2. Apes

12.2K 1K 7
                                        

"Arghhhhh ...."

"Lexa."

Alexandra yang merasa di panggil pun menoleh ke arah suara. "I-- iya, Pak." Alexandra menjadi gugup saat harus bersitatap dengan ustadznya yang sangat menawan itu.

"Kenapa teriak-teriak?"
Matanya melebar. Dia pun menoleh ke arah sahabat-sahabatnya. "Emang gue tadi teriak?" tanyanya lirih kepada mereka.

"Loh, lo nggak sadar?" tanya Emma penasaran.

"Gue juga nggak tau," lirih Lexa.

"Tadi kamu teriak, Lexa," selonyor Salma.

"Lah, masa sih?"

"Lexa!" panggil ustadz itu dengan nada tinggi.

Alexandra tersentak dengan panggilan menyeramkan itu. "A--- anu, Pak."

"Anu apa?" potong pria itu.

"A--- anu tadi ngigau," jawabnya asal.

"Ngimpi apa emang?"

"Aduh ...," lirih Alexandra kebingungan.

"Kalo ngalmun jangan ngomong ngigau, Lexa. Itu bohong, namanya dzolim. Kamu paham, 'kan?"

Alexandra mengumpat dalam hati. Bagaimana bisa ustadz itu mengetahui kebohongannya. "Iya, Pak."

Pelajaran pun kembali di lanjutkan. Namun, Lexa sama sekali tidak bisa fokus. Fokusnya terus saja teralih kepada perjodohan wasiat itu.

***

"Kenapa sih lo tadi teriak-teriak?" tanya Emma.

"Gue lagi mikirin masa depan gue," jawab Alexandra sekenanya.

"Udah tenang aja, soal itu pikirin besok lagi."

"Nggak bisa gitu lah ... bayangin kalo ternyata calon suami gue amsyong."

Plak!

Emma menepuk bibir lancang itu. "Kalo ngomong ati-ati."

"Huaaaa, gue nggak siap, Ma." Alexandra merengek-rengek kepada Emma.

"Nggak usah mikir yang enggak-enggak, yakin aja kalo itu yang terbaik. Nggak mungkin juga, 'kan, tante Sarah mau ngejodohin kamu sama om-om. Udahlah, enjoy aja ...," selonyor Salma saat baru datang.

"Tumben bijak," cibir Emma.

***

"Baru selesai?"

Pria yang baru saja memasuki ruangan pun menoleh ke arah suara. " Iya, materi agak panjang."
Namanya Azriel Xavier Altair. Pria tampan blasteran itu memasuki ruangan guru putra yang ada di area pondok putri.

"Oh iya, nikahan lo kapan?"

"Tahun depan, Felip."

"Lo udah tau calon lo kayak gimana?"

"Gimana nggak kenal? Tiap hari aja ketemu."

"Loh emang siapa?" tanya Felip penasaran.

Bukannya menjawab, El justru tersenyum misterius. "Lo bakal tahu nanti."

***

Pelajaran kedua pun kembali dilanjutkan dengan ustadz yang sama.

"Ada yang ditanyakan pada materi hari ini?" tanyanya.

"Mboten, Pak." sahut murid-muridnya.

"Kalau begitu, Lexa," panggilnya.
Lexa yang sadar dirinya di panggil pun menoleh ke arah suara.

"Dalem, Pak."

"Iya, kamu sekarang ke depan, ulangi keterangan materi kemaren."

"Ya Allah ...," ucapnya dalam batin. Dia masih sangat ingat, bahwa saat materi sebelumnya dia sama sekali tidak mendengarkan penjelasan dari gurunya.

"Ayo, kenapa diem?"
Dengan penuh keterpaksaan, dia bangun dari duduknya, melangkah dengan penuh keraguan. Entahlah, dia tidak tahu akan bicara apa di depan papan tulis itu.

"Bismillahirrahmanirrahim ...." Mulutnya mulai berbicara dengan lancar. Bisa dikatakan, Alexandra ini adalah santri yang jenius, jadi dia cukup bisa dalam hal ini.
Saat penjelasannya sudah selesai, dia menghembuskan napasnya panjang.

"Mbak-mbak, dapat dimengerti?" tanyanya lembut.

Hening ....

"Sudah." Emma dan Salma membantu Alexandra agar bisa segera duduk, sebelum dia dihujani dengan berbagai pertanyaan dari pak ustadz.

Alexandra menghembuskan napasnya lega. Dia sudah berjalan untuk duduk.

"Tunggu."

Suara itu menggema bagai petir di siang bolong. Suara itu benar-benar terdengar menakutkan.
Alexandra pun terpaksa berbalik, dan kembali menuju ke depan papan tulis.

"Buka surat Maryam, baca ayat satu sampai ayat sepuluh."
Alexandra mengambil Al-Qur'an untuk ia baca seperti ucapan ustadz itu.

"Uraikan seluruh tarkibannya, lalu kamu terjemahkan, kamudian kamu tafsiri."

Matanya membulat seketika. Memberi terjemahan sekaligus tafsiran apalagi tarkibannya, itu akan sangat sulit.

Ayolah, Alexandra bahkan tidak punya darah timur tengah, dan sekarang, dia justru diutus untuk menerjemahkan dan menafsirkan ayat ini.

"Super apes lo, Alexandra."

Dengan gugup ia hendak mengatakan tidak sanggup. Perlahan dia mengangkat pandangannya hingga tatapannya bertubrukan dengan tatapan yang sama dari mata keemasan itu.
Alexandra tenggelam dalam tatapan itu. Alexandra dengan tenang menyelami tatapan itu.

"Ekhem."

Deheman itu mampu menyadarkan mereka dari zina mata yang mereka lakukan.
Alexandra menoleh ke arah suara itu, dan dia mendapati Katherine yang telah melakukannya. Entah mengapa, tapi Alexandra merasa ada sesuatu yang hilang. Dia merasa tidak rela atas kehilangan itu. Namun, dia sama sekali tidak tahu apa yang baru saja hilang dari kenyamanan tadi.

Azriel justru merasa berdebar-debar. Dia menghembuskan napasnya panjang, mencoba menetralkan degup jantungnya.

"Duduklah ... sebentar lagi akan pulang." Dengan berat hati, Azriel harus membiarkan mangsanya lolos begitu saja.

Alexandra merasa tidak percaya pada apa yang baru saja ia dengar. Benarkah ini? Seorang Azriel Xavier Altair, melepaskan mangsanya begitu saja? Wow, sungguh sebuah keajaiban.

Azriel menyeringai dalam diamnya. "Kali ini kau lolos, Nona Anderson. Namun, tidak nanti," batinnya berucap.

Tbc

Next or stop?

Gara-Gara Wasiat [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang