Nia menatap malas sosok temannya yang saat ini tersedu di hadapannya.
Bella yang jarang berkumpul bersama mereka ternyata memiliki masalah rumah tangga yang cukup rumit. Pasalnya Bella baru mengetahui jika suaminya diam-diam ternyata memiliki hubungan dengan wanita lain di belakangnya.
Hal ini membuat perasaan Bella hancur. Wanita itu bingung akan melakukan apa hingga akhirnya jalan pintas bisa ia tempuh.
"Kamu yakin mau bercerai? Terus anak-anak kamu bagaimana? Mereka akan kehilangan sosok ayah dan ibu secara bersamaan."
Bella mengangkat kepalanya menatap Nia dengan yakin. "Aku sangat yakin dengan keputusanku, Nia. Suami yang selingkuh bukan ayah yang baik untuk anak-anakku." Ada tekad dalam mata Bella hingga membuat Nia hanya bisa mengangguk pasrah.
"Aku hanya bisa mendukung keputusan kamu, Bell. Kalau boleh jujur, kalau aku ada di posisi kamu, mungkin berpisah adalah jalan terbaik." Nia menyungging senyum miring. "Tapi, apa kamu sudah yakin kalau suami kamu benar-benar selingkuh?" tanyanya penasaran.
Suami dari Bella yakni Alex adalah pria yang setia menurut Nia. Pria itu sudah mengejar Bella sejak awal masuk SMA. Bahkan, pria itu tega menodai Bella hingga membuat wanita itu hamil anaknya ketika mendekati kelulusan SMA. Jadi, Nia sedikit terkejut mengetahui dari Bella jika suaminya selingkuh. Padahal hubungan mereka sudah bertahun-tahun lamanya dan anak mereka pun sudah berada di sekolah dasar.
"Sudah beberapa kali aku memergoki Alex jalan dengan perempuan itu. Bahkan, aku pernah lihat mereka makan di restoran tempat biasa kami makan." Kedua tangan Bella mengepal di atas meja. "Aku enggak mau ribut dengan Alex makanya aku diam. Aku takut akan memengaruhi anak-anak. Nanti saja aku berencana untuk mengurus perceraian kami baru aku akan bilang padanya keinginanku untuk bercerai."
Nia menarik napas berat mendengar ucapan temannya itu. Jujur saja Nia sakit hati mendengar cerita dari Bella tentang suaminya yang berselingkuh. Nia yang hanya menjadi pendengar saja sakit hati, apalagi Bella yang menjalaninya.
"Aku akan mendukung semua keputusan kamu, Bell. Tapi, kalau bisa diselesaikan dengan cara baik-baik, aku harap kamu bisa menyelesaikannya." Nia tersenyum membuat Bella mengangguk mengerti.
Keduanya berbincang sejenak sebelum akhirnya mereka keluar dari kafe dan tak sengaja bertemu dengan Alex yang akan masuk ke kafe bersama seorang wanita yang mengikutinya.
Tubuh Alex menegang dengan wajah pucat menatap Bella yang hanya membalas tatapannya dengan datar.
"Sayang--"
"Kamu di sini ternyata. Aku dan Nia berniat untuk pulang." Bella menyungging senyum tipis. "Aku pergi," ucapnya melewati Alex begitu saja.
Alex yang tak ingin istrinya pergi dalam keadaan marah segera menahan pergelangan tangannya. Namun, Bella melepaskannya dengan paksa dan melangkah pergi tanpa menoleh ke belakang.
"Bell!"
"Percuma kamu kejar gimana pun, istri kamu enggak akan dengar," celetuk Nia yang ditinggal begitu saja oleh Bella.
Alex segera memutar tubuhnya menatapnya dengan tatapan tanya.
"Kamu tahu sendiri Bella itu keras kepala. Dia enggak akan dengar omongan orang lain, tapi dia bakal ikutin kata hatinya sendiri." Nia melipat tangannya di dada sambil menatap Alex. "Sebentar lagi kamu sama dia enggak perlu sembunyi-sembunyi lagi. Tunggu aja beberapa saat lagi kamu akan bebas mau kencan sama siapapun."
"Maksud kamu apa, Nia?" Jantung Alex berdebar menatap Nia. Namun, wanita itu hanya menyungging senyumnya dan berbalik pergi meninggalkan Alex dan wanita yang tak diketahui identitasnya.
Sekarang Nia berniat untuk mengunjungi kantor Bima. Kalau dipikir-pikir, Bella yang sudah menjalin hubungan bertahun-tahun bersama Alex saja bisa diselingkuhi. Nia jadi memiliki pikiran buruk tentang Bima.
Nia berencana ke kantor Bima untuk memastikan jika suaminya itu tidak ada main dengan wanita lain.
Segera wanita itu tiba di kantor Bima dan melihat meja sekretaris Bima yang diisi oleh seorang perempuan dengan setelan rapi.
"Eren, Mas Bima ada di ruangannya?" Nia menatap Eren yang saat ini mendongakkan kepalanya.
"Siang, Bu. Saat ini Pak Bima lagi di ruang meeting. Ibu bisa masuk dulu tunggu beberapa menit lagi mungkin pak Bima akan keluar," ujar Eren sambil berdiri.
"Sudah lama meetingnya?"
Eren menatap jam di pergelangan tangannya sejenak. "Sudah ada 45 menit, Bu. Mungkin sekitar 15 menit lagi pak Bima akan keluar dari ruang meeting."
Nia menganggukkan kepalanya. Wanita itu kemudian melangkah masuk ke dalam ruang kerja Bima. Rencananya Nia akan menunggu di dalam ruangan Bima saja.
Sambil menunggu Bima datang, Nia menelepon orang rumah dan menanyakan apakah kedua putrinya menangis. Beruntungnya kedua anak Nia tidak ada yang menangis meskipun sering ditinggalkan Nia di rumah bersama Bu Ida, mpok Atun, dan juga Mbak Yuni--babysitter baru-- di rumah.
Nia merebahkan tubuhnya di atas sofa dan berniat untuk tidur sebentar sambil menunggu Bima datang.
Sementara itu Bima sendiri memang sedang mengadakan pertemuan dengan Bu Fatma diikuti oleh direktur pemasaran yang bergabung bersamanya.
Rencana kerjasama yang akan dijalankan perusahaan Bima dan perusahaan milik orang tua Bu Fatma sudah berlangsung sejak setengah bulan yang lalu. Saat ini mereka sedang membahas kebijakan kerjasama dan mengubah apa yang seharusnya diubah.
Setelah meeting selesai, orang-orang sudah keluar dari ruangan sementara Bima sendiri berniat untuk ikut keluar sebelum pergelangan tangannya ditahan oleh Bu Fatma.
"Pak Bima, setelah ini Pak Bima mau makan siang?" Bu Fatma menatap Bima dengan tatapan bertanya.
Bima segera melepaskan tangan Bu Fatma dari tangannya. Ekspresi wajah pria itu terlihat tak nyaman karena sepertinya wanita single parent di hadapannya tertarik padanya.
"Saya enggak bisa, Bu. Ada hal yang harus saya urus," tolak Bima halus.
Bagaimanapun, Bu Fatma adalah seorang wanita yang memiliki harga diri. Tidak mungkin Bima akan mengatakan kalimat tidak mengenakkan yang akan didengar oleh wanita di hadapannya ini.
"Makan siang bersama saya paling hanya 10 menit, Pak. Bagaimana?" Bu Fatma menatap Bima melas berharap agar pria itu mau menuruti keinginannya.
"Saya benar-benar enggak bisa, Bu. Maaf."
Tak lama terdengar suara ketukan pintu di luar membuat Bima segera memerintahkan agar si pengetuk untuk masuk.
"Pak, ada ibu Nia di ruangan bapak. Beliau menunggu bapak dari tadi," kata Eren pada Bima.
Sebelumnya Eren memang sudah diwanti-wanti oleh Bima agar tidak pernah meninggalkan dirinya sendiri bersama Bu Fatma. Bima ingin menghindari pertengkarannya dengan Nia yang disebabkan oleh wanita lain yang berusaha untuk mendekatinya.
Kebetulan tadi Eren sudah melihat beberapa anggota yang ikut meeting keluar dari ruang meeting yang membuatnya segera menghampiri Bima.
"Istri saya ada di sini?" Bima beralih menatap Eren dengan sebelah alis terangkat.
"Iya, Pak. Sudah ada sekitar 20 menit Ibu menunggu di ruang kerja bapak," jawab Eren dengan sopan.
Bima menganggukan kepalanya. "Biarkan sekretaris saya mengantar Ibu ke bawah. Mohon maaf saya enggak bisa menemani Ibu. Ada istri saya yang sudah menunggu," kata Bima pada Fatma.
Pria itu kemudian melangkah keluar dengan iPad di tangannya segera menuju ruang kerja di mana istrinya berada.
Sementara Bu Fatma yang ditinggalkan begitu saja oleh Bima hanya bisa mendesah kecewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIMA & NIA [3 YEARS LATER]
General FictionKehidupan Nia setelah menikah dijalani dengan santai dan tenang. Meskipun terkadang ada kerikil dalam pernikahannya, Nia bisa menyingkirkannya dengan mudah. Ada banyak yang menuduhnya sebagai perebut suami orang, menjadi istri kedua, dan mau bahagi...