"Jangan kemana-mana ya Dek, di rumah aja. Sekarang lagi jamannya penculikan." Andi mengusap kepala Caslo yang kini berdiri di ambang pintu berniat mengantarnya.
"Iya, Bang. Lagian aku juga lagi gak ada temen. Males temenan sama Rendi the Genk, gak waras nanti aku!" Ujarnya menggebu-gebu membuat Aris yang hendak keluar rumah uty terkekeh singkat. Menjentikkan jarinya di kening sang Adik.
"Gak tau diri, padahal kalo lagi akrab mah di omongin terus. Dasar bocah labil."cibirnya. Aris ingat betul bagaimana adiknya yang satu itu kalau bercerita mengenai teman-teman nya. Bisa berceloteh panjang lebar tentang kegiatan atau permainan apa yang mereka lakukan hari itu. Namun jika sedang tidak akrab, adiknya itu akan mengatakan hal hang bersifat menjelekkan. Kemudian esoknya akan kembali bermain bersama.
"Siapa yang labil!" Caslo melotot garang. Tidak terima saat di katakan labil. Ia yang dewasa ini sudah memiliki pemikiran yang matang. Jadi ucapan Aris tidak lah benar.
"Udah-udah. Abang bisa telat ini kalo nungguin kalian gelud dulu." Ujar Andi menengahi. Jika tidak berakhir sekarang, ia tidak yakin Aris akan berangkat bekerja bersamanya dalam keadaan yang rapih.
Caslo menurut, tidak mau memperpanjang masalah karena ia yang sudah dewasa lebih baik mengalah dari Aris yang masih bocah ingusan. Setelah menyalimi tangan Andi, Caslo langsung masuk tanpa perlu menyalimi tangan Aris.
Netranya meliar, menatap rumah yang terlihat berantakan. Melirik jam sekilas, Caslo mulai membereskan semua yang terlihat berantakan. Sebenarnya tidak membutuhkan waktu banyak, karena memang rumahnya yang hanya dua petak. Hingga beberapa waktu berjalan akhirnya Caslo mampu membereskan rumah hingga rapih dan bersih kembali.
Mengingat ucapan Abang pertama tadi membuat Caslo kembali teringat akan kejadian yang membuat heboh seluruh dunia kini. Tentang kasus penculikan. Caslo bingung, haruskah ia memberi tahu Abangnya untuk masalah ini, namun apa kah Abangnya itu akan percaya?
Abangnya juga tahu, seberapa besar masalah pembunuhan yang melibatkan kepolisian dunia. Hah, mengingat nasihat Andi tadi membuat Caslo tersenyum miris. Bagaimana jika ia memanglah target selanjutnya? Memikirkan hal ini saja tidak bisa membuat Caslo merasa tenang.
Memilih menurut, Caslo mendengarkan nasehat Andi untuk tidak keluar rumah. Selain ia yang merasa terancam, ia juga sedang tidak memiliki teman. Ia marah pada ketiga sahabat laknat yang sudah meninggalkan di atas pohon tempo hari. Mengingat hal itu membuat mood Caslo turun drastis.
"Hah, bobok aja lah." Gumamnya, melihat jam yang masih menunjukan pukul sembilan pagi. Caslo tidak berniat untuk mandi, lebih baik ia kembali berkeliaran di alam mimpi.
Namun saat hendak berbalik menuju kamar, suara ketukan di pintu depan membuat langkahnya terhenti. Ia berbalik, menatap pintu yang di ketuk santai itu. Setelah berfikir, Caslo dapat menyimpulkan bahwa di depan sana adalah Rendi ataupun Azlan yang berniat mengajaknya main.
Tolong ingatkan Caslo jika ia tengah merajuk pada ketiga sahabat tanpa akhlak itu.
Melangkah perlahan, Caslo membuka pintu. Baru saja hendak mengomel, namun suaranya tertahan dengan nafas tercekat. Jantung di rongga dada sebelah kiri itu terasa melompat melihat siapa yang bertamu pagi-pagi seperti ini.
Dengan gerakan cepat, Caslo kembali menutup pintu tersebut. Namun sayang karena tampaknya, apa yang ingin ia lakukan telah terbaca oleh dua orang pria berpakaian hitam yang serupa dengan pakaian pembunuh di live waktu itu. Hingga kini ia masih berusaha mempertahankan sampai aksi dorong-dorongan terjadi.
Namun kekuatan Caslo yang memang dasarnya tidak seberapa tentu saja kalah. Pintu itu terbuka dengan suara keras, membuat caslo langsung berlari ke arah kamar dan menutup pintu di sana. Ia berteriak meminta tolong, berharap tetangga sampingnya mendengar dan segera kemari.
Agaknya Dewi Fortuna masih belum berpihak, karena dengan mudahnya kedua orang itu mendobrak pintu reot kamarnya. Mencoba bertahan, Caslo saat ini sudah menangis ketakutan. Ia melempari semua barang yang ada di dekatnya. Berharap bahwa yang terjadi saat ini adalah mimpi.
Namun salah satu dari pria itu berhasil membekukan pergerakannya, menahan tubuh berontaknya dalam gendongan. Caslo menendangnya, namun udaralah yang menjadi sasaran. Tubuhnya di gendong seperti jaring beras, kemudian para pria itu membawanya masuk dalam mobil hitam.
Caslo menangis, meminta kepada mereka untuk melepaskannya. Bisa ia lihat, di sini bukan hanya dua orang yang tadi menculiknya. Namun juga dua orang yang sudah berada di dalam mobil. Pakaian mereka semua sama, seperti pembunuh yang ada di video waktu itu.
"Silent!" Bentak salah satu dari mereka membuat isakkan Caslo justru semakin keras. Caslo yang memang hanya lulusan sekolah dasar tentu tidak mengerti apa yang pria itu katakan.
"Hiks ... Saya gak ngerti Om ngomong bahasa daerah mana, lepasin saya Om ..." Isaknya namun tidak mendapat jawaban.
Caslo makin menangis terisak, kali ini lebih parah saat salah satu dari mereka terlihat mengeluarkan pistol. Menggeleng pelan, Caslo tidak mau mati sekarang. Ia tidak mau berakhir mengenaskan dan di buang ke daerah orang. Ia ingin mati di dekat Abangnya.
"J-jangan hiks bunuh saya, Om. Saya masih muda, belum nikah hiks ..." Mohonnya, mengatupkan kedua tangan di depan dada. Namun pria tersebut tidak lah mengindahkan ucapannya. Masih terdiam menatap pistol yang kini setia dalam genggamannya.
Netra Caslo semakin terbelalak kala melihat salah satu dari mereka mengeluarkan suntikan, kemudian di arahkan kearahnya. Ia menggeleng dengan cepat, tidak mau merasakan jarum itu menembus kulitnya. Namun apakah daya kekuatan yang tidak seberapa darinya ini.
Hingga akhirnya mereka berhasil memasukan obat bius itu dalam darahnya. Kelopak mata sayu itu semakin meredup, binarnya tidak lagi terlihat. Hingga akhirnya benar-benar tertutup dengan sempurna. Dalam samar, Caslo mampu mendengar salah atau dari pria itu berbicara dalam bahasa Indonesia.
"Dia terlalu cerewet. Biarkan dulu seperti itu, kita tidak perlu repot membawanya keluar jika dia terus berisik."
Anggukan di terima, dalam setengah sadar itu Caslo mendengus. Membuat jiwa julid dalam dirinya berkembang dengan baik saat mendengar kalimat itu. Dengan suara serupa bisikan ia membalas.
"Dari pada situ, badan keker hati hello Kitty ..." Lirihnya membuat keempat pria itu saling bertukar pandang.
"Dasar kampret ..." Lanjutnya lagi membuat keempat pria itu semakin terdiam. Hingga Caslo bisa merasakan bibirnya di sentil pelan. Setelah itu, kegelapan benar-benar menarik ia sepenuhnya.
"Anak malang."
_____
Hai, apa kabar?
Penasaran sama kelanjutannya?Maaf, mungkin sering lambat update atau terlalu ngaret. Kegiatan sekolah bener-bener gak ada habisnya. Baru selesai satu acara, eh ada aja acara lain. Padahal seharusnya kelas tiga kaya aku udah Hiatus dari segala kegiatan. Tapi tetep aja harus partisipasi. TT
Ketahuilah, aku bukan anak serajin itu.
Maaf, maaf. Kok malah jadi curhat ini.
Aku gak maksa kalian vote, kok. Cukup baca aja aku udah seneng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Golden Eye
ActionArcaslo, pemuda yang tidak sengaja menonton live pembantaian keluarga seorang model Barcelona harus merasakan takutnya menjadi saksi, sekaligus incaran selanjutnya. Sebuah rahasia yang hanya ia dan keluarga tirinya yang tahu. Saat tepat di mana ia m...