Nia mengerat selimut guna menghalau rasa dingin pada tubuhnya. Wanita itu mengernyit keningnya saat merasakan sentuhan lembut di keningnya. Sentuhannya terasa dingin di kening membuat Nia spontan membuka kelopak matanya.
Rambut panjang menjuntai dengan kain putih yang menutup tubuhnya membuat Nia tercengang sebentar sebelum akhirnya matanya berkedip beberapa kali dan membukanya dengan lebar.
Tidak ada siapapun saat ia membuka kelopak matanya. Wanita itu kemudian bangkit dari tempat tidurnya saat mendengar suara langkah dari luar dan suara tangis seseorang. Wanita itu menatap ranjang di sampingnya di mana ada Dirga masih terbaring.
Suara tangis itu semakin terdengar jelas membuat Nia penasaran dan membuka pintu ruang rawat untuk melihat sekeliling koridor yang tampak sepi. Namun, suara tangis itu semakin terdengar jelas membuat wanita itu tanpa sadar berjalan ke luar menyusuri koridor.
"Siapa yang nangis?" Nia bertanya pada dirinya sendiri sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar.
Bulu kuduk wanita itu tiba-tiba berdiri membuatnya mengusap tengkuknya dengan gerakan perlahan. Udara di luar semakin dingin namun tak membuatnya berhenti untuk mencari sumber suara.
Nia segera memutar tubuhnya ke belakang saat mendengar suara langkah kaki namun saat ia memutar tubuhnya, ia tidak melihat siapa pun.
Kening wanita itu semakin mengerut memikirkan siapa yang berjalan di belakangnya tadi. Padahal ia jelas mendengar suara langkah dari belakang.
Wanita itu kemudian memutar kembali tubuhnya dan berniat untuk melangkah lurus namun yang ia temukan di hadapannya adalah wajah pucat seorang wanita dengan rambut panjang acak-acakan berdiri dengan darah di sekujur tubuh yang mengenakan gaun putih.
Bola mata wanita itu melebar. Bibirnya bergetar berusaha untuk mengeluarkan suara namun tidak ada yang keluar dari bibirnya sama sekali.
"Mmmmmmm."
"Ugghh."
Nia berusaha untuk menggerakkan tubuhnya dan mengeluarkan suara. Namun, tubuhnya semakin kaku.
"Sayang, hei. Sadar. Kamu kenapa?"
Goncangan dan tepukan di wajahnya membuat Nia membuka kelopak matanya dengan napas memburu dan jantung berdebar kencang.
"Kamu mimpi buruk?"
Wanita itu berusaha untuk menormalkan debar jantungnya dan berusaha untuk melihat wajah seseorang yang membangunkannya tadi.
"Mas."
Nia menggigit bibirnya kemudian masuk ke dalam pelukan Bima dan mengeratkan dekapannya pada sang suami.
"Kamu kenapa? Mimpi buruk?" Bima mengusap rambut istrinya yang terlihat bergetar.
"Aku tadi mimpi buruk, Mas. Aku mimpi ketemu Mbak kunti. Mukanya itu serem banget."
"Makanya kalau mau tidur itu baca doa. Mami tidurnya sebelum maghrib. Jadinya mami lupa baca doa dan mimpi buruk." Pria itu terkekeh mendengar suara istrinya yang bergetar ketakutan. Tak ia sangka jika istrinya yang terlihat galak dan pemberani masih takut dengan hal gaib.
"Ih, beneran seram mimpiku tadi, Mas. Masih kebayang." Nia melepaskan pelukannya dan mengusap wajahnya. Sedangkan Bima sendiri turun dari tempat tidur membuka dus air putih yang sengaja dibeli dan menyerahkannya pada sang istri setelah ia memastikan ujung sedotan masuk ke dalam gelas plastik tersebut.
"Makanya baca doa sebelum tidur. Ya udah, mami tidur lagi. Mumpung masih jam tiga."
"Mas enggak tidur dari tadi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BIMA & NIA [3 YEARS LATER]
General FictionKehidupan Nia setelah menikah dijalani dengan santai dan tenang. Meskipun terkadang ada kerikil dalam pernikahannya, Nia bisa menyingkirkannya dengan mudah. Ada banyak yang menuduhnya sebagai perebut suami orang, menjadi istri kedua, dan mau bahagi...