Chapter 9

1.4K 310 75
                                    

Part ini panjang sekali soalnya lebih dari 3000 kata. So, vote dan komennya harus banyak.

***

Semuanya terjadi sangat cepat dan begitu saja. Alena sama sekali tidak menduga kalau dirinya akan secepat itu ketahuan hamil oleh orang tuanya. Bahkan orang tuanya jugalah yang langsung memergokinya mengunjungi klinik aborsi.

Sekarang ini mereka semua berkumpul di ruang keluarga. Papa dan mamanya yang sudah kembali sadar menatapnya meminta penjelasan. Begitu juga halnya dengan kakek, nenek dan adiknya yang tampak kebingungan mengenai apa yang sudah terjadi. Sementara itu, Alena hanya mampu menangis dan mengunci mulutnya rapat-rapat. Sampai kapan pun, ia tak akan memberitahu kalau Ardenlah ayah dari bayi yang ada dalam kandungannya.

"Papa mohon Alena, kasih tau Papa, siapa yang udah ngehamilin kamu, Sayang. Jangan takut," ujar Raihan lembut seraya menggenggam tangan anaknya. Ia ingin memberikan Alena kenyamanan untuk bercerita tanpa paksaan. Ia tak akan marah, sebab semuanya pun sudah terjadi. Yang harus mereka lakukan saat ini adalah meminta pertanggungjawaban dari lelaki itu. Jangan sampai Alena seperti Lidya dulu yang habis manis sepah di buang.

Gelengan kepala Alena membuat Raihan menghela napas berat. Sudah sejak tadi ia berusaha membujuk, tapi anaknya tetap saja bungkam. Ia menoleh pada sang istri yang sudah bangkit dari tempatnya semula kemudian menghampiri mereka.

PLAK

"Lidya! Sadar! Tahan emosi kamu, Sayang." Raihan langsung memeluk istrinya itu. Ia tahu Lidya kecewa, tapi jangan sampai menyakiti Alena yang nanti malah membuat anak mereka itu tak mau bicara.

"Jawab, Alena! Siapa laki-laki brengsek itu? Dia harus bertanggung jawab atas kehamilan kamu!"

Alena masih saja diam sambil menangis. Arden tidaklah brengsek. Apa yang terjadi pada mereka malam itu hanyalah kecelakaan yang tak disengaja dan malah membuahkan hasil. Tentu saja Alena tak akan meminta pertanggungjawaban dari lelaki itu. Biar bagaimanapun, mereka sepupu, ditambah lagi Arden sudah memiliki Liora. Alena tak akan merebut Arden hanya demi bayinya. Tidak. Lebih baik ia menggugurkannya atau paling tidak merawatnya sendiri, tanpa Arden.

"Alena, jawab Mama! Mantan pacar kamu orangnya 'kan? Biar Mama sama Papa datengin dia buat tanggung jawab!"

"Enggak, Ma. Bukan dia," sahut Alena lirih. Ia tak membela mantan pacar brengseknya itu karena memang bukan lelaki itu pelakunya. Derrel pernah merenggut keperawanannya, tapi tidak sampai hamil. Dan jelas Alena tahu, kalau yang ada dalam kandungannya saat ini adalah anak Arden.

"Lalu siapa, Sayang?"

"Alena nggak tau, Pa. Alena nggak sadar," bohong Alena masih sambil menangis. Raihan pun mengusap kasar wajahnya. Sementara Lidya kembali menangis terisak.

"Ya Tuhan..."

"Alena mabuk, Pa. Pas bangun Alena udah sendiri. Alena nggak tau siapa yang udah ngelakuinnya. Alena nggak tau, Pa," tambahnya lagi. Lebih baik Alena berkata bohong seperti itu daripada menyebut nama Arden. Ia tak ingin melukai banyak pihak, apalagi Liora. Sehingga tidak apa-apa ia yang menanggung semuanya.

Raihan kembali memeluk anaknya itu. Ia memejamkan mata untuk menghentikan air matanya sendiri yang terus membasahi pipi. Tak pernah Raihan duga kalau Alena pun mengalami hal serupa seperti Lidya dulu.

"Terus ngapain kamu datengin klinik aborsi, Alena? Kamu berniat aborsi?" tanya Lidya kembali.

"Maafin Alena, Ma. Alena pikir, lebih baik janin ini nggak ada. Alena nggak siap, Ma, Pa. Alena nggak mau hamil," racau Alena penuh luka.

Raihan mengecup kening Alena dengan perasaan sedih yang nyata. Ia sedih melihat anaknya seperti ini. Hingga kemudian Lidya menghampiri dan ikut memeluk Alena.

Our MistakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang