Nia dan anggota keluarganya berangkat menuju hotel tempat di mana berlangsungnya acara resepsi pernikahan Helia.
Rencananya mereka akan langsung menginap di hotel tempat diadakannya acara sesuai dengan tema undangan jika tamu boleh menginap di hotel dan anggap saja ini sebagai liburan mereka di sela aktivitas yang padat.
"Sayang banget Jillo dan Chilla enggak bisa ikut," ujar Nia di sela keheningan.
"Iya. Katanya, Carla lagi sakit. Jadinya enggak bisa di bawa jalan," sahut Bima yang memang mengetahui kondisi cucunya.
"Aku jadi cemas. Bagaimana kalau Mas ambil cuti di kantor dan kita mengunjungi mereka?" Nia menatap suaminya dari samping.
"Jangan dadakan, Mi. Lusa aja gimana? Soalnya besok aku ada manggung dan jadwal kuliah juga," celetuk Arga dari belakang.
Saat ini Arga sedang memangku Alana yang sedang terlelap. Sementara Alea berada di tengah, dan Kello berada di pinggir. Mereka berempat duduk di kursi belakang sementara beberapa koper disimpan di bagian bagasi.
"Memangnya ada yang mau ajak kamu, Ar?" Nia memutar tubuhnya menatap Arga dengan sebelah alis terangkat.
"Kalaupun aku enggak diajak, aku bakalan tetap maksa buat ikut, kok." Arga membalas tidak mau kalah. Pemuda itu mengusap punggung Alana yang tidur dengan kepala bersender di lehernya.
"Dasar pemaksa," cibir Nia. "Kalau adiknya tidur, sini sama mami aja. Nanti kamu kelelahan." Nia spontan mengulurkan tangannya untuk mengambil Alana dari dekapan Arga.
"Sama aku aja, Mi. Kalau Alana dipindah-pindah nanti dia bangun."
"Oh, ya udah kalau begitu." Nia kemudian mengalihkan tatapannya ke arah Alea. "Alea, sini sama mami."
Alea tampak patuh. Gadis kecil itu turun dari kursi dibantu Kello kemudian pindah ke kursi depan duduk di atas pangkuan maminya. Gadis cantik itu menatap keluar jendela dan menikmati pemandangan jalanan yang mereka lalui.
"Nanti aku telepon Eren untuk atur cutiku. Biar lusa kita bisa berangkat ke tempat Jillo dan Chila," ujar Bima. Pria itu akhirnya membuka suara setelah tidak ada lagi perbincangan antara istri dan anaknya.
"Nanti aku siapkan peralatan kita untuk pergi."
"Sekolahku gimana, Mi?" Kello menatap maminya dari belakang. Jangan lupakan jika saat ini Kello sudah berada di bangku SMA.
"Nanti mami ijinkan dengan kepala sekolahnya langsung. Tenang saja, kepala sekolahnya teman mami."
"Mami kenal dengan Pak kepala sekolah?" Suara Kello terdengar terkejut menatap maminya.
"Kenal, dong. Kan, Pak Ernest itu teman arisan mami."
"Hah? Yakin teman arisan Mami itu Pak Ernest? Setahu aku Pak Ernest laki-laki macho dan enggak suka arisan. Buktinya ditawari sama Bu Komala aja buat ambil baju atau tas, Pak Ernest enggak mau."
Kello tentu saja tidak percaya jika kepala sekolah yang ia kenal sebagai pria penuh wibawa itu mengikuti arisan yang sama dengan maminya. Pak Ernest baru menjabat sebagai kepala sekolah bertepatan dengan saat Kello pertama kali masuk ke sekolah menengah atas. Tentu saja citra yang ditampilkan Pak Ernest adalah seorang pria maskulin yang penuh dengan wibawa. Terlebih lagi, pria itu juga memiliki istri yang cantik dan berprofesi sebagai direktur utama di sebuah perusahaan.
"Kalau ibu Komala yang kamu maksud nawarin baju atau tas, jelas aja Pak Ernest menolak. Orang dia enggak doyan kayak gituan." Nia menyahut dengan santai.
"Terus, kalau enggak doyan baju atau tas, Pak Ernest doyan apa dong, Mi?"
"Panci, wajan, dan sebagai macamnya. Coba aja suruh Bu Komala buat tawarin beliau barang-barang itu, pasti beliau mau."
KAMU SEDANG MEMBACA
BIMA & NIA [3 YEARS LATER]
General FictionKehidupan Nia setelah menikah dijalani dengan santai dan tenang. Meskipun terkadang ada kerikil dalam pernikahannya, Nia bisa menyingkirkannya dengan mudah. Ada banyak yang menuduhnya sebagai perebut suami orang, menjadi istri kedua, dan mau bahagi...