11. Waiting

9.3K 1.2K 137
                                    

Menunggu, hal yang harus Caslo lakukan sekarang. Sudah sehari ia menginap di rumah besar keluarga Cravis, ah sebenarnya tidak bisa di sebut rumah. Dengan ukuran yang melebih lapangan sepak bola tentu saja membuat Caslo bingung ingin menyebutnya apa.

Caslo memang menunggu, namun ia tidak mendapat hal membosankan di sini. Justru ia senang, bisa berkeliaran bebas meski terkadang rasa rindu dengan Andi selalu membuatnya murung. Mereka bilang, akan memulangkannya ke Indonesia jika terbukti bahwa Caslo bukan lah bagian dari keluarga mereka.

Caslo tentu senang, pulang tanpa memikirkan bagaiamana caranya membeli tiket pesawat, terlebih ia tidak memiliki pasport. Namun di sisi lain, respon keluarga itu membuatnya meragu. Bagaimana jika ia memang bagian dari keluarga itu?

Bukannya tidak senang memiliki keluarga lengkap, tapi tentu saja Caslo tidak mau berpisah dengan Andi dan Aris. Ia sudah sangat ketergantungan pada dua manusia itu. Hingga rasanya tidak akan bisa hidup tanpa keduanya. Sejak kecil mereka lah yang merawatnya setelah Ayah dan Bundanya meninggal.

Di sisi lain, ia merasa nyaman berada di dekat keluarga Cravis. Perhatian yang mereka berikan selama ia ada di sini tentu membuatnya senang. Tapi tidak bisa di pungkiri kadang ia sering merasa segan. Jangan lupa bahwa mereka lah dalang di balik kematian model besar Barcelona, bahkan ia pun merasakan kejamnya keluarga Cravis.

Ia hanya merasa nyaman dengan perilaku Clarissa, wanita yang saat ini ia panggil Mommy. Rasanya sangat tenang, bahkan hanya dengan melihat wanita itu saja. Tampilan Clarissa pun jauh sangat berbeda saat bertemu pertama kali. Wanita yang raut wajahnya lelah itu kini terlihat sangat bersemangat menjalani hari.

Caslo pun tidak tahu mengapa, namun ia menyukai saat wanita itu tersenyum lebar atau bahkan tertawa. Ia menyukai susu buatan wanita itu, apalagi masakan khusus yang di buat untuknya.

Sudut bibirnya terangkat, Caslo selalu merasa bahagia saat mengingat senyuman Clarissa. Di Helanya nafas sekali, sebelum kembali menatap daunan rimbun di atasnya.

Matahari sedang terik-teriknya, tapi tidak sepanas di Indonesia. Saat-saat seperti ini biasanya ia akan berkunjung ke warung Nda Imah untuk meminta segelas teh manis gratis. Ah, mengingat segelas es teh manis membuatnya menelan ludah.

Entah sampai kapan Caslo akan berada di sini. Ia rindu rumah, ia rindu kedua Abangnya yang kini entah bagaimana kabarnya. Netra merah itu menatap langit asing dari sela-sela dedaunan. Memutar kembali memori yang membuatnya terjebak dalam situasi ini.

"DAMN! CIO APA YANG KAU LAKUKAN?" Teriakan menggelegar itu membuat Caslo menoleh ke bawah. Menemukan eksistensi Jordan yang kini melotot ke arahnya.

"Nama aku Caslo, not not Cio" jawabnya pelan. Semenjak berada di sini, Caslo baru tahu bahwa yang mereka gunakan itu bahasa Inggris, bukan bahasa daerah. Oleh sebab itu, Caslo ingin belajar meskipun sering salah.

Ia yang notabennya tengah nangkring di atas pohon itu langsung segera turun. Menghampiri Jordan yang kini memutar tubuhnya, ia meringis saat pemuda itu menyentuh luka di punggungnya.

"What are U doing?" Tanya Jordan, pemuda itu tampak masih khawatir meski manusia yang di carinya sedari tadi kini berdiri di hadapannya.

"Ih bukan, Bang. Aku juga gak tau itu pohon apa, tapi bukan pohon kedondong." Jawabnya. Setahunya pohon kedondong bewarna hijau, sedangkan pohon yang ia naiki memiliki daun berwarna merah. Berbeda dengan Jordan yang menepuk dahinya pelan.

"Whatever."gumam Jordan sebelum meraih sang adik dalam gendongannya. Caslo masih merasa sakit saat banyak bergerak, oleh sebab itu Jordan menggendongnya. Namun sepertinya ia lupa bahwa sang adik baru saja memanjat pohon.

Golden EyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang