14 : Pertemuan

13K 2.1K 134
                                    

Saat ini Bima dan Nia sedang berada di sebuah restoran terkenal yang terletak di bilangan Jakarta. Kedua pasangan suami istri itu sengaja meninggalkan anak-anak mereka di rumah untuk mengadakan quality time bersama yang sudah sebulan ini tidak pernah mereka lakukan. 

Bima menyuapkan makanan ke mulut Nia yang disambut wanita itu dengan antusias. Senyum wanita itu kian melebar membuat perasaan hangat merasuk dalam jiwa dan raga Bima yang merasa senang bisa membuat istrinya bahagia.

"Kita enggak punya rencana buat program momongan bayi lagi, Sayang?" Bima menatap istrinya dengan sebelah alis terangkat.

"Mas sendiri saja yang hamil dan mengurus bayinya. Mas kira hamil dan melahirkan itu enak apa? Sudah cukup lima anak. Kita harus taat pada program pemerintah. Lima anak lebih baik," ujar Nia bersikap bijak.

"Sayang, sejak kapan program keluarga berencana berubah? Harusnya slogan yang kamu pakai, dua anak sudah cukup. Bukan lima," ujar Bima. Pria itu terkekeh menatap istrinya yang terlihat cantik malam ini dengan gaun berbahan sifon berwarna biru tua yang memperlihatkan lengannya.

"Eh, sudah berubah rupanya. Aku ingat dulu 'sih lima, Mas."

"Lima dari kamu, Sayang. Ada-ada aja kamu. Program keluarga berencana memang dua kok."

"Tapi, tetangga rumahku dulu ada yang anaknya tiga belas, Mas."

"Oh?" Bima menatap Nia terkejut mendengar pernyataan istrinya. "Tiga belas orang? Enggak salah? Hidup semua?"

Baru ini Bima mendengar ada keluarga yang memiliki 13 orang anak di dalamnya.

"Tiga belas bersama mereka. Dua di adopsi orang, dan empat meninggal karena keguguran dan sakit."

Bola mata Bima membulat sempurna mendengar pernyataan istrinya. Entah mengapa tiba-tiba saja Bima mulai merinding membayangkan total keseluruhan anak dari tetangga Nia.

Kalau Bima tidak salah hitung seharusnya ada 19 anak. Wow, fantastis sekali, gumam Bima dalam hati dengan takjub.

"Jangan kaget, Mas. Zaman dulu juga sepasang suami istri banyak yang punya anak kok. Ada yang tujuh, sembilan, sepuluh, bahkan dua puluh juga ada. Bahkan, ada nih, yang lucunya." Nia terkekeh membuat Bima menatapnya penasaran.

"Apanya yang lucu?"

"Justru pernah ada ibu dan anak melahirkan secara bersamaan."

"Maksudnya, ibunya melahirkan, terus anaknya melahirkan juga? Jadi, keponakan sama Bibi itu sama umurnya?" Bima terbelalak menatap Nia kaget.

"Ya ampun, Mas. Seperti itu aja kamu enggak tahu. Itu biasa kok terjadi. Cuma kalau di lingkungan orang-orang elite, kayaknya mungkin jarang." Nia menyesap jus di dalam gelas. "Bahkan, pernah ada ibunya duduk di pelaminan dalam keadaan perut buncit sampai orang ngira pengantinnya hamil. Padahal jelas-jelas orang tua yang ada di pelaminan pasti duduk di pinggir dan pengantin ada di tengah."

Bima ikut tertawa ketika mendengar suara tawa istrinya yang bercerita tentang pengalamannya bertemu Ibu dari mempelai pengantin yang sedang hamil besar di atas pelaminan. Sebenarnya tidak ada masalah jika wanita hamil duduk di pelaminan. Hanya saja sedikit aneh di saat anaknya akan menikah, ibu-ibu itu justru sedang hamil besar juga.

"Astaga. Mas enggak akan tahu kejadian ini kalau enggak kamu yang cerita."

"Makanya bergaul dengan orang-orang menengah ke bawah. Soalnya banyak cerita seru yang terjadi di lingkungan masyarakat kelas menengah bawah. Enggak kayak masyarakat menengah ke atas yang terlalu serius dan lurus."

Bukan bermaksud untuk membandingkan kedua golongan masyarakat tersebut. Hanya saja memang kenyataannya masyarakat menengah ke bawah memang banyak cerita dari yang mengenaskan sampai yang paling lucu sekali pun. Lebih menyenangkan juga bergaul dengan orang-orang yang berada di golongan ke bawah karena tidak ada kemunafikan di sana meskipun hobi menggibah tidak pernah hilang.

Bima mengangguk sambil tersenyum menatap istrinya.

"Kolegaku juga banyak orang-orang dari menengah ke bawah, lho, Mas."

"Oh, iya? Kenapa bisa begitu?"

"Soalnya enggak akan ada yang mengejekku tukang jual baju seperti teman-teman sosialita-ku yang pada fake."

Nia juga bergaul dengan orang-orang dari golongan atas dan jujur saja ia tidak terlalu nyaman. Nia hanya berusaha untuk menebalkan wajahnya agar ia bisa memuluskan bisnisnya.

"Namanya juga bisnis. Kita harus punya muka tiga atau empat demi memuluskan rencana kita." Bima menjawil hidung Nia dan menariknya sedikit kuat hingga membuat wanita itu menepuk lengan Bima.

"Sakit, Mas. Hidungku nanti seperti Pinokio, kamu mau?"

"Enggak apa-apa. Mas tetap cinta," balas Bima, membuat Nia tersenyum manis.

Kedua pasangan suami istri itu kemudian berbincang dengan santai membahas anak-anak mereka yang semakin tumbuh berkembang dari hari ke hari.

Tak lama kemudian sesosok wanita datang bersama seorang anak remaja perempuan di sampingnya.

"Mas Bima?" Wanita itu menyapa Bima dengan hangat. Tak lupa ia juga tersenyum manis membuat Nia yang sedang menyesap minuman dalam gelasnya merasa mual.

Sok cantik, gumamnya dalam hati.

"Oh, Bu Fatma. Sedang makan malam juga?" Bima mendongak kepalanya menatap Bu Fatma. Pria itu tersenyum tipis menatap partner kerja yang membuatnya mendapat hukuman dari Nia beberapa minggu lalu.

"Iya, Mas. Aku lagi mau makan sama anakku." Wanita itu kemudian menarik lengan putrinya untuk berdiri tepat di sampingnya. "Perkenalkan, namanya Wina. Ayo, Wina, kenalan dulu sama Om Bima," suruh Fatma pada putrinya.

"Halo, Om. Aku Wina. Anaknya Mama Fatma," ujar Wina memperkenalkan dirinya.

Bima berniat untuk mengulurkan tangannya pada Wina. Namun, gerakannya tertahan ketika tangan Nia lebih dulu terulur dan menyambut uluran tangan Wina.

"Saya adalah Nia, istri satu-satunya Mas Bima. Tangan Mas Bima lagi sakit, jadi saya yang mewakilinya," ujar Nia tersenyum manis.

Wina terlihat melirik ibunya kemudian membalas uluran tangan Nia. "Wina, Tante."

Fatma tersenyum kemudian mengulurkan tangannya pada Nia. "Saya Fatma. Rekan bisnis Mas Bima," ujarnya memperkenalkan diri.

Tak mau kalah, Nia menggenggam erat tangan Fatma sambil menciptakan sebuah senyum manis yang membuat Fatma meringis.

"Saya Nia, istrinya Mas Bima. Saya baru tahu kalau ada rekan bisnis yang memanggil dengan sebutan non-formal seperti ini." Nia tertawa dan melepas tangannya. "Ngomong-ngomong, Bu Fatma ini yang waktu itu di restoran sedang makan siang bersama suami saya 'kan?"

Bu Fatma tersenyum kecil. "Iya," sahutnya.

"Oh, maaf yang waktu itu, ya. Kami pergi mendadak tanpa kenalan dengan Bu Fatma dulu. Biasalah kalau anak-anak udah rewel, mereka bakalan rese." Nia berkata tanpa mempersilakan dua orang itu untuk duduk. "Apalagi anak-anak sangat dekat dengan papanya. Jadi, kalau lihat papanya dekat sama perempuan lain, mereka bakalan enggak nyaman. Terutama si kembar."

Nia terus mengoceh tanpa mempersilakan kedua orang itu duduk hingga membuat Bu Fatma merasa tak nyaman. Wanita itu kemudian pamit pergi membuat Nia yang melihatnya lega. Sungguh Nia tidak suka jika ada orang yang terang-terangan menunjukkan rasa sukanya pada sang suami.

Mas Bima hanya untukku, titik. Batin Nia bergumam sambil menatap tajam punggung Fatma yang sudah menghilang di balik pintu restoran. Jelas saja pasangan anak dan ibu itu akan mencari restoran lain.

BIMA & NIA  [3 YEARS LATER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang