"Sayang, dimakan dulu sarapannya," ucap Tari sembari meletakkan roti bakar di atas meja dan segelas minuman di sampingnya.
"Makasih, Sayang," balasku sambil tersenyum hangat.
Suasana di pagi ini tak seperti hari-hari sebelumnya kala aku dan Tari saling bertengkar. Beginilah seharusnya, tanpa ada sebuah kecurigaan di hati, atau amarah yang membludak di benak.
"Kamu habisin, ya." Tari tersenyum, lalu menggigit roti miliknya dan mulai mengunyah.
Aku kini mengerti bahwa harmoni itu tidak dicari, tetapi diciptakan. Aku tentu harus berinisiatif menciptakan keharmonisan tersebut. Jika terus-menerus mengikuti apa yang dikatakan pikiran burukku, maka semua bisa saja hancur dalam waktu singkat.
"Vila Palm sudah ada yang keep, loh, Sayang. Hari ini rencananya aku akan bertemu dengan klien bernama Pak Trisno."
"Kamu hebat, Tari. Vila itu sudah lama kosong, dan sekarang sudah ada yang mau menempati. Terima kasih atas apa yang sudah kamu lakukan untuk perusahaan."
"Bukan untuk perusahaan, loh, Sayang. Tapi untuk kita dan anak-anak kita," katanya meluruskan. Kembali Tari tersenyum lebar.
Pagi ini memang sempurna. Tak lagi ada emosi yang meletup-letup. Tak lagi ada kekecewaan di hati. Telah kuusir semuanya dengan kerendahan hati untuk selalu percaya kepada istriku sendiri. Memang, bukan? Semua yang ia lakukan bertujuan untuk mensejahterakan kehidupan kami di masa depan.
"Perusahaan nggak boleh gulung tikar pokoknya. Aku cuma membayangkan pengorbanan kamu yang membangunnya dengan kerja keras, Ndra. Makanya, aku lebih baik kamu marah, daripada kamu mencari orang lain untuk mengurus perusahaan itu, belum tentu orang akan jujur sama kamu," jelas Tari.
"Iya, Sayang. Aku ngerti sekarang. Pokoknya, terima kasih banyak buat kamu. Aku nggak salah milik istri kayak kamu."
Tari menenggak segelas air putih, setelah itu ia melangkah ke arahku, mencium keningku dengan begitu mesra. "Kamu baik-baik di rumah, ya. Besok aku libur karena nggak ada jadwal. Aku janji akan ajak kamu jalan-jalan ke taman biar kamu nggak sumpek di rumah terus."
Perempuan itu membelai mesra kedua pipiku. Senyumnya manis, gurat senyum yang selalu kuharapkan untuk kembali. Kusambut dengan kurva milikku sambil mengangguk menyetujui.
Tari pun melangkah untuk berangkat ke kantor.
Aku yakin ia perempuan yang tangguh. Padahal, beberapa kali ia merasa tidak enak badan karena kehamilannya, tetapi tetap saja ia bersikeras untuk bekerja. Setelah dipikir-pikir, ia mirip sepertiku, seorang penggila kerja. Namun, ia punya kelebihan, bahwa tak pernah melupakan suami dan kewajibannya di rumah. Pernah aku mengutuk usaha dan niat mulianya, tapi sekarang tidak berlaku. Aku hilangkan pikiran-pikiran yang meracuni, segera kuganti dengan pikiran yang baik-baik tentangnya, tentang kami.
Esok harinya, sesuai janji, Tari mengajak diriku menghirup udara di sebuah taman pada pagi hari. Ia juga berkata akan mengajariku berjalan seperti apa yang dilakukan oleh Asyifa beberapa waktu. Aku begitu senang karena telah lama diriku mendambakannya. Pernah ketika Asyifa mengajariku berjalan, aku membayangkan bahwa Asyifa berubah menjadi Tari. Dan sekaranglah saatnya.
Setelah menambatkan mobil di tepian jalan taman, Tari menurunkan kursi rodaku, lalu membantuku duduk di sana.
"Pelan-pelan, Sayang." Tanpa sedikit pun keberatan, ia memapahku menuju kursi roda. "Nah, sekarang kita cari tempat yang pas dulu buat kamu melatih kaki kamu."
Tari menolehkan pandangan ke belakang, lalu membawaku ke jalanan di sekitar taman yang cukup ramai oleh orang-orang yang berolahraga. Sebagian orang juga berjalan di atas batu alam untuk merefleksi kaki. Suasana pagi hari terasa sejuk karena udaranya yang dingin dan membuat helaan napas begitu ringan.
KAMU SEDANG MEMBACA
I AM YOUR BOSS
Romance[Sudah pindah ke KaryaKarsa. Klik tautan di profil saya untuk membaca bab selanjutnya] Andra yang pernah ditinggal kekasih ketika kemiskinan materi melanda hidupnya, akhirnya berjuang memperkaya diri. Enam tahun perjuangan yang melelahkan membuat ia...