Suara Arga terdengar mengalun di penjuru cafe yang terlihat ramai akan para remaja maupun orang dewasa. Suara yang serak lembut itu mampu menghipnotis para pendengar menikmati alunan lagu yang dinyanyikan oleh Arga.
The Five's band sudah sering kali manggung di beberapa cafe. Bahkan, mereka sering diundang ke acara event besar yang diadakan di dalam kota. Popularitas band itu semakin melonjak dengan banyaknya penggemar. Terlebih lagi para personil yang memiliki wajah tampan merupakan daya tarik kuat untuk para kaum hawa.
Nia sendiri mengakui jika suara Arga memang enak didengar. Seringkali Nia mendengar putranya itu bernyanyi untuk menemani kedua anak perempuannya tidur. Maka dari itu Nia tidak menghalangi keinginan Arga yang ingin menjadi penyanyi.
Nia duduk seorang diri di meja bundar yang langsung menghadap ke arah panggung. Di hadapannya sudah terdapat cemilan serta minuman yang ia pesan. Sebenarnya Nia tidak sengaja datang ke cafe tempat di mana Arga sedang manggung. Awalnya Nia memang memiliki janji temu dengan Bella di cafe ini dan tak menyangka jika ternyata putra sulungnya ada di sini juga.
Nia kemudian memberikan tepuk tangan meriah ketika Arga menyelesaikan lagu terakhirnya. Wanita itu tanpa malu tersenyum dan melemparkan kode cinta untuk Arga. Hal itu tentu saja mengundang perhatian dari teman-teman Arga yang belum mengenal Nia. Bahkan, beberapa gadis yang duduk di samping meja Nia mencibir kelakuan wanita itu.
"Dasar tante enggak tahu malu. Udah tua enggak sadar umur."
"Dikiranya Bang Gaga mau kali ya sama dia? Kadang-kadang orang yang lebih tua dari kita enggak tahu diri."
"Mungkin dikiranya Bang Gaga mau sama tante-tante kayak dia."
Obrolan sinis itu sebenarnya masuk ke telinga Nia. Namun, wanita itu terlalu malas untuk bertengkar dengan para remaja yang diperkirakan usianya belum sampai 20 tahun.
Nia kemudian mengalihkan tatapannya ke panggung dan melihat sosok Arga yang melempar senyum ke arahnya. Hal itu tentu saja membuat para perempuan yang mengomentari Nia tadi semakin cemburu.
"Gila, Arga ditaksir sama wanita dewasa." Bastian berujar sambil menggoda Arga. "Cocok jadi kakak-kakak-an lo, Ar," ujarnya tersenyum.
"Jangan ngomong sembarangan kalau lo enggak mau dapat bogem," tutur Arga melirik Bastian. Tentu saja yang dimaksud Arga memberi bogeman adalah maminya karena yang Arga tahu maminya itu tidak segan untuk memberi tinju pada orang yang menyinggungnya.
"Ugh, takut." Bastian mengejek Arga sambil melepas gitar dari tubuhnya.
"Habis ini lo mau ke mana?" Hans menatap Arga dengan sebelah alis terangkat.
"Biasa. Tugas negara."
Kelimanya kemudian turun dari panggung dengan Arga yang memimpin lebih dulu. Mereka yang mengikuti dari belakang mengira jika Arga akan langsung ke belakang panggung dibuat sedikit terkejut dengan Arga yang melangkah lurus ke arah meja di mana seorang wanita yang memberi kode cinta pada Arga tadi.
"Ga," panggil Axel tanpa sadar.
Arga menoleh singkat dan menatap Axel dengan tanda tanya.
"Lo mau ke mana?"
"Mau samperin perempuan yang kasih gue kode cinta."
Jawaban Arga tentu saja membuat teman-temannya terkejut. Mereka tidak menyangka jika Arga akan menyukai wanita yang lebih dewasa darinya.
Tak mau ambil pusing dengan ekspresi teman-temannya, Arga segera mendekati Nia dan duduk di seberang mejanya.
Arga tersenyum miring sambil melipat tangannya di atas meja.
"Cewek cantik, boleh kenalan?" Arga menatap lekat wajah Nia tanpa menghilangkan senyum miring pada sudut bibirnya. Matanya berbinar cerah menatap Nia yang kini sedang melotot ke arahnya.
"Kalau Mas ganteng punya uang banyak, bolehlah kita kenalan."
Nia tentu saja mengikuti cara permainan putranya. Wanita itu ikut melipat tangannya di atas meja sambil membalas tatapan Arga.
"Kalau untuk sekarang sih enggak ada uangnya. Tapi, di rumah, baru ada. Di kamar orangtua saya."
Nia spontan menoyor kepala Arga mendengar jawaban putra sulungnya itu. Uang banyak yang dimaksud Arga tentu saja uang yang berada di dalam brankas di kamar miliknya. Uang hasil penjualan pakaian yang ia simpan memang tidak ia setor di bank karena itu merupakan modal pokok tahun usaha serta untung.
"Sakit, Mi. Lama-lama aku jadi bodoh karena Mami sering toyor kepala aku." Arga menggerutu sambil menatap maminya sebal.
"Siapa suruh kamu sebut brangkas kesayangan mami?" Nia membalas dengan cuek.
"Mami ngapain ada di sini? Mami mau ketemu sama batang muda?"
"Sembarangan kamu ngomong. Papamu saja sudah buat mami pusing dan mami enggak ada rencana mau tambah suami," ujar Nia kesal. "Mami lagi tunggu sahabat Mami katanya mau datang. Tapi, udah 30 menit lebih di sini dia belum juga datang," lanjut Nia jujur. Sesekali wanita itu melemparkan tatapannya ke arah pintu berharap agar sahabatnya itu segera menampakkan wajahnya.
"Sahabat Mami yang mana?" Arga menatap maminya penasaran.
"Si tante Bella. Sahabat Mami memang ada berapa lagi?"
"Kali aja yang pakai jilbab itu. Sahabat Mami setahu aku ada tiga."
"Iya, tiga. Tapi, Om Libo lagi enggak di Indonesia. Merantau deh ke Paris sana enggak tahu kapan pulang." Nia mengangkat bahunya. "Kali ini Mami mau ketemuan sama tante Bella. Biasalah curhatan ibu-ibu muda."
Arga mengangguk paham dengan penjelasan maminya.
"Ngomong-ngomong, Ga, kamu udah selesai manggung?" Nia menatap panggung yang sudah kosong kemudian beralih menatap putranya.
"Udah. Sekarang aku lagi mau nongkrong sama temen-temenku."
Arga memanfaatkan kesempatan untuk nongkrong dengan teman-temannya selama Mami lagi di kafe ini. Niatnya yang ingin pulang lebih awal harus ia tunda. Sesekali menghabiskan waktu bersama teman-temannya Arga rasa tidak masalah. Terlebih lagi tugas kuliah sudah ia kerjakan.
"Ya udah kalau mau nongkrong, nongkrong sana. Ingat sebelum Magrib pulang ke rumah. Awas kalau kamu pulang telat."
"Iya, Mi."
Arga kemudian bangkit dari duduknya dan melangkah menuju belakang panggung bertemu dengan teman-teman yang sudah pergi lebih dulu. Sementara Nia tetap diam di posisi semula menunggu kedatangan Bella yang tak kunjung datang.
Tak lama kemudian terdengar suara ponsel Nia berdering. Wanita itu mengangkat telepon yang ternyata dari Bella. Bella mengabarkan jika ia tidak bisa datang karena suatu hal mendesak. Hal itu tentu saja membuat Nia merutuki sifat sahabatnya itu. Kalau tahu dia tidak datang, Nia tidak akan menunggu lama.
Akhirnya Nia pergi setelah membayar semua pesanannya. Beruntung tadi Nia pergi ke kafe menggunakan mobilnya sendiri. Jika tidak, maka Nia akan menunggu waktu lebih lama lagi untuk berada di cafe sambil menunggu taksi pesanan datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIMA & NIA [3 YEARS LATER]
General FictionKehidupan Nia setelah menikah dijalani dengan santai dan tenang. Meskipun terkadang ada kerikil dalam pernikahannya, Nia bisa menyingkirkannya dengan mudah. Ada banyak yang menuduhnya sebagai perebut suami orang, menjadi istri kedua, dan mau bahagi...