II. MERAWAT HARMONI: Tak Seharmonis yang Dibayangkan

508 24 0
                                    

"Sayang ...," panggilku pada sang istri di tengah-tengah makan siang yang berlangsung. Hari ini, Tari katanya sedang tidak ada jadwal, karenanya ia bisa pulang cepat dan menemaniku makan siang.

"Iya, Sayang? Ada apa—"

Kriingg! Kriiingg!

Dering ponsel pintar Tari yang tergeletak di meja makan lantas memotong pembicaraan yang sedang berlangsung. Tari melihat layar untuk memastikan siapa yang meneleponnya.

"Sayang, bentar, ya. Ini dari klien penting. Bentar, ya, bentar."

Tari menjauh dari meja makan dan mengangkat panggilan yang katanya penting. Aku tidak heran dan bukan yang kali pertamanya. Aku sudah seperti bukan siapa-siapa bagi sang istri. Mungkin saat ini perusahaan dan uang lebih penting baginya. Akhirnya, semua aku rasakan. Apa-apa yang pernah aku lakukan dulu berbalik menikam seperti sebuah karma dari Tuhan. Aku dulu sangat sering berlaku seperti itu, ambisius dalam bekerja dan lebih mementingkan perusahaan dan uang.

Jika ini adalah karma, Tuhan memang tepat memberikannya padaku. Sebab, apa-apa yang telah diperbuat seorang manusia, pasti akan dirasakan juga di kemudian hari. Namun, ayolah! Aku begitu merindukan sosok istri yang setiap pagi selalu mengecup keningku dengan hangat, memberikan senyuman sebagai pembuka pagi yang indah, lalu membuatkan sarapan dan kopi yang rasanya biasa-biasa saja. Di mana aku bisa mencari sosoknya yang dulu?

"Sayang, maaf, ya. Tadi ... klien pen—"

"Nggak apa-apa. Aku ngerti." Aku segera memutar roda kursi dan kembali ke kamar. Begitu malas sudah rasanya melihat wajah perempuan tersebut. Ia selalu berdalih bahwa klien dan perusahaan lebih penting daripada seorang lelaki yang kini lumpuh tak dapat melakukan apa-apa.

Sepertinya aku memang telah salah menilai seorang perempuan. Di awal, dia begitu sempurna dan selalu sabar menghadapi kekejamanku. Namun, kini semua berbalik pada seorang Andra.

"Sayang—"

"Jangan mendekat!"

Dengan posisi menghadap ranjang, aku menundukkan kepala. Tak ingin rasanya netra ini menatap dia yang telah berubah drastis.

"Kamu kenapa, sih, sebenarnya?"

"Kamu ... sudah berubah, Tari," ungkapku dengan napas sedikit tertahan.

"Berubah bagaimana maksud kamu? Aku ... aku Tari yang selalu kamu—"

"Kamu bukan Tari istriku! Kamu sudah berubah, Tari! Kamu sekarang lebih mementingkan uang, uang, uang, dan uang!" Kubalikkan pandangan, menatap Tari yang kini membelalak dengan tatapan kosong. "Apakah sebegitu pentingnya uang bagi kamu sehingga mengurus seorang suami saja kamu nggak mampu? Kamu nggak punya waktu buat aku, Tari? Bahkan sedetik waktumu saja berarti uang? Berharga sama dengan uang? Kapan kamu ada waktu buat aku?"

Tari tertunduk bisu. Ia berdiri beberapa meter dariku. Namun, sangat jelas kudengar napasnya mengembus dengan kasar.

"Kamu bilang kamu nggak penting bagi aku?" Kini, perempuan tersebut balik menatapku dengan sendu. "Justru semua yang aku lakuin ini buat kamu! Buat kita! Buat anak kita kelak, Andra! Kamu masih bilang aku ngelakuin semuanya cuma untuk uang dan diri aku sendiri?"

"Nggak, Tari. Kamu egois. Kamu sudah menelantarkan aku. Kamu tahu keadaan aku sekarang gimana, kan? Aku lumpuh dan nggak bisa ngelakuin apa pun. Dan kamu tahu apa yang menyebabkan aku lumpuh? KAMU TAHU APA?!"

Tari tak merespons. Ia menatap nanar. Kami bersitatap penuh emosi. Amarah meluap-luap bagai gunung yang siap meletus, erupsi.

"Aku membalaskan dendam kamu pada HARTONO! Aku balas dendam atas yang dia perbuat pada kita! Dan sekarang ... apa balasan kamu? Kamu membalas dengan segala kesibukan kamu itu? Aku butuh kamu, Tari. Aku butuh kasih sayang istri aku." Akhirnya tumpah cairan bening di manik. Tak lagi dapat ditahan oleh seorang Andra yang cengeng. Hari-hariku selalu habis dengan tangis dan luapan kesedihan. Termasuk di hari ini.

I AM YOUR BOSSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang