Beberapa buah motor dan satu buah mobil berhenti tepat di depan gerbang sebuah rumah berlantai 3 dengan interior yang mampu membuat orang yang menatapnya akan terpukau. Meskipun saat ini malam, tapi bangunan rumah terlihat dengan jelas apalagi ada balkon di lantai 2 dan 3 yang langsung mengarah ke jalanan.
"Kamu yakin rumahnya yang ini?" Seorang pria paruh baya bertanya pada seorang pemuda yang turun dari motor bersamanya.
Mereka adalah anak-anak yang nyaris mengeroyok Arga beberapa hari lalu. Kedatangan mereka ke sini tentu saja untuk meminta maaf pada Arga atas kesalahpahaman yang terjadi.
Mereka bukan orang-orang dari kalangan atas hingga membuat mereka takut jika pemuda yang nyaris dikeroyok anak mereka membuat laporan ke polisi dan masalah akan semakin rumit jika itu terjadi.
"Iya, Pak. Ini alamat yang dikasih sama mamanya Arga," jawab seorang pemuda.
Dia adalah Joni, pemuda yang merasa tak terima jika pacarnya digoda oleh Arga. Joni melirik seorang gadis yang turun dari mobil bersama orang tuanya. Dia adalah Titin, gadis yang menurut Joni cantik dengan kulit sawo matang.
Joni dan Titin tentu saja sudah berpacaran lebih dari 1 tahun. Titin kuliah di satu universitas yang sama dengan Arga. Sementara Joni sendiri kuliah di tempat lain karena dia tidak memiliki otak yang cerdas dan orang tuanya pun bukan dari kalangan atas sehingga membuat pemuda itu harus berpuas diri kuliah di universitas yang berbeda dengan pacarnya.
Titin sendiri adalah anak dari pasangan yang memiliki beberapa toko sembako sebagai mata pencaharian mereka. Kehidupan ekonomi Titin memang lebih baik dari keluarga Joni. Namun, jika dibandingkan dengan Arga, tentu saja mereka tidak ada bandingannya. Lihat saja dari bentuk rumah pemuda yang nyaris mereka keroyok itu sangat mewah dan pastinya berharga mahal.
"Mau cari siapa?" Gerbang terbuka secara otomatis hingga menampilkan sosok 2 pria dengan seragam hitam bertubuh tinggi dan kekar berdiri di balik gerbang.
Kedua pria itu adalah Pak Hamzah dan Pak Hamdan yang bekerja sebagai bagian keamanan di kediaman Bima. Keduanya merupakan mantan preman yang diangkat Bima untuk bekerja dengannya. Mereka yang menyelamatkan Bima saat pria itu nyaris kerampokan dua tahun lalu.
"Kami mencari anak muda yang namanya Raga. Dia ada?" Pak Romli merupakan bapaknya Joni bertanya dengan sopan.
Kening Pak Hamdan mengerut begitu juga dengan Pak Hamzah. Kedua pria paruh baya itu saling menatap kemudian menggeleng kepala mereka.
"Di sini enggak ada yang namanya Raga, Pak."
Joni menarik lengan bapaknya dan bersisik, "bukan Raga, Pak. Tapi, Arga."
"Oh." Pak Romli tersenyum. "Bukan Raga, Pak. Tapi, Arga," jelasnya lebih detail.
"Den Arga? Dia ada di dalam. Saya tanyakan dulu."
Pak Hamzah berniat menghubungi orang dalam rumah lewat alat penghubung, namun suara Nia menginterupsi mereka lebih dulu.
"Pak, biarkan mereka masuk!"
Itu suara Nia menggunakan toa karena wanita itu malas untuk jalan ke gerbang. Nia baru saja keluar rumah untuk mencari angin. Namun, Tak ia sangka saat sampai di depan pintu, sudah ada beberapa orang berdiri di depan gerbang.
Kebetulan ada toa yang sengaja diletakkan di kursi teras dan biasa digunakan Nia ketika akan memanggil Pak Hamzah dan Pak Hamdan. Jarak dari rumah utama dan gerbang memang tak cukup jauh. Hanya 10 meter. Namun, bukan Nia namanya jika tidak melakukan hal yang diluar nalar.
Mereka semua terdiri dari beberapa orang tua dan 5 orang anak muda masuk dengan kendaraan yang mereka bawa. Ini tentu saja atas permintaan Pak Hamdan agar tamu dari majikan tidak bersusah-payah jalan kaki dari gerbang ke rumah.
"Selamat malam, saya maminya Arga." Nia menyapa mereka ketika semua orang sudah berdiri di teras rumah.
"Saya Romli, bapaknya Joni." Pak Romli kemudian menunjuk ke arah Joni yang berdiri di belakangnya.
Nia kemudian menatap arah telunjuk Pak Romli dan mengangguk. Memang benar pemuda yang ditunjuk Pak Romli adalah ketua dari rombongan yang nyaris mengeroyok Arga.
Para orang tua juga memperkenalkan diri mereka dan anak-anak mereka. Termasuk orang tua Titin. Awal mula mereka masih bersikap angkuh, menganggap orang yang akan mereka datangi adalah orang biasa. Namun, siapa sangka jika putri mereka justru terlibat dengan orang yang berada di atas mereka.
Orang tua Titin dan Titin sendiri hadir atas permintaan Pak Romli untuk menyelesaikan masalah yang ada. Pasalnya, penyebab putranya nyaris memukul orang karena Titin sendiri.
Nia mengangguk kemudian meminta mereka semua untuk masuk ke dalam rumahnya. Area rumah yang luas dan terdapat banyak jajaran sofa di ruang tamu tentu saja menjadi pemandangan pertama saat mereka melangkah masuk.
Memang terdapat banyak sofa tersusun rapi di ruang tamu yang berukuran luas tersebut. Hal ini dikarenakan terkadang mereka membuat acara dan membutuhkan banyak sofa untuk diduduki. Jika sofa sudah penuh, maka akan digelar karpet di bagian ruang keluarga yang juga tampak luas.
"Saya panggilkan suami saya dulu." Nia kemudian berbalik pergi setelah mempersilakan para tamunya untuk duduk.
Bu Wati yang merupakan ibunya Titin menatap wanita paruh baya di sampingnya. "Bu, masa iya mamanya si Arga bisa semuda itu? Jangan-jangan dia istri kedua," bisiknya pada seorang wanita lainnya.
Wanita yang mendapat bisikan itu Bu Eko merupakan Ibu dari teman Joni yang bernama Eko. Dia membalas sambil berbisik, "saya juga berpikiran seperti itu. Muda-muda mau aja jadi istri kedua."
"Iya, enggak sangka saya."
"Ehem!" Deheman Pak Romli mengalihkan perhatian kedua wanita itu. "Enggak baik membicarakan orang yang bahkan enggak kita kenal," tegur Pak Romli pada keduanya.
Pak Romli tentu saja kenal dengan ibunya Eko karena mereka bertetangga. Selain Bu Eko, ada pula pak Hamid ayah dari Hendra, dan Pak Hambali ayah dari Dani. Rumah mereka berdekatan termasuk dengan rumah orangtua Titin. Jadi, tentu saja mereka mengenal satu sama lain.
Bu Wati dan Bu Eko menunduk ketika mendapat teguran dari Pak Romli. Pak Romli sendiri berstatus sebagai ketua RT di tempat mereka tinggal. Jadi, mereka cukup menghargai Pak Romli.
"Selamat malam," sapa sebuah suara.
Semua pasang mata tentu saja menoleh ke sumber suara. Mereka melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi dan kekar dengan kulit putih datang mengenakan baju kaos lengan pendek berkerah dipadukan dengan celana coklat sebatas mata kaki.
Mereka semua menyambut kedatangan laki-laki itu dengan tatapan bingung. Pasalnya tidak mungkin laki-laki di hadapan mereka adalah papanya Arga. Terlalu muda, pikir mereka.
"Saya Bima Sanjaya, papanya Arga."
Keheningan membekukan di antara mereka ketika pria yang masih terlihat muda itu memperkenalkan diri sebagai papanya Arga.
Terlalu muda, pikir mereka dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIMA & NIA [3 YEARS LATER]
General FictionKehidupan Nia setelah menikah dijalani dengan santai dan tenang. Meskipun terkadang ada kerikil dalam pernikahannya, Nia bisa menyingkirkannya dengan mudah. Ada banyak yang menuduhnya sebagai perebut suami orang, menjadi istri kedua, dan mau bahagi...