Atas kemauan keras Tari untuk mengurus perusahaan, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Penolakanku akan keinginannya tidak mempan sama sekali. Itu hanya membuat lubang yang besar di hatinya, juga menjadi pertengkaran yang bisa saja merusak harmoni dalam keluarga kami. Oleh karena itu, aku menyerahkan semuanya pada sang istri. Memang benar apa yang ia katakan, aku tidak bisa berbuat apa-apa karena sedang lumpuh.
Aku tak menyangka Tari akan mengatakan hal kejam tersebut, tetapi sayang itulah kenyataannya sekarang.
Seminggu sudah berlalu semenjak Tari mulai bekerja dan mengurus segala hal masalah perusahaan. Ia menjadi seorang perempuan sibuk yang bahkan telah mengurangi porsi waktu yang semestinya ia berikan untukku. Kadang, ia kerja lembur, membuat hatiku begitu kesepian tanpa hadirnya. Aku tidak lagi mendapatkan kasih sayang sesuai porsi, kini digantikan dengan hadirnya pembantu yang juga merupakan ide gila dari istriku sendiri.
Mbok Sumi, seorang pembantu yang Tari pekerjakan seminggu lalu untuk menyiapkan segala kebutuhanku. Mbok Sumilah yang menyiapkan segala sesuatunya, memasak untukku, mengingatkan waktunya minum obat, dan lainnya. Padahal, aku tidak butuh orang lain untuk mengurus diriku. Ya, aku hanya butuh hadirnya seorang istri meskipun tidak melakukan apa-apa di rumah ini untukku. Sudah pernah kukatakan padanya, hadirnya adalah sebuah anugerah bagi seorang Andra. Namun, keadaan yang benar-benar tidak terelakkan ini merubah segalanya.
Kehidupanku bersama Tari seolah berubah 180 derajat dari semestinya. Kian lama aku bukannya merasa semakin bahagia, tetapi sepi kerap kali membalutku. Sepi kembali menemani diriku seperti keadaan semula.
"Selamat pagi, Sayang. Kamu sudah sarapan?"
Tari keluar dari kamar. Ia sudah rapi dengan setelan hitamnya dan kemeja putih di baliknya. Perempuan tersebut duduk di sebelahku, mengambil roti bakar yang disiapkan oleh Mbok Sumi beberapa saat lalu di atas meja.
"Kamu belum makan rotinya?" Ia lihat roti di hadapanku belum tersentuh sama sekali. Aku hanya menampakkan wajah tanpa ekspresi.
Jujur saja, aku masih begitu kecewa dengan keputusan yang ia ambil. Bahkan karena itu aku sudah jarang sekali berbicara dengannya. Jangankan bercanda bersama, bertemu saja jarang. Katanya, ia tak punya waktu karena sedang berusaha mengembalikan kejayaan perusahaan dan bertemu dengan klien-klien penting. Sungguh konyol. Itukah yang dulu aku lakukan?
Ya, semestinya aku paham dengan posisinya tersebut karena diri ini pernah melakukan hal semacam itu. Namun, tetap saja hatiku menolak untuk menerima apa yang ia tetapkan. Perusahaan memang penting karena merupakan penghasilan utama bagi keluarga kami, tetapi sungguh dirinya jauh lebih penting bagiku. Kini, waktu Tari adalah uang. Uang adalah waktu untuknya. Saat kuminta pulang pun, ia tak pernah sempat dan tak rela meninggalkan pekerjaannya sebentar saja.
"Aku kenyang," jawabku setelah cukup lama terdiam.
"Kenyang? Kok bisa pagi-pagi udah kenyang?" tanyanya lagi sambil mengunyah roti bakar.
"Iya," jawabku singkat.
Tari tak mengatakan apa-apa lagi. Ia asik dengan sarapannya sambil mengutak-atik ponsel pintar di tangannya. Salah satu hal yang membuatku begitu jengkel padanya. Padahal, itu bisa ia lakukan nanti di kantor. Hal itu sungguh membuat kami tidak punya waktu untuk bersama. Aku bahkan kini menjadi malas menatap wajahnya.
"Nanti kamu sarapan, ya, kalau lapar. Aku mau berangkat dulu, ya, Sayang. Kamu baik-baik di sini sama Mbok Sumi."
Tari bangkit kemudian setelah menghabiskan roti bakar. Ia hanya berpamitan bahkan tanpa bersalaman atau mencium suaminya sendiri. Perempuan itu berlalu pergi meninggalkan diriku yang bergeming, ditelan nelangsa. Air mata kembali menitik membasahi wajahku atas dirinya yang telah berubah menjadi seperti saat ini. Ia menjadi istri yang kurang perhatian kepadaku. Apakah aku telah salah menilai dirinya di awal? Ataukah ini semacam ujian dari Tuhan?
KAMU SEDANG MEMBACA
I AM YOUR BOSS
Romance[Sudah pindah ke KaryaKarsa. Klik tautan di profil saya untuk membaca bab selanjutnya] Andra yang pernah ditinggal kekasih ketika kemiskinan materi melanda hidupnya, akhirnya berjuang memperkaya diri. Enam tahun perjuangan yang melelahkan membuat ia...