25

25 3 0
                                    

"Ngomong-ngomong, apa kau menyukai Jiyeon?"

"Menyukai apanya."

"Yah kau terlihat sangat berusaha melakukan apapun untuk Jiyeon. Kalau di drama dengan genre romantis, kau pasti sangat menyukainya."

Yeojun menggelengkan kepalanya. "Padahal kau yang mulai mengajakku berbicara tentang Jiyeon tadi."

"Memang sih. Tapi kan--"

"Hyung, kau sudah mandi ya? Aku belum, kalau begitu aku mau turun. Kau bisa jaga rooftop jangan sampai ada nyamuk yang mampir ke dorm kita."

Soohyun hanya bisa terdiam dan membiarkan Yeojun meninggalkannya. Lebih baik memang ia tidak bertanya lebih lanjut pada Yeojun. Karena ia juga merasa bahwa Yeojun pun memang tidak bisa menjawab pertanyaan itu.

Terkadang manusia tidak bisa memahami perasaannya sendiri, kan?

Atau kalau paham, mungkin memilih untuk menyangkal atau membohongi diri sendiri daripada mengakui yang sesungguhnya dirasakan.

***

Restoran sedang tidak memiliki antrean pesan antar. Jiyeon tidak sibuk bolak balik tetapi ia juga tentu tidak bisa pulang. Maka disinilah ia menunggu siapa tahu ada panggilan mendadak untuk mengantar pesanan, duduk di sebuah kursi yang berada di sudut restoran yang jarang dipakai kalau tidak penuh.

Jiyeon sesekali membantu mengambilkan minuman untuk pelanggan meskipun ahjumma sudah melarang. Sejak awal Jiyeon menjadi pegawai pesan antar, bukan yang melayani di restoran. Tentu karena sudah cukup yang melayani, ahjumma itu sendiri, bersama suami dan anaknya.

Ahjumma beberapa kali meminta Jiyeon cukup duduk diam sambil fokus pada persiapan ujian. Tapi memang Jiyeon merasa tidak enak karena ia seorang pekerja, bukan pelanggan atau tamu yang bisa duduk santai.

"Pakai waktumu dengan baik." Ucap ahjumma yang baru saja mendudukkan dirinya di hadapan Jiyeon.

Saat ini sedang tidak ada pelanggan masuk dan suami serta anaknya bisa mengatasi pelanggan yang ada. Ahjumma ingin berbicara sebentar dengan Jiyeon.

"Putraku, dia dulu ngeyel tetap kerja paruh waktu sambil belajar, hasilnya dia malah pergi wamil dan mencoba lagi setelahnya."

Putra ahjumma memang pernah gagal dalam ujian. Setelah itu dia memutuskan untuk pergi wajib militer lebih awal, lalu mengikuti ujian untuk kedua kalinya setelah melaksanakan kewajiban. Tetapi takdirnya sungguh indah, dia bisa masuk ke universitas teratas dan mendapatkan pekerjaan bagus.

"Tapi memang sepertinya dia dianugrahi keberuntungan sampai akhirnya lolos dan bahkan direkrut perusahaan sebelum dia benar-benar lulus kuliah."

"Bukankah dia juga rajin belajar? Terlihat seperti itu."

Ahjumma mengangguk. "Benar. Kembali dari wamil, dia belajar sangat keras dan ya akhirnya berhasil."

Ahjumma itu menoleh sejenak pada putranya sambil tersenyum lalu kembali menoleh pada Jiyeon. Terlihat ahjumma sangat bangga pada putranya.

"Jiyeon-a, semua yang terjadi pada hidup, sudah dirancang sedemikian rupa. Ada yang harus melewati berbagai hujan badai supaya bisa melihat pelangi. Dan aku yakin kau akan segera melihat pelangi itu. Tapi, sebagai orang tua, aku menyarankan supaya kau bisa lebih sungguh-sungguh dan memantapkan dirimu. Tentukan apa yang mau kau lakukan, lalu berusahalah untuk meraihnya dengan sepenuh hati.

Kalau kau mau masuk perguruan tinggi, maka belajarlah dan masuklah. Kau mau pekerjaan bagus seperti perusahaan putraku? Maka tunjukkan kalau putraku bisa merekomendasikanmu. Apapun impian yang mau kau raih, aku harap kau mau terus berjuang meraihnya dan jangan sampai ada penyesalan."

Jiyeon mengangguk sambil tersenyum dan berusaha menahan matanya yang sudah berkaca-kaca.

"Apalagi jika ibumu mendukungmu, kau harus benar-benar melakukannya. Ketika kau ingin meraih sesuatu dan orang terdekatmu juga mendukungmu, maka tidak ada yang lebih indah dari itu di dalam hidup."

Sejujurnya Jiyeon tidak mengerti situasinya. Dulu ketika ia ingin menjadi seorang penyanyi, ibunya tidak mendukungnya dan terus berharap Jiyeon pergi kuliah, mendapat pekerjaan bagus dan mengantongi pendapatan yang stabil. Akan tetapi, saat ini, ketika ia melupakan keinginan dan memilih untuk pergi kuliah, ibunya secara perlahan mendukungnya untuk bernyanyi.

"Percayalah padaku. Sampai kapanpun, orangtuamu pasti selalu mendukungmu, selama kau melakukan hal yang tidak merugikan siapapun. Mungkin ada yang tidak bisa memberi dukungan karena berbagai alasan, tetapi orangtua tidak punya alasan untuk tidak mau melihat anaknya menggapai impian. Kalau ada yang punya alasan itu, lebih baik mereka tidak memiliki anak, kembalikan anaknya pada malaikat yang bisa menjaga."

Akhirnya Jiyeon tertawa kecil. Meskipun ia tidak mengerti, tetapi ahjumma baru saja membuatnya lebih membuka mata. Kini ia yakin ibunya tidak sepenuhnya mengabaikan impian Jiyeon, hanya saja mungkin waktu yang kurang tepat.

"Apa karena ibuku seorang peramal ya? Tidak mau mendukungku karena tahu akan ada kejadian itu." Jiyeon berkata sambil menatap bukunya. Ia hanya tidak mau menunjukkan tatapan sendu kepada ahjumma.

"Baik, anggap saja ibumu tahu. Sekarang, kau sudah menghadapi badai itu. Tapi apa yang dilakukan ibumu? Dia mendukungmu, berusaha mengajakmu untuk keluar dan melihat pelangi. Apa karena dia tahu di masa depan kau benar-benar melihat pelangi? Mungkin. Tapi menurutku, bukan karena pelangi itu. Ibumu mendukungmu, karena yakin kau bisa. Ibumu percaya padamu."

"Kalau ibu bukan peramal? Membiarkanku terjebak di badai?"

"Manusia buta akan masa depan, tidak ada yang bisa melihatnya. Tapi, saat berada dalam kegelapan badai, untuk bisa keluar dengan tegap dari badai itu, berjalan bersama-sama adalah salah satu jalan keluar. Tidak ada yang dengan sengaja membiarkanmu terjebak, apalagi orang yang menyayangimu, justru kau akan digandeng dan diajak keluar bersama. Ibumu tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi dia yakin kau layak mendapatkan yang lebih baik daripada badai itu."

"Bagaimana kalau aku bertemu badai yang lainnya?"

"Semua badai itu menerpa untuk membuatmu menjadi lebih kuat. Percayalah, suatu hari nanti, kau akan menuai semua hasilnya dan berterima kasih pada dirimu karena sudah bertahan dan berjuang."

"Ahjumma... aku tidak seberani itu." Jiyeon menggelengkan kepalanya putus asa.

"Kau harus lebih berani daripada orang-orang yang menciptakan badai pada hidup orang lain. Dengan begitu, kau bisa bersinar dan mengalahkan gelapnya badai itu."

Ahjumma menggenggam tangan Jiyeon lalu mengusap punggung tangan Jiyeon dengan jempolnya. "Kau pasti bisa."

"Selamat datang silakan masuk!" Ucap ahjussi yang berdiri di depan mesin kasir.

Jiyeon dan ahjumma ikut menoleh tetapi seseorang yang tadi berdiri di ambang pintu sudah menghilang.

shineling | yoongi jieunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang