"Ingat, Arga, kalau mau makan siang, dibiasakan makan siang itu di kantin. Enggak perlu kamu sok-sokan makan di restoran apalagi sama perempuan yang bukan muhrim."
"Apa gunanya punya asisten kalau enggak bisa suruh beli makan siang."
"Ingat juga, Argano Sanjaya, kalau kamu ada pertemuan meeting atau rapat dengan teman-teman kampus, enggak perlu lah sok-sokan ketemu di luar kampus. Bukannya di kampus kalian sudah disediakan ruangan meeting?"
"Kalau mau ada pertemuan juga, harusnya ajak beberapa orang. Biar nanti enggak jadi fitnah. Apalagi cuma berduaan. Setan banyak."
"Tugas setan 'kan menggoda iman manusia. Apalagi setan lebih suka menggoda manusia yang udah punya pasangan."
Arga hanya bisa diam mendengar omelan dari mami mereka. Sebenarnya, mami Nia sedang mengomeli papanya lewat Arga. Sayangnya, semuanya harus dilimpahkan Mami Nia padanya.
Padahal tinggal bilang saja pada Papa Bima, tidak perlu menyindir seperti itu. Lihat papanya tetap tenang menikmati sarapan yang tersedia di atas meja. Pura-pura tidak mengerti jika yang sedang diomeli adalah dirinya sendiri, pikir Arga mendengus kesal.
"Mi, Papa sudah transfer uang 100 juta ke rekening mami," sela Bima, saat melihat bibir Nia akan terbuka. Jika tidak dihentikan sekarang, bukan hanya telinga Bima yang akan terasa panas, tapi juga anak-anaknya.
Di meja makan sudah ada Arga, Kello, Alea, dan Alana. Tentu saja Bima tidak ingin istrinya melanjutkan omelan karena tak mau anak-anaknya merasakan sakit telinga.
"Argano, mami ini bukan perempuan mata duitan. Mentang-mentang Mami lagi marah kamu sogok dengan uang. Hm, mami enggak akan luluh dengan mudah." Nia kemudian melempar tatapannya ke arah lain. Enggan untuk bertatapan dengan Bima yang duduk di dekatnya.
Sementara jantung wanita itu melompat mendapat transfer dari suaminya. 100 juta sebagai sogokan siapa yang akan menolak? Nia tentu saja meski gengsi tidak akan pernah menolak.
Sementara Bima kembali menarik napas dan menghembuskannya kembali. Bima benar-benar menyesal menerima ajakan Bu Fatma untuk mengadakan pertemuan di luar kantor. Jika tahu begini, Bima lebih memilih untuk melakukan pertemuan di kantor saja.
Sarapan pagi ini berjalan dengan lancar meski diselingi dengan omelan Nia.
Nia mengantar Bima dan Kello berangkat sampai ke pintu utama. Sementara untuk Arga sendiri akan berangkat kuliah jam 10 nanti.
"Mas berangkat dulu, Sayang." Bima kemudian mencium kening Nia yang untungnya tidak ditolak oleh wanita itu. Ini bergantian Kello yang mencium punggung tangan maminya dan pamit untuk berangkat sekolah.
Setelah itu, Nia masuk ke dalam dan membantu kedua putrinya untuk mandi. Mereka memang sarapan lebih dulu baru mandi kemudian. Keduanya belum bisa masuk sekolah karena usia mereka baru 3 tahun. Namun, meski begitu kedua putri kembarnya memiliki kecerdasan yang luar biasa. Terbukti meski mereka baru 3 tahun, cara bicara mereka sudah lancar. Bahkan, mereka sudah mengenali angka dan huruf yang akan terus Nia asah sampai keduanya menjadi anak yang cerdas. Tentunya tidak akan memaksa anak-anaknya jika memang mereka tidak mampu.
"Mi, bagi duit dong. Aku mau beli kuota," pinta Arga pada Nia.
Saat ini wanita itu sedang menghitung uang di ruang keluarga dengan beberapa buku di hadapannya. Sementara Alea dan Alana yang sudah selesai mandi kini keduanya sedang duduk tak jauh dari posisi Nia berada memegang mainan di tangan mereka masing-masing.
"Kuota? Bukannya 2 minggu yang lalu kamu baru saja beli kuota?" Nia melempar tatapannya pada Arga. Meski Nia menjalani kehidupan yang sibuk, wanita itu tetap ingat kapan terakhir kali Arga membeli paket kuota.
"Itu 'kan 2 minggu yang lalu, Mi. Paketnya sudah jelas habis, lah," sahut Arga santai.
Nia memicingkan matanya menatap Arga curiga. "Kenapa kuota kamu cepet banget habisnya? Enggak kamu pakai nonton yang aneh-aneh 'kan?"
Arga terperanjat menatap Nia dengan tatapan kaget. "Astagfirullah, mami suuzon banget sama aku. Jelas enggak lah. Kouta aku pakai buat ngerjain banyak tugas yang membutuhkan data internet."
"Di rumah ini 'kan di pasang wi-fi."
"Tapi 'kan aku jarang di rumah, Mi. Aku banyak mengerjakan tugas di kampus, di cafe, atau di rumah teman."
"Memangnya di tempat yang kamu sebutkan itu enggak ada fasilitas wi-fi?"
"Adalah, Mi. Cuma aku terlalu gengsi buat nebeng wi-fi orang. Kalau kita banyak duit, buat apa cari yang gratisan."
Nia spontan mendelik menatap putranya. "Kalau ada gratisan ngapain keluar duit. Itu kata yang cocok untuk kehidupan, Argano Sanjaya."
Sementara Arga nyengir. Arga terlalu malas untuk menyambungkan wi-fi di tempat umum atau di kampus. Lebih baik menggunakan miliknya sendiri.
Nia menarik napas pelan. Wanita itu menyerahkan 300 ribu pada Arga yang disambut Arga dengan antusias.
"Kamu antarkan paket ke beberapa alamat yang sudah Mami tulis. Ingat, hati-hati di jalan dan jangan ngebut."
"Iya, Mi."
Nia memang mengajarkan pada anak-anaknya jika ingin mendapatkan sesuatu mereka harus berjuang. Salah satunya tentu saja membuat mereka mengerjakan sesuatu untuk mendapatkan hasil. Contohnya saja Arga. Nia tidak akan memberikan uang pada anak itu jika Arga tidak melakukan sesuatu seperti mengantarkan barang pesanan orang atau bahkan ia kadang meminta pada Arga untuk membeli sesuatu di supermarket.
Meskipun terdengar kejam, tapi Nia ingin anak-anaknya mendapatkan sesuatu dengan sedikit usaha dan perjuangan. Nia tidak ingin anak-anaknya hanya tahu cara meminta tapi tidak tahu cara berusaha. Harta bisa hilang kapan saja jika Tuhan sudah berkehendak. Tapi kegigihan dan kemauan tidak akan hilang selama tubuh masih ingin berusaha. Nia tidak pernah mengajarkan anak-anaknya untuk manja. Bahkan, untuk Kello sendirian Nia memberikan modal usaha agar pemuda itu memiliki penghasilan sendiri.
Sebenarnya anak-anaknya memiliki penghasilan sendiri dari usaha yang sudah diberikan Bima pada mereka. Tapi, itu akan digunakan jika memang mereka sudah pantas mendapatkannya. Untuk sekarang, biarkan mereka berusaha dan berjuang dulu. Agar mereka tahu jika mencari uang tidak mudah.
Kello sendiri memiliki usaha jual beli pulsa dan alat tulis sekolah yang ia jual beli baik secara online ataupun offline di sekolah. Sementara Arga sendiri menjadi tukang antar barang Nia karena memang itu keinginan Arga. Bahkan, tidak jarang pemuda itu juga akan menjadi admin Nia jika wanita itu sedang tidak di rumah dan kebutuhan untuk menghitung barang memerlukan bantuannya.
"Thank you, Mi. Kalau begitu aku pergi dulu," pamit Arga, tersenyum senang.
"Kamu hati-hati di jalan. Ingat, jangan ngebut, Arga," peringat Nia, yang langsung mendapat anggukan Arga.
Setelah itu Arga benar-benar melangkah keluar dengan tas di punggung dan plastik berisi pakaian yang akan diantar ke pelanggan maminya. Sekalian mengantar barang dia langsung berangkat ke kampus.
Sementara Nia hanya bisa menggeleng melihat kelakuan putra sulungnya. Arga benar-benar tidak berubah padahal usianya akan memasuki angka ke 21.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIMA & NIA [3 YEARS LATER]
General FictionKehidupan Nia setelah menikah dijalani dengan santai dan tenang. Meskipun terkadang ada kerikil dalam pernikahannya, Nia bisa menyingkirkannya dengan mudah. Ada banyak yang menuduhnya sebagai perebut suami orang, menjadi istri kedua, dan mau bahagi...