Delapan

15.7K 2.3K 62
                                    

Saat ini di dalam ruang tamu keluarga Bima tengah terjadi perbincangan antara Bima dan para orang tua anak-anak.

Bima sendiri sedang mendengar penjelasan dari Joni tentang mengapa ia dan teman-temannya menghadang Arga di jalan dan berniat untuk mengeroyoknya di tempat.

Tak lama kemudian, terlihat Nia datang bersama Arga yang terlihat seperti baru saja bangun dari tidur. Terlihat dari rambut Arga yang acak-acakan. Pemuda itu hanya mengenakan kaos oblong dipadukan dengan celana pendek di atas lutut sedikit. Dia masih terlelap ketika Mami Nia membangunkannya.

Maminya memang benar-benar tahu mencari waktu yang tepat, gerutu batin Arga.

"Arga, ini Joni sama teman-temannya datang mau minta maaf sama kamu. Sekalian kamu jelaskan apa kamu punya hubungan sama anak gadis ini?" Bima menatap putranya yang sudah duduk di sebelahnya diapit Nia. Mereka bertiga duduk di sofa yang sama sehingga membuat orang-orang menatap mereka dengan tatapan kagum sekaligus iri. Mereka memiliki wajah yang tampan dan cantik, pikir orang-orang itu dalam hati.

Arga menatap papanya sebentar kemudian mengalihkan perhatiannya pada sosok gadis yang dimaksud.

Kening Arga mengerut menatap gadis yang bahkan tidak ia kenali. "Siapa? Aku enggak kenal dia, Pa," kata Arga, membuat Titin menatap Arga tak percaya.

"Arga, kamu enggak kenal aku? Kita satu kelas di kampus," ujar Titin, membuat Joni kepanasan. Sepertinya Titin menyukai Arga, pikir Joni tidak terima.

"Sorry, jangankan elo, gue aja enggak kenal sama beberapa anak lainnya." Arga mengangkat bahunya. Arga tidak bohong karena memang ia tidak kenal dengan beberapa teman sekelasnya. Terlebih lagi dengan anak-anak yang bahkan tidak pernah berinteraksi dengan Arga.

Arga memang tidak mengenali mereka, tapi mereka mengenali Arga dengan baik. Wajah tampan dan kekayaan orang tuanya tentu saja menjadi hal utama mengapa banyak orang terutama para gadis mengenal sosok Arga.

"Jadi, apa lo pernah menggoda Titin? Titin itu pacar gue," ujar Joni menatap Arga tajam.

"Gue bahkan enggak kenal dia. Kenapa bisa gue goda dia?" Arga membalas tatapan Joni tanpa rasa takut. "Sorry, bukan maksud gue mau pandang fisik atau apa, ya. Di kampus banyak anak cewek yang bahkan cantik-cantik banget aja gue enggak pernah goda mereka. Apalagi--" Arga menunjuk Titin dengan gerakan bibirnya. "Yah, lo bisa lihat sendiri."

"Maksud lo, Titin jelek, iya?" Joni menatap Arga tidak terima.

"Gue enggak ada ngomong begitu. Lo sendiri yang ngomong, bukan gue," sahut Arga santai. "Sekali lagi gue tegaskan, gue enggak pernah menggoda anak cewek. Kalau lo kurang puas dengan jawaban gue, lo bisa pergi ke kampus dan selidiki sendiri."

Arga tidak bisa berkata-kata ketika orang tidak mau percaya padanya. Lagipula, mau Joni percaya atau tidak bukan urusan Arga. Arga sendiri bahkan tidak pernah melirik anak gadis yang berada di kampusnya. Entah mengapa Arga tidak tertarik sama sekali untuk pacaran meski usianya saat ini sudah 20 tahun. Mungkin karena masa lalu sang mama, membuat Arga berpikir jika semua wanita sama. Ah, yang berbeda hanya maminya saja, pikir pemuda 20 tahun itu.

"Benar. Lagi pula, saya kenal anak saya. Dia anak baik-baik. Dia punya mami perempuan dan kedua adiknya juga perempuan. Enggak mungkin dia mau berbuat yang enggak-enggak sama perempuan," kata Nia yang sejak tadi diam.

Sudah pernah dikatakan Nia belum? Nia tidak akan pernah mengizinkan orang lain untuk memandang rendah anak-anaknya. Jika dia boleh menghujat anak-anaknya bukan berarti orang lain ia izinkan. Contoh saja Joni, enak saja pemuda itu menuduh putranya yang tidak-tidak, pikir Nia kesal.

"Sekali lagi kami minta maaf atas masalah yang dibuat sama anak-anak. Tolong, Pak. Kami mau berdamai. Jujur saja, kalau bapak mau membawa kasus ini ke jalur hukum, kami enggak bisa berbuat apa-apa. Kami orang enggak mampu," ujar Romli menatap Bima. Pria paruh baya itu juga malu akan sikap putranya yang menggebu-gebu untuk membela Titin.

"Lihat itu, Jon, bapak kamu yang minta maaf atas kesalahan yang kamu buat. Kamu bukannya nyenengin orangtua malah jadi beban," kata Nia pada Joni. "Setidaknya kalau kamu enggak bisa kasih kebanggaan buat orang tua dengan prestasi, jangan tambah beban bapak kamu. Kamu enak ketemu kami. Kalau kamu ketemu orang lain, sudah habis kamu di dalam penjara."

Bima melirik istrinya yang ikut campur urusan laki-laki. Bima akan menegurnya nanti agar Nia tidak terbiasa mengoceh seperti ini pada lelaki yang bahkan tidak dikenal Nia sebelumnya. Bima ingin istrinya tetap menjaga diri agar tidak menimbulkan rasa sakit hati pada orang dan menimbulkan dendam.

"Ya sudah, kami memaafkan anak bapak dan ibu. Kami harap, ini semua enggak akan terulang. Anak-anak harus tahu fokus mereka saat ini bukan tentang asmara, tapi juga pelajaran dan masa depan. Anggap aja ini sebagai pelajaran dan jangan mengulangi lagi di masa depan." Bima berujar sambil menatap para anak-anak dan orangtua mereka.

Kenakalan remaja memang biasa dilakukan. Namun, bukan berarti kita harus memaklumi. Setidaknya berikan teguran jika mereka melakukan kesalahan.

Mereka semua mendesah lega mendengar ucapan Bima. Mereka kemudian pamit pulang setelah memberikan bingkisan pada Nia.

Bima menatap istrinya yang masih duduk di sebelah Arga. Di meja masih terdapat banyak gelas minuman yang sedang dibersihkan oleh Mbak Surti.

"Mi, jangan begitu lagi. Kalau ada urusan laki-laki, Mami enggak usah ikut campur. Nanti orang bakalan mikir yang enggak-enggak ke mami. Urusan laki-laki, biar Mas yang urus." Bima berujar sambil menegur istrinya.

"Iya-iya. Enggak lagi." Nia menguap merasa kantuk mulai mendera. "Mas, tidur, yuk. Udah jam sembilan," ajaknya.

"Ayo." Bima menarik Nia berdiri kemudian membawanya masuk meninggalkan Arga yang terbengong di tempat dengan rasa kantuk yang sudah menghilang.

"Argh! Enggak ngantuk lagi," rutuk Arga kesal.

BIMA & NIA  [3 YEARS LATER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang