Acara resepsi pernikahan Helia dan Gunawan diadakan di gedung yang sama dengan hotel tempat mereka menginap.
Bima dan keluarga kecilnya yang menjadi tamu undangan tentu saja sudah tiba di lokasi. Saat ini mereka sedang duduk di kursi yang tersedia dengan meja bundar yang dikhususkan untuk pihak keluarga mempelai wanita.
Anggota keluarga terbanyak saat ini tentu saja dipimpin oleh Hiro. Pasalnya ia juga membawa anak-anaknya serta babysitter mereka. Sedangkan untuk Bima sendiri hanya membawa empat orang anaknya.
"Kamu pasti sangat kerepotan mengurus anak-anak lucu ini. Tapi, itu adalah nikmat yang diberikan pada kita untuk merawat mereka," kata Nia.
Wanita itu menatap gemas pada anak laki-laki bungsu Hiro dan Elina yang saat ini berada di dalam pangkuan wanita itu. Usia anak laki-laki Hiro yang bernama Athallaric atau kerap disapa Athalla itu baru dua tahun dan tampak menggemaskan di matanya. Terutama anak itu tidak pernah memilih pada siapa ia digendong. Nia memang sedikit akrab dengan adik ipar dari Helia ini karena memang mereka tinggal di satu desa yang sama dengan Jillo dan Chila. Rumah mereka pun bersebelahan hingga baik Bima maupun Nia cukup nyaman untuk meninggalkan anak-anak mereka di sana.
"Iya, Mbak. Walau udah ada mbak yang menemani mereka dan mengurus anak-anak, tetap aja seperti enggak ada kepuasan kalau bukan kita sendiri yang mengurusnya." Elina tersenyum sambil mengusap pipi Alexa yang lebih tua 1 tahun dari Athalla. Elina merasa bersyukur anak-anaknya tidak ada yang cengeng. Kecuali, saat mereka mengalami demam, baik Elina maupun Hiro harus ekstra sabar merawat mereka. Karena jika satu menangis kencang, maka yang lain ikut menangis hingga membentuk paduan suara.
"Benar. Aku aja yang mengurus anak-anak yang sudah besar, kadang kualahan. Apalagi Arga. Menjaga anak perempuan sama seperti menjaga anak laki-laki. Kita harus ekstra. Kalau enggak--" Nia menatap Elina. "Mereka bakalan liar dan terlibat pergaulan bebas."
"Aku juga mikirnya begitu, Mbak. Niatnya, aku akan tetap mengawasi mereka tanpa harus mengekang mereka. Aku mau 8 anak-anakku hidup dengan baik dan sukses." Elina tersenyum manis sambil menatap ke arah anak-anaknya yang lain.
Orang lain mengatakan jika Elina akan sangat kerepotan mengurus balita yang berjumlah 8 orang. Orang luar akan pusing melihat bagaimana anak-anak Elina jika dikumpulkan dalam satu tempat. Anehnya, Elina tidak merasakan hal demikian. Wanita itu justru merasa sangat bahagia bisa hidup bersama anak-anaknya. Terlebih lagi ada Carla dan Clara yang merupakan anak dari keponakan Hiro yang sering menjadi teman bermain bersama anak-anaknya.
"Oh iya Mbak, Jillo dan Chila titip salam ke mbak dan Mas Bima. Katanya, mereka enggak bisa datang ke sini. Carla tiba-tiba demam," ujar Elina.
"Tadi Jillo juga udah telepon aku dan Mas Bima. Kami berencana untuk datang ke desa. Tapi, jangan kasih tahu Jillo dulu. Rencananya kami mau buat kejutan untuk mereka," sahut Nia bersemangat.
Sudah 3 bulan mereka tidak bertemu dan Nia juga merindukan anak itu juga cucunya. Ah, betapa menyenangkannya memiliki cucu di usia muda sepertinya sekarang, pikirnya dalam hati.
"Beneran, Mbak? Kalau begitu nanti aku minta Bibi untuk bersiap-siap."
"Enggak perlu." Nia menepuk pundak Elina dan tersenyum. "Nanti Jillo tahu kalau kami mau ke sana."
Elina akhirnya setuju dengan ucapan Nia. Kedua wanita itu mengobrol dengan santai dan membahas beberapa topik sambil sesekali mereka mengawasi di mana keberadaan anak-anak mereka yang lain.
Sementara Helia diujung lain dengan gaun pengantin yang ia kenakan melangkah bersama dengan Gunawan menuju atas pelaminan. Gaun dengan ekor yang panjang itu menyapu lantai yang ditutupi dengan karpet merah saat keduanya melangkah diikuti anggota keluarga lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIMA & NIA [3 YEARS LATER]
General FictionKehidupan Nia setelah menikah dijalani dengan santai dan tenang. Meskipun terkadang ada kerikil dalam pernikahannya, Nia bisa menyingkirkannya dengan mudah. Ada banyak yang menuduhnya sebagai perebut suami orang, menjadi istri kedua, dan mau bahagi...