27. Rumah Indo.

7.4K 802 63
                                    

Tepat pukul sembilan malam, saat Clarissa baru sempat membersihkan make up dan semacamnya. Hal ini terjadi karena baru saja membersihkan kamar yang saat ini mereka tempati. Meski sudah bersih tanpa debu sedikitpun, Clarissa tetap harus mengeceknya lagi.

Selama berada di Indonesia, mereka akan tinggal di rumah megah milik keluarga Cravis. Di belakangnya, ada sang suami dan sang anak yang tepar tak berdaya di atas kasur. Padahal yang membersihkan segalanya adalah Clarissa. Menggeleng pelan, Clarissa memilih membersihkan wajahnya dengan cepat.

"Neng, kata bang Rendi minta wa." Kalimat serak itu membuat Clarissa menatap pantulan diri sang anak di depannya. Tampaknya Arcaslo tengah mengigau, mungkin saking bahagia bertemu kembali dengan teman-teman lamanya.

"Kalo kentut tuh bunyinya Tut, kalo udah suhu bunyinya jebrott." Wanita satu-satunya di sana terkekeh pelan. Ada-ada saja racauan sang anak dalam tidurnya. Bisa ia lihat sang suami yang tampak terganggu, lalu membekap mulut anaknya dengan tangan.

"Mwukak Dwinitri kwata bwang Ale kwaya wanjing." Kelopak mata yang sebelumnya tertutup rapat itu kini kembali terbuka. Dimitri menatap datar sang istri yang tertawa. Pria itu menghembuskan napas pelan sebelum memeluk sang anak layaknya guling.

"Eungg!" Caslo menggeliat dalam tidurnya. Tidak nyaman kala dekapan Dimitri seakan ingin membunuhnya. Dalam keadaan tidak sadar, Caslo memberontak dan menendang sesuatu yang keras, lalu tanpa membuka mata Caslo kembali damai.

Bugh

Bruk

Dimitri meringis pelan, ia baru saja terbang dari atas tempat tidur. Melirik sang istri yang tertawa sebelum bangkit masuk ke dalam walk in closed. Dimitri dengan cepat mengangkat tubuh sang anak, memindahkannya di atas lantai dingin. Persetan, Dimitri ingin meluruskan pinggang. Tapi suara anaknya benar-benar mengganggu.

Kriet

Pintu kembali terbuka, menunjukan Clarissa yang telah berganti pakaian. Wanita itu tampak bingung karena tidak melihat sang anak. Bertanya kemana, Dimitri menjawab jika anaknya pindah ke kamar samping dengan alasan sempit.

"Aku akan mengeceknya sejenak." Dimitri menggeleng, menahan tangan sang istri dan menyuruhnya kembali tertidur. Clarissa menurut. Keduanya mulai memejamkan mata. Namun dalam pejamnya, Dimitri tampak gelisah.

Jika dipikir apa yang ia lakukan sangatlah kekanakan. Bagaimana kalau anaknya diculik kecoa di bawah sana, atau bahkan kedinginan dan berimbas sakit. Menghembuskan napas pelan, Dimitri berbalik dan bangkit. Menundukkan kepala guna melihat sang anak. Namun detik itu juga tubuhnya terhuyung kaget, kala manik bulat merah itu telah terbuka dan menatapnya tajam.

"Sialan kau Dimitri!" pekiknya.

Clarissa yang baru saja memejamkan mata itu langsung beringsut bangun dengan cepat. Ia berjalan ke asal suara dan objek yang membuat suaminya membeku. Tepat saat itu juga maniknya membola, menemukan sang anak yang tertidur di lantai kini menatap tajam sang daddy.

"Hei, mengapa tidur di lantai sayang? Bangun, nanti kamu sakit." Clarissa menarik sang anak dengan cepat. Namun tak disangka-sangka, detik itu juga Caslo menerjang tubuh sang daddy sampai yang lebih tua terhuyung jatuh ke atas kasur.

"Apa yang terjadi? Jangan memukul daddy mu nak," kata Clarissa yang bingung sendiri. Ia menarik sang anak, namun Caslo seakan memiliki kekuatan besar hingga mampu bertahan di atas perut sang daddy. Memukul dada keras itu berulang kali dengan wajah memerah.

Sementara Dimitri sendiri terdiam, ia membiarkan tangan kecil itu berlaku semaunya. Menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, tentu ia menyadari tatapan Clarissa yang tidak biasa. Hingga sepuluh menit berlalu, Caslo telah menyerah. Anak itu tampak kelelahan dengan napas yang terengah. Menjambak rambut Dimitri sekali, Caslo memilih turun dan keluar dari kamar.

Brakk

Pintu tertutup kencang, meninggalkan dua manusia yang kini bungkam tanpa bergerak sedikitpun. Namun tidak lama, sebelum Clarissa menoleh meminta penjelasan. Dimitri menelan salivanya sejenak sebelum mengucapkan kalimat yang membuat Clarissa marah besar.

"Aku menaruhnya di lantai."

Sementara di sisi lain, Caslo terisak di bawah tangga. Memeluk lututnya dengan bibir bergetar, manik merahnya tampak redup. Dalam hati sensitifnya terus menyalahkan diri, berpikir bahwa sang daddy terganggu atas kehadirannya. Benar-benar kekanakan.

"Arcaslo, maafkan daddy."

"UWAA!" Caslo berjengit kaget kala sebuah kepala muncul dari belakang punggungnya. Secara reflek, ia telah menggerakkan spontan kakinya hingga mengenai wajah tampan itu.

"Sialan kau Dimitri!" Umpatan yang sama telah keluar sebanyak dua kali dalam jangka waktu tak sampai lima belas menit. Dimitri terdiam, tidak membalas atau menghentikan.

"Huhu bang Andi hiks." Caslo beringsut menjauhi pria di depannya. Biasanya jika sedang menangis, akan selalu ada Andi di sisinya. Memeluk dan menenangkannya. Tapi saat ini abangnya itu sudah menjadi orang sibuk, terkadang menyisahkan waktu saja terasa sangat sulit.

"Maafkan daddy," kata Dimitri lagi. Caslo tak mendengar, kini berbalik pergi menjauhi sang daddy. Hati kecilnya masih tersakiti, apa ada orang tua yang menaruh anaknya di tempat dingin sementara dirinya tidur di atas kasur besar nan hangat?

"Sayang." Caslo berbalik mendekati Clarissa yang kini berjalan ke arahnya. Memeluk pinggang ramping itu dengan erat, Caslo seakan mengadu.

"Benci sama daddy, mom. Gak mau liat muka buluknya lagi," kata Caslo membuat Dimitri yang berada di belakangnya seolah tak diberi kesempatan membela diri.

"Iya-iya, kita mencari hotel saja ya malam ini? Besok baru membeli rumah." Dimitri mendekat, tidak bermaksud melakukan hal ini. Ia benar-benar tidak tahu jika apa yang akan ia lakukan akan berdampak fatal. Caslo membencinya, dan Clarissa merajuk padanya.

"Ayok, gak mau liat mukak bau tanah itu."

Tanpa membawa baju ataupun barang lain, Clarissa dan Caslo resmi meninggalkan rumah megah atau yang biasa disebut Mansion meski Dimitri sudah mencoba menghalangi. Ibu dan anak itu benar-benar pergi. Dengan bermodal kartu kredit berwarna hitam milik Clarissa saja.

"Apa yang harus aku lakukan?" monolognya nelangsa. Dimitri mengacak rambutnya asal. Niat hati ingin tertidur nyaman, justru malam ini ia dibuat bertugas untuk memastikan anak dan istrinya aman.

Mengendap-endap, Dimitri mengikuti  kedua manusia itu yang berhenti di sebuah hotel bintang lima. Kendati demikian, Dimitri belum merasa puas dan aman. Ia memilih ikut menginap di kamar hotel tepat di samping kamar yang istri dan anaknya tempati.

"Ya Tuhan, aku tidak bisa tidur jika seperti ini." Dimitri kehilangan guling bergeraknya. Juga cerita mengalir biasa yang terjadi antara anak dan istrinya sebelum tidur. Memilih bangkit, Dimitri telah berdiri di depan pintu kamar sampingnya. Mengetuknya dengan harapan besar. Hingga saat pintu terbuka, Dimitri bisa melihat tatapan datar sang istri.

"Maaf, pemilik kamar sedang tidak bisa diganggu. Lebih baik minggir sebelum aku patahkan lehermu."

"Maafkan aku."

"Pergi!"

"Risa."

"Sialan kau Dimitri!" Caslo yang menyembul itu kembali mengumpat, untuk ke tiga kalinya.





____

Caslo up.
Hai, Senin besok aku ujian kelulusan. Jadi kemungkinan, aku libur lagi semingguan.

Ada satu draft book sebelah, bakal aku keluarin di pertengahan. Biar kalian gak terlalu kesepian dan kelamaan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 12, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Golden EyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang