk bersama anggota keluarganya.
"Kamu tadi dari mana mau ke mana?" Bima menatap putranya yang ia yakini tadi jika sang anak hendak pergi ke suatu tempat sebelum melihat keberadaan mereka di restoran ini.
"Tadi dari kampus terus diajak teman buat nongkrong di cafe. Tapi enggak jadi, karena aku ini tipe anak yang memprioritaskan keluarga." Arga menjentik jarinya sambil tersenyum lebar membuat Nia yang berada di dekat sang anak segera memberi cubitan.
"Mami tahu ini akal-akalan kamu aja. Bilang aja kalau kamu sengaja gabung sama mami dan papa biar bisa di beliin sesuatu mumpung kita masih di sini." Ucapan maminya yang tepat sasaran membuat Arga sedikit gelagapan. Hal itu tentu saja memicu gelengan dari kepala keluarga.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIMA & NIA [3 YEARS LATER]
General FictionKehidupan Nia setelah menikah dijalani dengan santai dan tenang. Meskipun terkadang ada kerikil dalam pernikahannya, Nia bisa menyingkirkannya dengan mudah. Ada banyak yang menuduhnya sebagai perebut suami orang, menjadi istri kedua, dan mau bahagi...