Hampa, hal yang pertama kali Caslo rasakan saat baru membuka mata. Telinganya tidak dapat mendengar apapun, sunyi yang mengisi membuatnya merasa heran. Hingga kepalanya memutar memori yang terjadi sebelumnya.
Nafasnya tercekat, kala ingat bahwa kini ia tidak dalam keadaan baik-baik saja. Ia telah merasakan apa yang di rasakan Bian, ia merasakannya menjadi target pembunuh itu sekarang. Terlilit dalam ketakutan, kemudian sesak karena tertekan.
Caslo menangis terisak, matanya tidak dapat melihat cahaya sedikit pun di sini. Semuanya gelap, seakan memang menelannya dalam hitam abadi tanpa bisa keluar. Tidak mampu bersuara, ia takut orang-orang itu kembali untuk membunuhnya.
Jika di tanya apakah dirinya sudah siap untuk mati, maka ia akan menjawab tidak. Hampir semua orang pun akan mengatakan hal yang sama seperti dirinya. Memang nya siapa yang sudah siap mati? Mengingat seberapa banyak dosa dan keinginan yang belum tercapai pastilah menjadi salah satu alasan untuk bertahan.
Tidak pernah terpikir oleh Caslo kalau ia akan terjebak dalam situasi yang seperti ini. Padahal, ia masuk situs ilegal itu hanya untuk membunuh bosan serta mencoba beberapa cara yang ia ketahui dari tetangganya tentang internet. Caslo tidak menyangka, jika situs yang ia masuki lebih mengerikan dari Deep web.
Klik
Lampu di hidupkan dengan tiba-tiba, membuat Caslo bisa melihat isi ruangan yang ia tempati saat ini. Kaku, rasanya tubuhnya tidak bisa di gerakan dengan nafas yang hampir lupa ia Hela. Melihat betapa mengerikannya ruangan tempatnya berada saat ini. Meskipun noda darah di sana tidak membawa aroma anyir, tetap saja jika di lihat oleh mata akan sangat mengerikan.
"Kas!" Suara seseorang yang belum pernah ia dengar sebelumnya itu terdengar menyapa telinga, membuat Caslo langsung berbalik ke arah belakang. Netranya terbelalak saat itu juga, melihat Alvan yang dalam keadaan mengenaskan tepat di belakangnya.
Ia langsung mendekat. Meskipun belum pernah bertemu dengan Alvan sebelumnya, namun Caslo tentu sangat mengenali wajah yang selalu ada di panggilan video grup itu. Melihat keadaan Alvan saat ini membuat hati Caslo bergetar. Ia membantu melepaskan tali yang membelit kedua tangan Alvan.
"Lo disini?" Tanyanya setelah tangannya terlepas dari ikatan kali. Pemuda tiga tahun lebih tua dari Caslo itu menatap lekat wajah lain. Ternyata Caslo jika di lihat secara langsung lebih menggemaskan dari pada di layar Kaca. Alvan menggeleng, sadar jika saat ini bukan waktunya mengangumi wajah Caslo.
"Gue juga di culik. Dan, Lo juga?" Caslo bertanya ragu, mata anak itu sudah berkaca-kaca merasa prihatin dengan darah yang mengalir dari berbagai sumber di tubuh sang teman Maya.
Alvan mengangguk pelan, tangan pemuda itu terangkat untuk mengusak rambut yang memiliki tubuh lebih pendek darinya itu. Alvan tahu, anak seusia Caslo mungkin saja merasa sangat ketakutan. Berbeda dengan dirinya yang sudah mengenal bahwa dunia memang sangatlah kejam.
Saat ini pun posisinya Alvan tidak bisa memberikan kata-kata penenang pada Caslo. Karenanya nyatanya memang keadaan tang sedang mereka jalani tidak bisa di anggap enteng. Alvan bahkan tidak yakin bisa pulang kembali atau tidak. Ia sudah terlalu jauh.
"Kita di Amerika. Gue gak tau lebih tepatnya di mana, yang gue tau kita memang udah keluar Indonesia." Ujarnya membuat Caslo langsung terisak pelan. Merasa prustasi dengan kondisi yang ia alami saat ini. Bagaimana caranya dapat keluar dari sini saja sudah membuat Caslo gila, dan sekarang Caslo harus memikirkan bagaimana membeli tiket pesawat.
Meraup wajahnya kasar sekali lagi, Caslo menatap Alvan dengan penuh rasa kasihan. Sejenak Caslo lupa bahwa ia tidak terjebak dalam kondisi membingungkan ini sendirian. Ia bersama Alvan yang notabennya saat ini dengan kondisi terluka.
Menghela nafas pelan, Caslo membantu Alvan untuk duduk kembali. Ia akan memikirkan caranya terlebih dahulu untuk melarikan diri. Tentunya dengan otak yang tidak seberapa ini Caslo membutuhkan Alvan yang memiliki otak cerdas.
"Gimana caranya kita keluar dari sini?" Tanyanya, sedari tadi hanya pertanyaan itu yang mengganggu pikirannya. Caslo sendiri merasa amat kebingungan. Alvan terlihat berfikir sejenak, sebelum membuka suara hendak berbicara. Namun, suara pemuda itu terpotong begitu saja saat suara pintu bergeser.
Tubuh Caslo menegang saat itu juga, ia langsung bergeser untuk bersembunyi di belakang tubuh bongsor Alvan. Di tatapnya pria asing yang kini melihat ke arah mereka berdua. Pria itu mulai berjalan masuk, mendongak angkuh dengan tangan yang di masukan ke dalam saku celana. Meskipun otak Caslo tidak berada dalam kecerdasan rata-rata, tapi Caslo yakin sekali bahwa pria itu adalah atasan dari mereka yang menculiknya.
"Ck! Tikus yang bersembunyi itu sudah berani melepaskan ikatan tikus yang lainnya hm?" Suara rendah itu mampu masuk dalam Indra pendengaran Caslo. Membuat tersangka yang menjadi objek di bicarakan menegang di tempanya. Pria itu berbicara menggunakan bahasa Indonesia, tentu Caslo mengerti bahwa pria itu membicarakan dirinya.
Dengan penuh keberanian, Caslo menyembulkan kepalanya dari balik punggung Alvan. Di tatapnya pria itu sejenak sebelum membuka suara untuk membalas ucapan sang pria.
"T-tapi saya bukan tikus ..." Cicitnya pelan membuat Alvan yang berada di depannya hampir saja meledakkan tawa. Tidak habis fikir dengan ucapan polos yang keluar dari bibir teman mayanya.
Sedangkan pria yang masih berdiri angkuh itu tercengang di tempanya, merasa tidak percaya dengan pernyataan yang baru saja ia dengar. Ini adalah korban terunik yang pernah ia miliki. Biasanya, mereka akan memohon ampunan atau menangis pasrah pada keadaan.
Pria itu berdecak sebelum menepuk tangannya dua kali, memberi tanda pada dia bawahannya yang ada di luar untuk segera masuk. Wajah tercengang pria tadi telah berganti dengan sangat cepat. Kini seringai mengerikan lah yang ganti terlihat.
"Kalian punya waktu sehari sebelum menjemput ajal setelah di culik. Dan, kau!" Pria itu menunjuk Alvan dengan dagunya,"ini sudah waktunya untuk mu." Ujarnya membuat Caslo melotot di tempatnya.
Caslo menggeleng heboh, saat ini posisinya sudah berganti memunggungi Alvan untuk melindunginya. Caslo, sama saja mati tanpa Alvan. Ia tidak bisa keluar dari sini sendiri dengan bantuan otak pas-pasan. Sedangkan pemuda yang tahu nyawanya tinggal di ujung nadi itu menghela nafas pelan. Merasa aneh dengan Caslo yang tadinya tidak mau meninggal tapi kini malah memasang badan.
"Ah, sepertinya terlalu lama. Bagaimana jika dua-duanya?" Ujar pria itu kini ganti Alvan yang melotot. Pemuda itu mendorong Caslo hingga jatuh kelantai. Bangkit dengan tergesa untuk mendekati sang maut.
"Saya aja, dia jangan!" Ujar Alvan mantap. Diliriknya Caslo sejenak untuk memberi kode bahwa Alvan telah mengorbankan diri agar Caslo bisa selamat. Namun yang di dapat justru isakkan keras Caslo. Anak itu menggeleng sembari bangkit mendekati Alvan.
"Hiks gak mau, mau Alvan juga!" Isaknya membuat Alvan terdiam. Buka tercengang dengan kata-kata Caslo, namun wajah anak itu yang kini telah memerah dengan sempurna.
Hingga sekian terus berjalan. Pria itu menarik tangan Alvan paksa, sedangkan Caslo yang berusaha mengejar langsung di hentikan oleh para bawahan pria itu. Ia terisak, salah satu dari bawahan pria tadi menepuk kepalanya pelan.
"Gunakan waktumu dengan baik, Nak."
_____
Hai kalian.
Part ini terlalu pendek menurut ku, aku tawarin double up mau?
^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Golden Eye
AksiArcaslo, pemuda yang tidak sengaja menonton live pembantaian keluarga seorang model Barcelona harus merasakan takutnya menjadi saksi, sekaligus incaran selanjutnya. Sebuah rahasia yang hanya ia dan keluarga tirinya yang tahu. Saat tepat di mana ia m...