Alexandra langsung dibawa ke rumah sakit terdekat. Tubuhnya sudah terbaring di atas ranjang rumah sakit. Alexandra terus saja meringis sambil menahan rintihan dan teriakan akibat rasa sakit yang ia hadapi. Keringat dan air matanya seolah tak lelah untuk terus membasahi tubuhnya.
Dia tolehkan wajahnya ke samping kanan. Di mana di sana, suaminya tengah ikut mengantarnya menuju ruang persalinan. Wajahnya nampak begitu panik. Dia tersenyum. Dia merasa sangat bersyukur karena telah dipersatukan dengan suaminya meski dengan cara yang sangat tidak etis. Sangat tidak aesthetic menurutnya.
"Mas ...." Suara tertelan, hampir tidak terdengar.
Azriel yang merasa dirinya terpanggil pun menoleh ke arah sang istri. "Ada apa?" Tatapan matanya menyorot penuh ketulusan dan kelembutan.
Untuk sejenak Alexandra terpaku. Bukan, dia lebih ke arah menikmati tatapan itu. Tatapan yang mungkin saja ini terakhir kalinya dia dapat menikmati tatapan itu.
Dia sudah banyak mendengar mengenai kematian ibu di saat melahirkan. Dia masih sangat muda. Dia takut, dia tidak bisa melewati persalinan ini.
"Dek Lin?" panggil Azriel saat tak mendapat sahutan apapun dari sang istri.
Alexandra pun langsung tersadar dari hayalannya. Hayalan menuju kematian.
"Aku mau normal aja, Mas," ucapnya enteng. Meski dia juga tahu apa resiko yang harus dia tanggung dari persalinan normal.
Azriel langsung menggeleng keras. "Operasi aja, ya? Kamu masih muda. Nanti, kehamilan kedua, kamu bisa lahiran normal." Azriel tersenyum tipis sembari menyembunyikan kekhawatirannya.
Alexandra justru merasa kecewa karena mendengar jawaban dari sang suami. Bukan berarti dia tidak senang jika suaminya itu mengkhawatirkan kondisinya. Akan tetapi, dia kecewa karena suaminya berkata demikian yang berarti tidak mempercayai kemampuannya.
Dengan lemas, dia genggam tangan dingin suaminya. Dia tatap dalam mata suaminya. "Percaya sama aku, Mas. Aku bisa!"
Azriel kembali menggeleng. Dia tidak mau kehilangan istrinya.
"Mas, kalo aku operasi, kehamilan-kehamilan selanjutnya pasti nggak akan jauh berbeda. Kalau aku sekarang operasi, mungkin kehamilan kedua juga sama. Dan bagaimana kalau aku cuma ditakdirkan punya satu anak?"
Deg!
Jantung Azriel seolah berhenti berdetak. Pikirannya bukan kearah istrinya yang tidak bisa hamil lagi. Melainkan ke arah, istrinya yang harus gugur di persalinan nanti.
"Kita masih bisa punya anak lagi, Dek ... jangan aneh-aneh!" ucapnya tegas mencoba untuk tegar.
Alexandra menggeleng lemah. "Ini kehamilan pertama aku, Mas. Aku bener-bener pengen ngerasain persalinan normal. Aku seorang ibu, Mas, aku pengen ngelakuin yang terbaik buat anak aku. Aku pengen berjuang buat anak aku. Aku pengen ngerasain euphoria abis lahiran, Mas."
"Terlalu berbahaya. Dek, aku juga seorang suami, aku nggak ridho kehilangan kamu." Sudah, Azriel sudah menangis. Dia tak mampu memenuhi permintaan sang istri.
"Aku bakal baik-baik aja, Mas. Percaya sama aku." Alexandra tersenyum tipis.
Azriel tetap menggelengkan kepalanya. Namun, sangat samar.
"Mas, kalau aku memang nggak bisa lolos dari masalah ini, aku minta sama kamu, turutin permintaan terakhir aku. Setidaknya, aku tau rasanya berjuang demi anakku lewat persalinan ini."
Jantung Azriel semakin tidak bisa dikontrol. Dia sangat ketakutan sekarang.
"Dek, kamu hamil selama sembilan bulan, itu bukan perjuangan, hm? Kamu sudah berjuang keras buat anak kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gara-Gara Wasiat [END]
RomanceAlexandra Angelina Anderson. Dia seorang santri blasteran. Dia cantik, pintar, kaya raya, seolah dia tidak memiliki nilai minus. Namun, nyatanya tidak. Dia lahir di keluarga broken home. Dia hidup dengan di bawah kendali wasiat dari mendiang ka...