2. Satu Keluarga

8.7K 1.2K 70
                                    

Angkasa masih kelabu, saat Andi membuka matanya. Udara dingin yang masuk lewat celah-celah rumah kecil itu berhasil membuat penghuninya menggigil saat menyentuh kulit. Dari celah genting retak di atas sana ia bisa melihat cahaya bulan.

Teringat sesuatu, pemuda sembilan belas tahun itu bangkit. Menatap kedua adiknya yang tidur saling berhimpitan. Ia menarik selimut tipis, menutupinya hingga sebatas dada Aris namun bagi Caslo sudah mencapai kepalanya.

Mereka selalu tidur bertiga, selain ruangan yang tidak mencukupi, kasur dan selimut pun jumlahnya terbatas. Rumah yang di belikan Bibi nya ini hanya memiliki dua ruangan. Di mana saat keluar kamar akan langsung menginjak dapur sekaligus ruang keluarga.

Kembali merebahkan tubuh lelahnya, helaan nafas kasar terdengar. Andi memiringkan tubuhnya, menatap wajah polos Caslo yang berada di antara ia dan Aris. Rasanya beban yang ia pendam seharian penuh terangkat begitu saja.

Netra hitam legamnya mengamati kedua adiknya. Banyak perbedaan di sana. Wajah Aris terlihat tenang, berbeda dengan Caslo yang terlihat amat polos. Warna kulit serta mata mereka yang tidak pernah berubah. Caslo yang memiliki kulit seputih susu dan Aris yang memiliki kulit berwarna sawo matang.

Bukan, bukannya karena Caslo tidak pernah keluar rumah atau tidak melakukan pekerjaan berat. Namun warna kulit bersih itu sudah ada sejak  bayi. Meski Caslo berdiri seharian di bawah terik matahari, warna kulitnya akan tetap sama, mungkin hanya sedikit memerah kemudian akan kembali seperti semula.

Berbeda dengan ia dan Aris yang akan gosong langsung. Jika di lihat, rambut Caslo juga bukan berwarna hitam khas orang Indonesia. Namun sedikit kecokelatan dengan mata bulat jernih.

Andi tidak tahu, yang ia tahu Caslo di angkat kedua orang tuanya saat masih berumur delapan bulan. Dan yang pasti, ia sangat menyayangi adiknya yang satu ini. Meski ada rahasia yang harus ia tutupi dari dunia tentang Caslo.

Tangannya terangkat, mengusap lembut pipi berisi milik sang adik. Bisa ia rasakan melalui telapak tangan kasarnya, betapa halusnya pipi Caslo meski tanpa perawatan.

Jika boleh jujur, Andi sedih. Merasa kesal karena tidak mampu membelikan makanan enak untuk kedua adiknya, atau membawa mereka tinggal di tempat yang lebih nyaman dan luas. Bahkan ia membiarkan Aris yang lebih muda satu tahun darinya untuk ikut berkerja, karena jujur Andi tidak sanggup jika harus menanggung hutang kedua orang tuanya sendirian.

Takdir memaksanya, namun jika masih bisa dan mampu ia tidak akan pernah membiarkan Caslo turun ikut membantunya mencari uang. Ia masih memiliki tanggung jawab yang harus di lakukan, adiknya itu masih terlalu kecil untuk bekerja.

Apalagi pekerjaan untuk anak seperti Caslo hanya memungkinkan menjual koran di jalanan. Ia yang berkerja menjadi buruh pabrik saja sudah sangat bersyukur, meski punggungnya harus banyak menerima beban yang bahkan melebih berat badannya sendiri.

Jaman sekarang banyak orang yang mencari pekerjaan, sedangkan lapangan kerjanya terbatas. Tidak heran jika menemukan begal atau rampok di jalan, mereka butuh uang untuk makan. Entah itu dengan cara yang benar atau uang haram sekalipun. Jaman sekarang, halal dan haram tidak lagi di pikirkan.

Kendati demikian, Andi tetap berusaha memberi makan adik-adiknya dengan uang halal. Ia sudah berjanji pada almarhum kedua orang tuanya untuk menjaga dua anak itu. Dan Andi tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri jika sampai memberi makan adik-adiknya dengan uang haram. Lebih baik meminta dari pada mencuri.

Andi marah, selalu saat mendengar Caslo memintanya memberi izin untuk anak itu bekerja. Ia tidak akan mau, bahkan tidak sebelum Caslo cukup umur. Tapi Caslo yang keras kepala terkadang membuat Andi harus memutar otaknya.

Ia membuat kesepakatan. Bahwa hanya ia dan Aris yang bekerja, sedangkan Caslo membersihkan rumah. Meski sempat menolak, akhirnya anak itu setuju.

Tidak ada barang mahal di rumah ini, bilang saja barang yang sangat berharga bagi mereka di rumah adalah kompor, gas, dan kasur. Selain itu juga tidak ada ruang untuk memasukan barang baru, bahkan kamar mereka pun terbilang menyesakkan.

Ponsel, mereka masih memegang benda elektronik itu. Ponsel itu adalah ponsel yang di belikan Almarhum orang tua mereka dulu, hingga saat ini masih awet dan terawat. Sebagai hiburan juga, beruntung WiFi toko di depan rumah mereka bisa di rentas.

"Abang ..."

Andi berjengit, hampir saja melompat dari posisinya saat mendengar suara serak milik Caslo. Ia merunduk, menatap sang adik yang masih mengusap matanya. Hingga tidak lama mata jernih itu terbuka sempurna, dengan pupil mata yang membuatnya selalu berdecak kagum. Warna asli tanpa softlens biasa yang di pakai adiknya.

"Kenapa heung?" Andi bertanya, sembari menyingkap Surai cokelat yang menutupi mata sang adik.

"Dingin ..."

Andi terdiam, kasur tipis yang menjadi alas mereka tentu tidak bisa menghangatkan. Menghela nafas dalam, menghilangkan nyeri yang mendadak menghujam dadanya. Andi mendekatkan tubuhnya, merengkuh sang adik dalam peluk hangatnya.

"Masih dingin?" Caslo menggeleng pelan, mendusal di dada bidang Andi.

Entah karena umur sang Abang yang sudah dewasa atau karena pekerjaan berat Abangnya hingga ia merasa tubuh Abangnya berotot. Hangat yang di berikan sang Abang membuatnya candu. Hingga ia bisa merasa dekapan seseorang di belakangnya.

"Abang juga kedinginan, kok gak di ajak?" Aris berujar, dengan nada serak khas orang bangun tidur. Pemuda itu memeluk sang adik dari belakang, semata untuk memberikan rasa hangat pada adiknya.

"Iler Abang nempel, aku gak suka." Caslo mendorong Aris dengan bahunya membuat sang Abang keduanya itu bertambah mendusal.

"Ileran gini, tetep ganteng kok."

____

Helaan nafas terdengar, setelah membersihkan rumah yang hanya dua ruangan itu. Ia kembali merebahkan diri, untuk memasak ia hanya akan melakukannya pada sore hari. Saat di mana kedua Abangnya akan pulang. Bosan rasanya, namun Caslo tidak bisa melakukan banyak hal.

Bermain pun tidak bisa, jam seperti ini biasanya Nian sekolah. Berakhir dengan Caslo yang kembali menghidupkan ponselnya. Bertukar sapa dengan Bian dan Alvan yang selalu standby memegang ponsel. Biak itu anak nakal setahunya, selalu melanggar peraturan sekolah dan jarang masuk ke kelas. Berbeda dengan Alvan yang sepertinya murid baik.

Berfikir kembali. Caslo menggelengkan kepalanya, tidak jadi menyapa kedua teman mayanya itu. Ia memilih membuka aplikasi yang menyediakan berita di seluruh manca negara. Tidak perlu takut akan kehabisan paket, toh ponselnya sudah di atur oleh Andi agar bisa internetan dengan cara membobol Wi-Fi toko bangunan depan.

Cukup lama ia melakukan hal itu, hingga matanya berhenti pada suatu titik yang berhasil menarik atensi seluruhnya. Berita tentang pembantaian sebuah keluarga di Barcelona, Spanyol. Keluarga seorang model ternama yang bernama Vuirto de Amfarto.

Caslo memegang dada kirinya, merasa detakan di dalam sana semakin cepat. Seketika tubuhnya mendingin, dengan keringat sebesar biji jagung yang jatuh dari kening. Tangan yang memegang ponsel itu bergetar kencang, hingga Caslo memilih mendudukkan dirinya di kasur tipis.

Terdiam sejenak, membiarkan sekon berjalan begitu saja. Hingga kesadaran pemuda itu kembali terkumpul dengan sempurna. Caslo dengan tangan gemetar men-screnshoot berita tersebut, lantas segera mengirimnya pada grup yang berisi ia, Bian dan Alvan.















____

Hari ini update dua kali ya ^^

Golden EyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang