19

41 6 2
                                    

"Namgyu, aku harus mengejar Jiyeon." Ucap Yeojun sambil bersiap berlari namun dicegah Namgyu.

"Hyung apa maksudmu?"

"Aku jelaskan nanti. Aku akan pulang naik taksi." Setelah mengatakan itu, Yeojun pun bergegas lari dan mengikuti ke arah Jiyeon berlari.

Yeojun tidak memedulikan para anggota yang kebingungan menatapnya dari dalam mobil. Juga Namgyu yang tidak tahu harus mengatakan apa pada para anggota dan sopir mereka. Jiyeon? Itu kalau Namgyu tidak salah dengar.

Yang pasti saat ini Yeojun, seorang idol yang hanya memakai topi dan masker sebagai perlindungan dari media, sedang berlari mengejar Jiyeon. Mereka berdua terus berlari di jalanan yang sepi di antara distrik yang sibuk dengan rutinitas mereka masing-masing.

Hingga akhirnya Yeojun berhenti berlari karena Jiyeon juga berhenti berlari di atas sebuah jembatan yang menghubungkan dua daerah pemukiman yang terpisahkan oleh sungai kecil.

Jarak mereka kini hanya beberapa meter dan Jiyeon belum menyadari keberadaan Yeojun.

Jiyeon berdiri menatap ke arah sungai dan membiarkan tangannya menyangga dirinya dengan berpegangan pada pagar besi di tepi jembatan. Terlihat air mata masih sesekali menetes tetapi ia hanya terdiam. Seperti ingin menangis dalam diam dan tidak mau ikan di sungai mendengarnya.

Yeojun perlahan berjalan mundur. Ia sudah memastikan jika Jiyeon berhenti dan tidak berbuat aneh-aneh, mungkin sebaiknya ia cukup mengawasi dari jauh. Karena ia takut Jiyeon masih tidak mau menemuinya.

Tetapi Yeojun terlambat. Tepat ketika ia melangkahkan kaki untuk kedua kalinya, Jiyeon menoleh.

Perempuan itu terdiam selama beberapa detik.

"Kenapa mengikutiku?"

Yeojun bisa merasakan suasana yang begitu dingin, tatapan tajam mata Jiyeon dan ucapan yang begitu ketus. Ia tidak mengenal perempuan di hadapannya itu.

"Jiyeon, aku hanya tidak ingin kau-"

"Pergi ke agensi itu dan membakarnya? Tenang, aku tidak akan melakukannya. Lagipula aku tidak bertujuan kesana."

Yeojun terdiam sejenak sebelum kembali berkata, "Kau membenciku? ... karena hari itu aku tidak membaca pesanmu?"

"Aku sudah melupakan hari itu."

"Tapi kau masih membenciku."

"Aku tidak membencimu, Yeojun-ssi."

Panggilan itu. Mereka pernah membahasnya. Dan saat Jiyeon memulai memanggil Yeojun bukan dengan sebutan sunbae atau oppa, saat itulah Yeojun merasa mereka semakin jauh.

Yeojun tidak mau membuat mereka lebih jauh dari ini, maka ia mendekat. Ia melangkah perlahan ke arah Jiyeon.

"Lalu kenapa kau menghindariku? Kenapa kau bersikap seperti ini padaku? Kau- kau tidak pernah sedingin ini."

"Lalu aku harus bagaimana?" Jiyeon mulai kembali berkaca-kaca. "Saat karirku sudah hancur, aku sudah tidak memiliki hak untuk berteman dengan para idol. Aku hanya salah satu penduduk negara ini yang melakukan loveshot dengan direktur agensinya sendiri. Aku menghancurkan karirku sendiri. Aku membuktikan bahwa tanpa restu dari ibuku, tidak akan ada yang berhasil."

Jiyeon menangis saat meluapkan isi hatinya dan Yeojun langsung memeluk perempuan itu.

"Bahkan ... satu-satunya orang yang mendukungku sejak awal, mengkhianatiku. Ayahku sendiri kembali mengangkat agensi itu. Mengakuisisi agensi itu seolah tidak pernah terjadi apapun."

Kini Yeojun tahu, perempuan itu masih terluka. Dan luka itu tidak pernah sepenuhnya sembuh. Bahkan ada luka yang baru muncul. Sedangkan Yeojun dengan bodohnya malah bertanya kenapa perempuan itu bersikap dingin atau semacamnya.

Yeojun masih memeluk perempuan itu dan menepuk punggungnya perlahan beberapa kali. Ia membiarkan Jiyeon meluapkan semuanya sampai perempuan itu merasa lebih tenang.

"Maafkan aku." Ucap Yeojun setelah beberapa saat.

Jiyeon pun mundur dan lepas dari pelukan Yeojun. Ia menatap laki-laki itu dengan tatapan bingung.

"Maafkan aku. Hari itu, juga hari saat kita bertemu, dan hari ini. Aku tidak tahu apa-apa tentangmu dan berusaha mencari jawaban sendiri dengan menduga duga. Dan hari itu, seandainya-"

"Semua sudah terjadi." Jiyeon memotong ucapan Yeojun. "Aku sudah menerimanya. Yah mungkin tidak sepenuhnya. Bahkan setelah mendengar berita itu, aku langsung berpikir untuk pergi ke Bluebyeol."

"Ayo."

"Ayo? Kemana?"

"Bluebyeol entertainment. Kau bisa minta penjelasan langsung pada ayahmu kenapa beliau melakukan itu."

Jiyeon menggeleng dengan cepat. "Tidak. Memang benar aku sempat berpikir kesana, tapi kurasa lebih baik tidak kulakukan. Toh tidak ada gunanya."

"Setidaknya kita bisa mendapatkan penjelasan. Atau mungkin akuisisi dibatalkan."

"Tidak. Dan aku rasa itu bukan hal yang benar. Mungkin ayahku memang memiliki suatu alasan. Lagipula aku bukan idol lagi. Apapun yang terjadi di dunia entertainment itu tidak ada urusannya lagi denganku."

Yeojun hanya mengiyakan dan memilih untuk tidak melanjutkan topik itu. Jika memang Jiyeon tidak ingin membahas, ia juga tidak mau memaksa.

"Meskipun kau bukan idol lagi, aku harap kau sesekali membaca berbagai pesan penggemarmu. Aku yakin mereka tulus menuliskan pesan dukungan untukmu."

Jiyeon mengangguk. "Akan kubaca."

"Sekarang, kau mau kembali ke restoran?"

"Iya aku harus bekerja, sebentar lagi seharusnya pergantian shift."

Mereka pun berjalan kembali ke restoran, kali ini tidak dengan berlari kencang. Hanya berjalan perlahan dan santai. Mungkin itu bisa membuat Jiyeon menjadi lebih tenang lagi.

"Ngomong-ngomong, Yeojun, maafkan aku. Hari itu, saat aku mengantarkan pesanan, aku sangat terkejut dan juga, entahlah, aku merasa tidak tepat bertemu denganmu atau idol lainnya. Juga hari ini, aku tidak bermaksud terdengar marah saat kau mengikutiku, aku hanya terbawa emosi. Intinya, aku harap kau tidak salah paham."

Yeojun pun tersenyum. "Aku akan berusaha memahami dan mendengarkan penjelasanmu. Jika aku tidak tahu apapun,  aku akan diam dan menunggu. Kurasa itu yang lebih baik daripada menduga berbagai hal yang belum tentu benar."

"Terima kasih."

shineling | yoongi jieunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang