"Apa?!?" seorang gadis terkejut pada apa yang dikatakan oleh ibunya.
"Ssst ..." ibunya menyuruhnya diam.
"Bun, jangan aneh-aneh dong." gadis itu merengek-rengek pada ibunya.
Bundanya pun tersenyum hangat kepadanya. "Ini yang terakhir kalinya, Xandra."
Orang yang dipanggil Xandra pun menyebikkan bibirnya kesal. "Dulu juga gitu ngomongnya."
"Tapi hidup di pondok enak, 'kan?" tanyanya. Sebelumnya, Sarah memang pernah meminta putrinya untuk sekolah pondok.
"Iya sih," ucap Alexandra, "Tapi kenapa tiba-tiba nyuruh gitu ke aku?"
Sarah membuang nafas panjang. "Wasiat kakek --"
"Wasiat lagi," potong Alexandra. Rasanya Alexandra benar-benar ingin mengutuk wasiat itu. Awal mula hanya memintanya untuk sekolah pondok, sekaligus tinggal di pesantren. Baiklah, dia menerima. Tapi sekarang?
"Pokoknya kamu harus nikah!"
"Buun .."
"Ini demi wasiat kakek kamu, Nak."
"Ya udah, nggak usah dipenuhin aja sekalian."
"Nggak bisa gitu, Nak."
"Kenapa? Biar saja jika warisan itu jatuh ke Valentino sama mamanya," sungutnya kesal. Dia sama sekali tidak peduli dengan warisan itu. Jika perjodohan adalah syarat terakhir dalam wasiat itu, maka dia lebih memilih merelakan harta warisan itu.
"Nak, kamu pasti tahu bencana apa yang akan terjadi jika mereka mendapatkan seluruh harta warisan."
Alexandra menghembuskan nafas berat. Dia sangat tahu sifat ibu dan saudara tirinya, rakus dan tamak. Jika harta itu jatuh ke tangan mereka, maka mereka akan berbuat semena-mena. Dan itu tidak boleh terjadi.
Sarah adalah ibu kandungnya yang diceraikan oleh ayah kandungnya sendiri gara-gara ulah mama tirinya. Dan sekali lagi, mama tirinya dan saudara tirinya tidak boleh berbuat ulah lagi.
"Aku masih kelas dua Aliyah, Bun." Alexandra hanya ingin mengulur waktu agar tidak segera menikah.
Sarah justru tersenyum lembut. "Nggak usah khawatir, suami kamu mengerti betul apa yang kamu butuhkan. Dan dia bilang akan menikahimu pas mau kelas tiga Aliyah."
Mata Alexandra membulat. "Loh, dia udah setuju mau nikah sama aku? Dia kenal sama aku?"
Sarah lagi-lagi tersenyum. "Kenal banget malah. Kamu juga kenal ko, Sayang."
"Loh, aku juga kenal? Beneran, Bun?"
"Iya, Sayang. Jadi kamu setuju, 'kan?"
Tubuhnya kembali lemas kala pertanyaan itu kembali mengusik telinganya. Pada akhirnya dia harus tetap mengiyakan ucapan ibunya, sebagai tanda bakti kepada ibunya.
"Alhamdulillah ..."
***
Namanya Alexandra Angelina Anderson. Dia adalah seorang blesteran Jawa dan Eropa. Setelah lulus SD, dia terpaksa mondok karena wasiat dari kakeknya. Dia sangat cantik, dan digadang-gadang sebagai lemon tercantik. Lemon merupakan kependekan dari bule mondok. Dikatakan tercantik, karena bukan hanya dia saja lemon di pondok itu.
Pondok Pesantren Al-Ghazali. Di sanalah kini dia bernaung. Hidup berdampingan dengan segala kesederhanaan. Tapi jangan salah, dia sangat bahagia hidup di sini.
"Lexa," panggil temannya.
"Iya?"
"Kamu kok nglamun sih?"
Alexandra justru tersenyum kaku, tidak tahu harus melakukan apa.
"Kamu pasti ada masalah. Iya, 'kan?"
"Aku bingung, Ma."
"Bingung kenapa?" Emma bertanya. Emma juga merupakan salah satu lemon selain Lexa di sana.
"Aku terkena masalah besar."
"Masalah?" pekik seseorang yang baru datang.
"Salma, jangan keras-keras!" perintah Alexandra.
Salma justru cengengesan sembari duduk di bangku yang sama dengan Alexandra dan Emma. Yeah, mereka bertiga duduk sebangku, tanpa harus berdesak-desakan karena bangku yang cukup panjang.
"Tumben udah dateng? Biasanya telat," cibir Emma.
"Enak aja kamu." Salma memang yang paling sering telat karena dia adalah salah satu santri nderek.
"Santai, Sal." Emma cengengesan.
"Iiih, jadi dengerin nggak sih?" tanya Lexa kesal.
"Hehe, oke lanjut," ucap Emma semangat.
"Ini peringatan buat kalian, kalo aku udah ngomong, kalian nggak boleh teriak-teriak."
"Iya-iya, trus apaan?" Salma sudah sangat penasaran.
"Aku mau dijodohin."
"What?!?" Emma berteriak.
"Innalilahi."
Plak!
"Lu kok malah bilang innalilahi sih, Salma?" ucap Alexandra kesal setelah sedikit menampar bibir tipis milik Salma itu.
"Itu, 'kan musibah, Lexa. Jadi aku bilang gitu."
"Tapi nggak segitunya, Salma."
"Ehh, ini beneran?" selonyor Emma.
"Hmm." Alexandra menganggukkan kepalanya.
"Kapan?" tanya Salma.
"Qiyaamaan!"
Mendengar aba-aba itu, sontak semua siswi langsung berdiri. Mereka berdiri untuk menghormati kedatangan guru mereka atau saat guru mereka lewat di hadapan mereka di kelas.
Dengan kemeja warna putihnya dan sarung songket warna hitam, pria itu melewati siswi-siswinya dan menuju tempat duduk guru.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh," salam guru itu.
"Wa'alaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh," balas para siswi.
"Juluusan!"
Barulah setelah aba-aba itu terdengar dari mulut ketua kelas, mereka di perbolehkan duduk.
Suasana yang awalnya ricuh menjadi senyap dan menegangkan. Tak ada dari mereka yang berani membuka suara.
"Yang terlambat berdiri di depan kelas sampai lima belas menit." Pak ustadz itu mulai memerintah. Namun tidak ada yang pergi dari kelas. "Salma," panggilnya.
"Iya, Pak?"
"Kamu nggak berdiri?"
"Loh, saya nggak terlambat, Pak."
"Jadi nggak ada yang terlambat?" tanyanya, "Baiklah, sekertaris absen semua santri!" perintahnya.
Pria itu sempat menatap ke arah salah satu muridnya. Dia tersenyum tipis saat melihat dilema di wajah cantik itu.
"Arghhhhh ..." gadis itu masih belum bisa menerima ini. Bagaimana mungkin dia menikah di usia semuda ini?
Lalu bagaimana perawakan suaminya nanti? Apakah dia tua? Apakah ia gemuk? Apakah dia item? Semua pertanyaan itu terus berputar bagai kaset rusak di pikirannya.
"Apa aku akan bahagia?"
Tbc
~ Aliyah = setara dengan tingkatan SMA.
~ Nderek = sebutan untuk santri yang mengabdikan diri pada kyai. Salah satu tugasnya adalah memasak makanan untuk para santri.
~ Qiyaman = dalam bahasa arab berarti berdiri.
~ Julusan = dalam bahasa arab berarti duduk
KAMU SEDANG MEMBACA
Gara-Gara Wasiat [END]
RomanceAlexandra Angelina Anderson. Dia seorang santri blasteran. Dia cantik, pintar, kaya raya, seolah dia tidak memiliki nilai minus. Namun, nyatanya tidak. Dia lahir di keluarga broken home. Dia hidup dengan di bawah kendali wasiat dari mendiang ka...