Double up ya ^^
______
Satu hari yang di bicarakan telah berlalu, kini Caslo di bawa kesebuah ruangan lain oleh seseorang yang menculiknya. Dirinya sudah benar-benar pasrah akan apa yang terjadi kedepan, ia tidak punya semangat untuk tetap bertahan.
Caslo sudah jauh dari kedua Abangnya, sedangkan Alvan yang tinggal satu-satunya pun Caslo tidak tahu bagaimana keadaannya. Ingin mencoba kabur, namun Caslo sama sekali tidak menemukan celah sedikitpun di sini. Setiap sudut pasti ada yang berjaga.
Menghela nafas pelan, ia hanya diam meringkuk di pojok ruangan. Ia kira, ia akan di bebaskan namun nyatanya ia di bawa ke sebuah ruangan yang bahkan lebih mengerikan. Di sini, ruangan luas dengan banyak senjata tajam. Caslo benar-benar semakin merasa tertekan. Hingga rasanya tidak bisa lagi melawan.
Tidak lama saat ia menginjakkan kaki di ruangan itu. Dua orang pria berbadan tegap masuk, terlihat rupawan dengan pakaian formalnya. Seseorang dari mereka mendekat dengan wajah datarnya. Menatap Caslo dengan pandangan tidak biasa.
"Dia selanjutnya?" Tanyanya pada pria dewasa lain yang berada di ruangan itu. Pria yang di berikan pertanyaan itu mengangguk, ikut menatap Caslo yang kini masih diam menatap ke depan, seolah tidak hanya dia sendiri yang berada di ruangan itu.
"Hei, Nak." Panggil pria berjas abu, ingin melihat wajah Caslo yang entah mengapa sedari tadi sukses membuatnya penasaran. Caslo menoleh.
"Apa?!" Pekiknya tidak terima. Pria itu seolah memanggilnya seperti tidak terjadi apapun. Bisa Caslo lihat, salah satu dari kedua pria itu adalah pria yang menarik Alvan kemarin.
"Cih, galak sekali." Gumam pria dewasa itu.
"Dia yang aku ceritakan kemarin." Sahut pria yang lain. Membuat Caslo yang mendengarnya seketika dendam. Pria tersebut lah yang memisahkan ia dan Alvan.
Mendengar suara pria yang amat Caslo benci itu, membuat jiwa berlabuhnya kembali lagi. Caslo bangkit, mendekat ke arah pria itu sebelum menginjak salah satu kakinya dengan sekuat tenaga. Namun pria itu tidak kunjung menunjukan ekspresi kesakitan nya membuat Caslo semakin geram karena tidak merasa puas.
Maka sekali lagi, Caslo menendang tulang kering pria itu. Tetap saja, tidak ada raut kesakitan di sana membuat Caslo merasa usaha dan keberanian yang baru ia keluarkan sia-sia. Ia menghentakkan kakinya ke lantai sebelum berjongkok untuk menangis.
Tidak lagi peduli pada dua pria itu yang kini menatapnya dengan ekspresi yang tidak bisa di jelaskan. Ia terisak, prustasi akan semuanya. Caslo bingung bagaimana kondisi hidupnya saat ini, dan di sisi lain pun ia merasa takut sendirian di tempat orang asing.
"Papi tidak bisa, kamu saja." Ujar pria dewasa di sana kemudian berbalik pergi meninggalkan ruangan itu. Menyisahkan pemuda yang amat Caslo benci itu sendirian. Pemuda itu hanya diam memandangi Caslo yang masih terisak seperti anak hilang.
Cukup lama pria itu berdiam diri tanpa melakukan apapun. Sebelum benar-benar berlalu pergi dari sana tanpa mengatakan sepatah kata. Caslo menatap daun pintu yang sudah tertutup rapat itu, kembali terisak. Caslo menangis keras, selain merasa tidak nyaman di sini, ia juga merasa kan perih pada matanya.
Mungkin, efek tidak melepas softlens.
____
"Mengapa kembali?" Tanya pria dewasa berjas abu, kini menatap anaknya dengan tatapan bingung.
"Aku tidak bisa, suruh yang lain saja." Jawab pemuda yang baru saja bergabung di sofa ruangan. Perkataan pemuda itu mampu menarik perhatian beberapa orang yang memang sedari tadi berada di sana. Kini, pria beruban menyahut dengan pertanyaan.
"Apa yang membuat mu tidak mampu? Bukan kah itu memang tugasmu, Ars? Anak itu sudah melakukan kesalahan, sudah sepatutnya dia di hukum." Sahutnya tajam, menatap sang cucu dengan kilatan pedang.
Pemuda yang di panggil 'Ars' itu menggeleng pelan, kedua tangannya pun ikut terkepal di samping badan. Menatap berang pria tua yang baru saja melontarkan pertanyaan.
"Aku tidak bisa. Suruh yang lain!" Sungutnya sebelum meninggalkan tempat itu tanpa pamit. Pria yang paling tua di sana tentu merasa bingung, kemudian beralih menatap anak pertamanya dengan tatapan heran.
"Aku tidak tahu, Ayah. Tapi yang pasti sama seperti putraku, aku juga tidak bisa." Jawab pria paruh baya yang biasa di panggil Aslan tersebut.
Pria tua itu menghela nafas, tidak mengerti mengapa kedua anggota keluarganya yang memiliki jiwa kuat itu kini tidak mampu menyelesaikan suatu masalah. Ia bangkit, menatap cucu pertamanya yang sedari tadi diam.
"Ikut Opa, biar aku dan Alka yang menyelesaikan nya. Kalian payah!" Ujarnya membuat Aslan terdiam. Kini pria dewasa itu menatap punggung Ayahnya dan anak pertamanya yang menjauh. Terselip tatapan tidak terbaca dari binar Aslan. Entah mengapa, namun kini pria itu tidak mendukung apa yang akan di lakukan ayah dan anaknya.
Menghela nafas pelan, Aslan berjengit saat seseorang menepuk bahunya pelan. Senyum tipis terlihat, saat eksistensi sang istri kini tersenyum lembut ke arahnya. Istrinya itu bertanya masalah yang kini terlihat mengganggunya, namun ia menggeleng pelan.
"Ada kabar dari Dimitri?" Tanyanya mengalihkan topik, namun jawaban kini tidak lain hanya gelengan kepala. Ia kembali menghela nafas, merasa miris dengan adiknya di luar sana yang tidak memiliki kabar. Mengembara mencari informasi yang membawanya pada sebuah kepemilikan.
Dimitri, adiknya itu masih belum menyerah mencari sesuatu yang hilang.
_____
Caslo menangis keras, saat tubuhnya di ikat ke sebuah kursi. Lalu punggung nya yang terbebas dari kain merasakan cambukan kuat. Air matanya mengalir deras, menatap pria tua yang berada di depannya dengan penuh ketakutan. Ia tidak tahu, bahwa akan melewati kondisi seperti ini.
Darah segar mengalir dari punggungnya. Ia tidak lagi bisa mengangkat kepala, padahal baru sekali cambukan. Namun sakitnya sudah seperti sekarat. Terpejam erat, Caslo menggumamkan nama Andi. Ia merindukan kedua Abangnya yang kini mungkin merasa khawatir atas kehilangannya.
"Alka, siapa yang terluka?" Suara itu mampu menyapa telinga Caslo, bersamaan dengan aksi cambuk yang berhenti di tubuhnya. Ia masih diam tidak mampu mengangkat kepala.
"Biar aku cari tahu dulu." Sahut pria bernama 'Alka'. Bisa Caslo dengar suara sambungan telpon di ruangan yang hanya diisi tiga orang itu. Hingga percakapan terdengar sebelum suara Alka kembali menguar.
"Tidak ada, tidak ada yang terluka Opa. Mommy juga tidak, begitu juga dengan mata-mata yang di kirim pada Daddy." Jawabnya membuat kening keriput itu semakin bertaut.
"Lalu, mengapa darah ini keluar?" Tanyanya. Bersamaan dengan itu, Caslo mengangkat kepalanya. Menatap dua pria yang berbincang itu dalam diam. Namun, dirinya terkejut begitu mendapati darah yang keluar dari mata kedua pria di sana.
Benar-benar terlihat sangat menakutkan. Tanpa luka sayatan, darah itu nyata keluar dari mata mereka.
_____
Hai. Cuman mau bilangJangan terlalu berharap sama cerita ini. Semua alur di sini, berjalan sesuai sama pemikiran aku.
Jadi kalo ada hal yang mustahil di dunia, tapi di cerita ini ada jangan salahin aku.
Cerita ini di bumbui dengan sedikit spiritual. Kalian bisa tau lebih jelasnya di part depan.
Sekali lagi, cerita ini hanya sekedar fiksi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Golden Eye
ActionArcaslo, pemuda yang tidak sengaja menonton live pembantaian keluarga seorang model Barcelona harus merasakan takutnya menjadi saksi, sekaligus incaran selanjutnya. Sebuah rahasia yang hanya ia dan keluarga tirinya yang tahu. Saat tepat di mana ia m...