II. MERAWAT HARMONI: Nostalgia

481 28 0
                                    

Ketika membuka mata, kulihat wajah Tari yang sangat dekat di wajahku. Mungkin sedari tadi ia berusaha membangunkanku. Oleh karenanya, ia kini menatapku begitu dekat.

"Tari ...."

"Sayang. Bangun, gih. Ini sudah siang," ucapnya sambil mengulas senyum yang hangat.

Setelah kuanggukkan kepala, Tari membantuku bangkit, lalu mengambilkan kursi roda dan kemudian membantuku lagi duduk di kursi roda.

"Sarapannya udah siap," katanya sembari membawaku ke ruang makan.

Aku sungguh terharu bahwa Tari masih bertahan dengan keadaanku seperti sekarang ini. Bukan hanya itu, kurasa cinta dan perhatiannya tidak berkurang sedikit pun.

"Suapin?" tanyanya sambil mengambilkan semangkok bubur.

"Nggak perlu. Aku bisa sendiri," balasku.

Tari pun menaruh bubur di hadapanku, lalu ia duduk di sebelahku untuk ikut menyantap sarapan di pagi ini.

"Aku ... mau ke kantor hari ini," kataku sambil memasukkan bubur ke mulut.

"Oh. Aku antar kamu, ya." Tari menyantap buburnya dengan penuh khidmat.

"Apa nggak merepotkan kamu?"

"Sayang, aku, kan, istri kamu. Sudah semestinya kita saling membantu, kan?" Lagi-lagi Tari menyunggingkan senyum yang tak dapat kubalas seperti dulu.

Akhir-akhir ini aku memang tidak pernah bisa mengulas sebuah senyum. Ini semua karena diriku yang tidak mampu melakukan apa-apa. Aku hanya orang sakit sekarang yang harus serba dilayani oleh istriku sendiri. Tari bukan pembantu, tetapi istriku. Namun, ketika aku selalu dilayani dengan penuh kasih olehnya, diri ini merasa telah bersalah dan seolah Tari adalah pembantuku.

"Kalau begitu, sekalian kita ke dokter untuk cek kandungan kamu."

Tari pun mengangguk setuju.

Setelah menghabiskan bubur nikmat buatan sang istri, kutenggak segelas air putih yang sudah tersedia di hadapan.

"Maaf, ya," ucapku lagi dengan perasaan tidak enak hati karena selalu Tari yang direpotkan.

Kini, Tari menatapku dengan lamat. Serius.

"Aku boleh minta satu hal nggak sama kamu?" tanyanya sambil mengembuskan napas panjang.

"Boleh. Kamu boleh minta apa pun dari aku."

"Aku minta kamu jangan lagi meminta maaf untuk sesuatu yang seharusnya sudah jadi kewajiban aku."

"Tapi ... kenapa? Aku memang ngerasa nggak pernah berguna buat kamu. Kenyataannya seperti itu, kan—"

"Andra. Dengan hadirmu di hidup aku aja, sudah cukup berguna bagi aku. Kehadiran kamu seperti nyawa bagi aku. Karena itu, tolong, jangan pernah minta maaf lagi seolah-olah kamu ngelakuin sesuatu yang jahat sama aku," jelas perempuan tersebut dengan begitu tulus.

Aku pun mengangguk perlahan untuk menyanggupi permintaan sang istri.

"Kalau begitu, sekarang kamu mau mandi atau ...."

"Aku mau mandi. Kamu bantu aku aja ke buthub. Aku bisa mandi sendiri."

Tari pun segera membawaku menuju kamar mandi dan membantu diriku berbaring di buthub.

"Atau ... kita mandi bareng?" Tari tersenyum sedikit menggoda.

"Kamu, kan, udah mandi, Sayang?"

"Nggak apa-apa, sih, kalau memang kamu mau ditemani untuk—"

"Ah, nggak usah. Aku mandi sendiri aja. Kamu tunggu aku di luar aja, ya."

Sang istri kembali mengulas senyum, lalu segera keluar dari kamar mandi, menutup pintu.

I AM YOUR BOSSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang