13. Help Me!

9.8K 1.3K 132
                                    

Mata merah jernih itu mulai berkaca, seolah jika berkedip satu kalo saja maka akan ada cairan bening yang turun melewati pipi. Di genggamnya jas pria dewasa itu erat, sebelum menjadikan punggung tegap itu tameng untuk berlindung. 

Sedikit menyembul, guna melihat pria berjas putih mengeluarkan alat mengerikan berujung tajam. Itu suntikan, Caslo benar-benar tidak tahu jika melakukan test DNA menggunakan darah. Ada sesal kini yang menyelip di sedikit hatinya. Mengapa ia setuju menunggu hanya untuk dilukai oleh suntikan.

Melihat bagaimana pria bernama Dimitri memasang wajah tenang saat di tembus jarum suntik membuat Caslo semakin takut. Ia ingat Andi pernah berkata, di balik sifat tenang terdapat rahasia yang amat besar. Caslo tidak tahu mungkin saja Dimitri menyembunyikan teriakan kesakitan nya kan?

"Sudah, sekarang giliran kau anak manis." Dokter di sana bergerak mendekat. Ingin meraih tangan Caslo yang sepenuhnya bersembunyi di balik tubuh kekar Dimitri.

"Pak dukun, tolong aku."

Perkataan minta tolong yang baru saja keluar dari bilah bibir Caslo itu tak ayal mampu membuat ruang keluarga yang tadinya hening menjadi ricuh. Seolah tidak melakukan apa-apa, Caslo masih berlindung di balik punggung Dimitri.

Anak itu berada dalam posisi berjongkok di atas sofa, tangannya menggenggam erat punggung Dimitri yang duduk di depannya. Benar-benar terselip di antara sofa dan tubuh besar Dimitri.

"Katanya ingin cepat tahu hasilnya bukan? Mengapa sekarang harus takut? Kamu tidak butuh kebenaran?" Celetuk tuan Cravis membuat Caslo yang sedikit menyembulkan kepalanya itu kini melontarkan tatapan tajam.

"Siapa yang tau kalo test DNA itu pake jarum?!" Pekiknya tidak sopan. Caslo sepertinya benar-benar pasrah pada keadaan. Anak yang memang telah kehilangan insting malu itu tidak lagi peduli jika pria tua di hadapannya pernah hampir membunuhnya.

Helaan nafas pelan terdengar dari bilah bibir Dimitri, di tatapnya dokter Vans yang kini tengah mengulum bibirnya. Dokter itu tentu merasa terkejut, bagaimana mungkin seorang anak kecil mampu melawan sebuah keluarga yang memiliki kekuatan besar. 

"Vans, gunakan rambut saja." Ujarnya membuat Vans mengangguk. Pria berkepala tiga itu mendekat kembali ke arah Caslo, namun anak itu semakin memasukan dirinya dalam persembunyian. Mengira bahwa dokter tersebut akan menyuntiknya.

"Jangan takut sayang, dokter Vans hanya akan mengambil rambutmu." Ujar Clarissa yang baru bergabung. Wanita itu menarik lengan kurus Caslo agar keluar dari balik tubuh Dimitri.

"Tapi aku gak mau cukur, rambut panjang lebih ganteng." Ujarnya pelan, Caslo tidak ingin ikut Clarissa, kini ia bertahan dengan menarik telinga Dimitri sebagai pegangan.

"Tidak, tidak di cukur. Rambut Cio akan tetap seperti ini, dokter Vans hanya membutuhkan beberapa helai saja." Balas Clarissa pelan. Dengan begitu Caslo baru mau melepaskan pegangannya pada daun telinga Dimitri.

Anak itu kini duduk di antara Tuan Cravis dan Dimitri. Mata bulatnya terus memperhatikan dokter Vans yang kini mulai melangkah mendekat. Caslo mendongakkan kepalanya.

"Om, kepalanya jangan di cabut juga." Ujarnya pelan. Yang di balas tawa kecil dari sang dokter.

"Aku serius lho Om, kok kayanya malah ngeremehin gitu sih?" Caslo berujar dengan nada sinis, tidak terima saat ia berbicara serius namun di tanggapi remeh. Kata Bu RT Lia, saat seseorang sedang berbicara itu harusnya di tanggapi dengan baik.

"Okay, okay. I am sorry" dokter Vans memilih mengalah, kini mulai bergerak untuk mencabut beberapa helai rambut Caslo hingga akarnya.

"AWW! Big lah! Sakit tau, gak bisa pelan-pelan apa?" Pekikan itu terdengar. Caslo kini mengangkat dagu karena baru saja mengumpat dengan bahasa Inggris.

Golden EyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang